Renungan Harian Kristen Protestan
Renungan Harian Kristen Protestan 26 Juni 2019, "Ketulusan Lebih Kuat dari Prasangka Buruk"
"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu
Renungan Pagi Kristen Protestan 26 Juni 2019
Oleh : Pdt. Dina Dethan Penpada, MTh
"Ketulusan Lebih Kuat dari Prasