Renungan Harian Kristen Protestan
Renungan Harian Kristen Jumat 12 Juli 2019 ''Jangan Turut Menghakimi Seseorang Menurut Kata Orang!''
Renungan Harian Kristen Jumat 12 Juli 2019 ''Jangan Turut Menghakimi Seseorang Menurut Kata Orang!''
Renungan Harian Kristen Protestan
Jumat 12 Juli 2019
Oleh Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, MTh, MA
''Jangan Turut Menghakimi Seseorang Menurut Kata Orang!''
Pembaca yang budiman patutlah kita bersyukur kita semua sampai pada titik ini, sampai pada para pembaca yang budiman masih bisa membaca renungan ini.
Tentu saja ini adalah suatu anugerah Tuhan! Kita bisa hidup dan bekerja karena Anugerah Allah.
Tidak ada satu manusia pun dapat menambahkan satu hari hidupnya, tanpa perkenanan Tuhan. Saya ajak para pembaca yang budiman jika masih sehat dan bisa baca renungan ini sampai selesai coba berdiri dan cari satu orang untuk bercakap-cakap.
Kalau itu istri atau pacar Anda sendiri ciumlah keningnya dan katakan “aku cinta kamu”.
Tetapi jika itu istri dan atau pacar orang lain jangan bilang begitu sebab bahaya, hehehe, bilang saja “wao senang bertemu dengan Anda, semoga hari ini kamu sukses dan diberkati Tuhan”.
Beri salam dan senyuman terbaik padanya!
Oke kita lanjutkan. Saya ingin mengangkat sebuah pepatah Jerman terkenal yang mengatakan begini: “Sie hören nur die hälfte verstehen ein viertel und erzählen das doppelt” artinya Anda (atau banyak orang lain) hanya mendegar sepotong saja , memahami sebagian saja dan kemudian menerangkannya dobel atau berlebihan.
Ini kelemahan kita manusia, kita sering melebih-lebihkan cerita tentang suatu hal melebihi faktanya atau kadang juga menilai orang lain melebih fakta yang sebenarnya. Dan lebih parah kita menghakimi seseorang menurut cerita orang lain, yang belum tentu benar.
Dan kadang kita lebih suka mengurus masalah orang lain dari pada masalah kita sendiri. Dan ini juga yang dikritisi Tuhan Yesus dalam bacaan kita Injil Lukas 13:1-5.
Dan sebagai gantinya dari pada mengurus orang lain lebih baik mengurus diri sendiri atau bagaimana menghasilkan buah-buah yang baik, maka Yesus mengisahkan tentang sebuah perumpamaan dalam Lukas 13:6-9.
Pada intinya Lukas 13:6-9 adalah sebuah perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah, yang Yesus ceritakan sebagai suatu jawaban tehadap kabar yang bersifat gosip dan sudah ada prasangka buruk di dalamnya dari beberapa orang tertentu yang diceritakan ulang kepada Yesus (Luk 13:1-5).
Kabar yang disampaikan “beberapa orang itu”[1] kepada Yesus ada dua, yang pertama mengenai pembantaian yang dilakukan Pilatus kepada orang Galilea saat mereka akan mempersembahkan korban (Lukas 13:1) dan kedua mengenai orang-orang yang mati tertimpa menara Siloam (Lukas 13:4).
Cara bercerita beberapa orang yang disertai prasangka negatif itu seolah-olah menekankan bahwa kematian mereka yang tragis itu sebagai akibat dari dosa mereka dan dipandang sebagai hukuman Allah.
Ketika kebencian kita berkecamuk pada seseorang atau sekelompok orang, maka kita sering membangun narasi-narasi negatif untuk orang itu atau kelompok orang itu agar orang lain percaya sehingga turut menghamiki dan “menghukumnya”.
Dan ini yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi para pembawa gosip itu dan berharap Yesus juga akan pro dan seiaya sekata dengan mereka.
Akan tetapi ternyata mereka salah orang.
Dalam anggapan atau prasangka orang Yahudi malapetaka yang terjadi pada seseorang sebagai akibat dari dosa-dosanya. Makin besar dosa seseorang semakin hebat pula musibah yang akan menimpa dia.
Jadi, musibah seolah semacam hukuman yang diberikan oleh Allah, tergantung seberapa besar dosa-dosa yang telah diperbuat seseorang.
Pemahaman bahwa orang yang mengalami malapetaka dan bencana adalah orang yang dosanya lebih besar dari orang yang tidak mengalami bencana.
Pemahaman ini salah! Sekalipun bencana dan malapetaka diizinkan Allah menimpa orang tertentu sebagai hukuman dosa mereka, tetapi semua itu tidak harus dilihat sebagai hukuman Allah.
Yesus tidak setuju dengan cara berpikir seperti yang itu, karena dalam kasus Ayub misalnya, Ayub mengalami malapetaka yang hebat yang sulit ditanggung dirinya dan keluarganya, meskipun Ayub adalah orang benar, jujur, takut akan Tuhan (Ayub 1:1 dst).
Dua kali Yesus mengulang kata-kata yang sama dalam ayat 3 dan 5: ouchi lego hymin, (artinnya Tidak! kata-Ku kepadamu) mau menegaskan bahwa Tuhan Yesus tidak mau turut menghakimi seseorang menurut cerita dan prasangka orang lain yang dibangun diatas dasar gosip dan . tidak pada fakta kebenaran yang sesungguhnya.
Tanggapan Yesus menegaskan bahwa orang yang mati dibantai oleh Pilatus atau pun yang mati tertimpa menara Siloam belum tentu karena dosa-dosa mereka yang besar (Lukas 13:3 dan 5).
Tuhan Yesus menegaskan bahwa prasangka seperti itu bukan saja picik, naif serta dangkal dalam berpikir, tetapi juga sangat keliru dan sesat.
Model atau jenis malapetaka seseorang bukanlah cerminan besar atau kecilnya dosa seseorang.
Dari pada berprasangka terhadap musibah yang orang lain alami, Yesus mengajak mereka untuk mengoreksi diri sendiri dan bertobat melalui perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah itu.
Perumpamaan ini dimaksudkan untuk memperkuat peringatan bahwa, "Jikalau kita tidak bertobat, kita semua akan binasa atas cara demikian.
Jikalau kita tidak diperbaharui, kita akan dihancurkan, seperti pohon ara yang tidak berbuah.
Jikalau pohon itu tidak berbuah, ia akan ditebang" Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! (Luk: 13:7).
Karena di hadapan Allah semua orang memiliki potensi mengalami penghukuman yang sama (Lukas 13:3, 5). Musibah yang menimpa seseorang bisa dijadikan peringatan bagi mereka yang terluput, agar tidak mengeraskan hati dan tetap tinggal dalam keberdosaan tersebut.
Maka yang terpenting menurut Yesus bukanlah membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang yang mengalami musibah, tetapi meresponsnya dengan memeriksa diri dan bila perlu bertobat.
Yesus lebih suka mengajak orang percaya untuk merefleksi diri sendiri dan bertobat, bukan melihat dosa orang lain dan mencelanya.
Sudah sepatutnya orang percaya memanfaatkan kesempatan yang masih ada untuk segera bertobat karena belum tentu kesempatan itu terulang.
Mungkin ini penting untuk kita perhatikan. Mungkin kita lebih suka menggosipkan orang atau membicarakan kekurangan orang atau menimpakan kesalahan kepadanya agar supaya kita terlihat hebat atau untuk menutupi ketidakmampuan kita untuk bersaing dengan orang itu secara fair dan adil.
Atau juga mungkin kita amat membenci orang itu sehingga pada segala kesempatan kita selalu mencari-cari alasan untuk mempersalahkannya demi kepuasan kita dan demi memperlihatkan kita yang paling suci dan paling bersih dalam hidup ini.
Teguran Yesus ini bisa kita jadikan suatu moment atau kesempatan bagi kita untuk koreksi diri. Kita mengoreksi sejauhmana kita membangun relasi yang adil dan keterbukaan dalam keluarga, dalam hubungan suami istri, dalam hubungan orang tua dan anak-anak, dalam hubungan dengan rekan kerja kita di kantor, dalam hubungan dengan mitra bisnis kita, dalam hubungan dengan rekan-rekan di kampus, etc.
Jadi saya ingin mengajak seteah membaca renungan ini hendaknya para pembaca yang budiman ambil waktu 10-15 menit bersama saya untuk berpikir dan merenung bahwa apakah saya dan Anda telah menjadi orang yang baik bagi orang-orang di sekeliling kita; istri atau suami, rekan kerja, atasan atau bawahan, guru atau murid, partner atau mitra kerja, etc.
Mencari dan mendapatkan sahabat mungkin mudah, tetapi lebih sulit mempertahankan persahabatan tersebut oleh karena egoisme, ambisi pribadi dan ekspetasi-ekspetasi diri yang berlebihan dan tidak realistis. Mendapatkan hidup damai dan ketentraman adalah upaya bertahun-tahun, namun sebuah langkah kita yang ceroboh hanya butuh satu menit untuk menghancurkannya.
Dan sebetul hanya orang sakit jika saja yang ingin menciptakan musuh-musuh dalam hidupnya, namun kadang permusuhan kita tercipta karena kita tidak mampu menjaga sikap dan menghargai orang lain apa adanya.
Kita terlalu egois ketika kita merasa bahwa orang-orang tidak seide atau sejalan dengan keinginan kita harus kita singkirkan dengan berbagai cara.
Bahkan kita akan berusaha mempermalukannya dengan berbagai cara baik dengan cara-cara halus dan licik maupun dengan cara-cara kasar yang kasat mata.
Seringkali kita menyangka orang luar atau musuh di luar sana yang menjadi penghambat kehidupan kita, pada hal bisa saja diri kita dan para sahabat kita, bahkan orang-orang di sekitar kita, yaitu keluarga dekat kita, karena itu kita harus selalu berdamai dengan mereka.
Kita membayangkan istri kita dan anak-anak kita, atau para sahabat kita pasti akan selalu sayang kepada kita, pada hal mungkin tidak.
Mungkin saja ada keluhan-keluhan terpendam dalam diri mereka. Karena itu moment buka hati di dalam keluarga dan sahabat pada moment ibadah malam atau duduk bersama di meja makan amat penting dari pada kita membawa masalah kita kepada pihak ketiga atau membuka aib di media sosial semisalnya twitter atau FB, etc. Ada pepatah Jerman bilang: Deine Wäsche wasche zu Haus atau Wash your laundry at home. Don't wash your dirty linen in public. Cucilah pakaian kita di dalam rumah dan jangan mencuci pakaian kita di depan umum.[2] Yang paling menyedihkan adalah orang yang kita kasihi, atau sahabat yang kita hormati justru berbalik menjadi musuh dalam selimut.
Ada pepatah Jerman yang lain yang bilang begini: Behüte mich Gott vor meinen Freunden, mit den Feinden will ich schon fertig werden. Mirip dengan bahasa Inggris: “God preserve me from my friends, I can deal with my enemies. Artinya Tuhan peliharalah saya dari teman-teman ku, keluargaku, dengan para musuh aku bisa mengatasi mereka. “A man's worst enemies are often those of his own house”.
Musuh kita yang paling buruk bukan berada di luar sana, namun seringkali di dalam rumah kita sendiri.[3] Musuh dalam selimut lebih berbahaya dari pada musuh dibalik tembok. hehehe
Kita kembali ke teks bacaan kita, lebih jauh beberapa penafsir sepakat bahwa Perumpamaan mengenai buah Ara yang tidak berbuah ini bukan saja ditujukan kepada orang Yahudi yang bertobat dan percaya, tetapi juga semua orang percaya yang telah diselamatkan oleh Kristus dan diberi kesempatan menikmati sarana anugerah dan segala privilege (hak-hak istimewa) sebagai anak-anak Tuhan di dalam dunia sebagaimana dilustrasikan atau diibaratkan Yesus dalam perumpamaan tentang Pohon Ara yang tumbuh di kebun Anggur.
Kisah dalam Luk 13: 6-9 mengindikasikan beberapa keistimewaan pohon Ara tersebut atau mengibaratkan privilege (hak-hak istimewa) orang percaya:
Pertama, pohon Ara ini en tō ampelōni (tumbuh di kebun anggur), di tanah yang baik, di mana ia bisa lebih dirawat dan dijaga dibandingkan dengan pohon-pohon ara yang lain, yang biasanya tumbuh bukan di kebun anggur (yang memang khusus untuk anggur), melainkan di dekat jalan (Mat. 21:19).
Bagi teologi Yahudi , umat Israel dapat dipandang sebagai kebun Anggur Tuhan. Jemaat Allah adalah kebun anggur-Nya, berbeda dari tanah biasa, dan dipagari di sekelilingnya (Yes. 5:1-2).
Dalam teologia Kristen juga orang percaya juga diibaratkan sebagai pohon ara yang ditanam di kebun anggur Tuhan Yesus melalui baptisan. Kita mempunyai tempat dan nama di dalam gereja, dan inilah yang menjadi hak istimewa dan kebahagiaan kita.
Ini suatu privilege atau anugerah yang istimewa. Dan karena itu kita beruntung bisa menjadi bagian dari sebuah persekutuan atau komunitas tertentu.
Kedua, karena diperlakukan istimewa, maka seharusnya pohon Ara ini berbuah banyak. Harapan si pemilik kebun anggur untuk pohon ara itu: kai elthen zeton karpon en aute, ia datang untuk mencari buah pada pohon itu. Pemiliki kebun, yaitu Tuhan menginginkan orang percaya berbuah dalam hidupnya.
Daun saja tidak cukup (band. Matius 21:19). Juga hanya Bunga nya saja pun tidak cukup, seperti orang yang memulai dengan baik dan hanya menjanjikan hal yang indah-indah saja. Harus ada buah.
Segala pikiran, perkataan, dan perbuatan kita harus sesuai dengan Firman Tuhan . Antara kata-kata dan perbuatan harus sejalan.
Antara doa dan kerja berimbang. Antara yang disepakati dan yang ditindalanjuti cocok satu sama lain.
Sungguh disayangkan kalau orang percaya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menikmati hak-hak istimewa dari Anugerah Allah dan kepada kita dipercayakan Injil Keselamatan Allah, namun kita tidak melakukan apa pun untuk kemuliaan Allah.
Pepatah Jerman yang lain bilang begini Taten statt Worte! atau Taten sagen mehr als Wörter. Atau Lass Taten sprechen! Actions instead of words! Atau Actions speak louder than words (harafiah Actions say more than words.) Let actions speak! Tindakan lebih lebih banyak berbicara dari pada kata-kata. Actions speak louder than words.[4]
Marilah kita berupaya untuk mewujudkan apa yang kita ucapkan dan ajarkan. “Practice what you preach!” (praktekan apa yang kau ajarkan). Untuk para suami jangan hanya berikan bunga mawar saja atau apalagi hanya bunga pepaya kepada para istri untuk ditumis, tetapi sering-seringlah kasih bunga bank yang banyak, hehehe.
Perempuan memang senang dipuji, tetapi mereka lebih suka bukti pujian, perempuan memang suka bunga, tetapi lebih suka bunga bank yang diberikan suami atau pasanganya atau pacarnya, maka senyuman mereka lebih lebar, hehehe.
Jangan hanya ajak istri atau pasangan nonton iklan coklat, tetapi tidak pernah kasih coklat asli, hehheh! Untuk para pemimpin jangan menggunakan kekuasaan untuk kesewenang-wenangan atau bersikap otoririter, Tetapi rangkullah semua orang untuk tujuan bersama yang lebih baik bagi lembaga yang dipimpin.
Ketiga, Bagi Yesus jika orang percaya tidak menghasilkan buah yang baik, maka ibarat pohon Ara yang tidak pernah berbuah: hina ti ka ten gen katargei, hidup percuma dan hidup tidak efektif di tanah yang baik.
Pohon itu hidup di tanah dengan percuma, mengambil tempat pohon lain yang berbuah, dan menyakiti semua yang ada di sekelilingnya, merampas hak hidup tanaman yang lain. Ibarat kita sebagai orang-orang percaya jika hidup kita tidak berbuat baik atau hidup secara percuma, maka biasanya itu akan membuat orang-orang di sekitar kita kecewa dan sakit hati.
Kita seakan menjadi orang yang bukan saja hidup dengan percuma, tetapi juga menjadi beban bagi orang lain, merampas kesempatan orang lain padahal kita belum pantas untuk itu, bahkan mungkin saja kita menjadi benalu dan parasit dalam keluarga kita dan atau dalam lembaga atau organisasi kita.
Tanpa kita sadari kita malah memberikan contoh yang buruk bagi orang lain. Ibarat Pohon semakin besar kesakitan yang ditimbulkannya semakin besar pula bagi tanaman lain di sekitar, semakin terbebanlah tanah itu, jika pohon itu tinggi, besar, dan melebar, atau jika pohon itu tua dan berdiri dalam waktu yang lama.
Tuhan Yesus tidak menginginkan kehidupan yang demikian: kita tidak boleh menjadikan sebuah kehidupan yang membawa beban, namun sebaliknya kehidupan yang membawa berkat.
Kita menjadi suami atau istri, bos atau pejabat yang tidak membawa beban atau bencana bagi orang-orang di sekeliling kita tetapi membuka jalan berkat dan jalan kehidupan dan bukan jalan kematian.
Keempat, Tuhan Yesus dengan perumpamaan ini mengingatkan kita bahwa jikalau orang beriman yang tidak menghasilkan buah-buah dalam kehidupanya akan dihukum ibarat pohon Ara yang ditebang. ekkopson oun auten, Tebanglah pohon ini!"
Tidak ada lagi yang dapat diharapkan dari pohon yang tidak berbuah selain harus ditebang. Seperti halnya kebun anggur yang tidak berbuah akan dibongkar, dan diinjak-injak (Yes. 5:5-6), begitu pula pohon yang tidak berbuah di kebun anggur akan dicabut dari kebun itu, dan akan menjadi layu (Yohanes 15:6).
Kalau dalam posisi dan jabatan kita tidak menghasilkan buah maka cepat atau lambat kita akan jatuh dan pada saat itu kita akan mengatakan “ah sudah terlambat”!
Akan tetapi Tuhan Yesus melukiskan kemurahan Allah dalam perumpamaan ini, bahwa pohon-pohon yang tidak berbuah tidak langsung ditebang.
Melalui perumpamaan tentang pohon ara, Tuhan Yesus menjelaskan bahwa kesempatan untuk bertobat masih diberikan.
Permintaan untuk menebang pohon tersebut menunjukkan batas kesabaran si pemilik kebun yang telah menanti selama tiga tahun (Lukas 13:7). Namun pengurus kebun masih memohon kepada tuannya untuk bersabar menantikan pohon tersebut berbuah.
Penggunaan kata ei ”mungkin" di dalam Luk 13: 9 menunjukkan harapan dan kesempatan lagi.
Tuhan masih memberi kita kesempatan dan waktu untuk bertobat.
Ini menunjukkan pentingnya pertobatan bagi semua orang percaya. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita mengggunakan kesempatan Tuhan dan mau bertobat?
Yesus menegaskan bahwa orang yang mengeraskan hati untuk tidak bertobat akan mengalami kematian yang mengerikan, bukan dalam arti kematian secara fisik melainkan kematian yang mendatangkan penderitaan kekal yang harus dihadapi orang tersebut dalam hukuman api kekal yang menyala-nyala.
Poinnya Tuhan Yesus mengingatkan kita bahwa penolakan akan anugerah Allah membuat seseorang hidup di luar anugerah dan hidup di luar anugerah, berarti hidup menuju kegagalan bahkan kematian kekal selamanya.
Kesimpulannya Tuhan Yesus memakai ilustrasi ini untuk menegaskan maksud-Nya bahwa tidak seorang pun layak di hadapan Tuhan.
Akan tetapi ibarat pohon ara, kita mendapatkan anugerah dan kesempatan untuk menghasilkan buah. Hal itu dimulai dengan bertobat, dan menghasllkan buah-buah pertobatan.
Perumpamaan ini juga menyimpulkan pentingnya menghasilkan buah dan bukan sekadar penampilan atau performa.
Kita bisa saja menampilkan diri atau mengelabui banyak orang dengan berbagai tipudaya sebagai orang benar, orang saleh dan bahkan orang hebat dan sempurna tanpa cacat cela, tetapi buah-buah perbuatannyalah atau tingkahlaku kitalah yang pada akhirnya membuktikan siapa kita!
Mana yang cenderung kita mau pilih dalam hidup kita: Gaya hidupnya atau atau menghasilkan buah-buah iman? Yesus dalam pasal sebelumnya yaitu di Lukas pasal 12 mengkritir orang banyak yang menyangka asal sudah menampilkan ‘gaya saleh’ hidupnya pun sudah saleh.
Tuhan Yesus menyebut mereka orang-orang munafik, yang hanya tahu membedakan musim alias hanya tahu bergaya dan asal mengikuti mode zaman, tetapi tidak mengerti kebenaran, apalagi mengerti kalau kebenaran itu sudah diselewengkan (Lukas 12: 54-56).
Yesus menegur kemunafikan mereka lebih lanjut dengan menunjukkan betapa mereka tidak memiliki kebenaran. (bandingkan Lukas 12: 57-59).
“Lukas 12:54 Yesus berkata pula kepada orang banyak: "Apabila kamu melihat awan naik di sebelah barat, segera kamu berkata: Akan datang hujan, dan hal itu memang terjadi.
55 Dan apabila kamu melihat angin selatan bertiup, kamu berkata: Hari akan panas terik, dan hal itu memang terjadi.
56 Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai zaman ini?
57 Dan mengapakah engkau juga tidak memutuskan sendiri apa yang benar?
58 Sebab, jikalau engkau dengan lawanmu pergi menghadap pemerintah, berusahalah berdamai dengan dia selama di tengah jalan, supaya jangan engkau diseretnya kepada hakim dan hakim menyerahkan engkau kepada pembantunya dan pembantu itu melemparkan engkau ke dalam penjara.
59 Aku berkata kepadamu: Engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas."
Para pembaca yang budiman kita semua diminta untuk melihat apakah sikap pikiran dan arah hidup kita sudah sesuai dengan iman pengakuan kita dan dengan kesempatan yang tersedia bagi kita.
Yang terpenting orang beriman dituntut hidup untuk berbuah. Jika kita masih bisa berkumpul, bekerja dan hidup sampai saat ini, maka kesempatan ini jangan disia-siakan.
Jadilah pohon-pohon ara yang menghasilkan buah dalam kebun milik Tuhan.
Oleh karena ada banyak orang yang tidak memiliki kesempatan itu. Merenungkan kembali akan hal yang sudah dialami dan tetap mengucap syukur kepada Dia sang pemberi hidup ini. Sehingga apa pun yang kita alami kita dapat menerimanya dengan penuh damai sejahtera dan sukacita.
Dan segala kesalahan yang terjadi hendaknya saling memaafkan atau mengampuni satu sama lain. Karena hidup tidak pernah lepas dari kesalahan dan tidak ada yg sempurna. Ingatlah bahwa hidup ini adalah kesempatan untuk berbuah. (*)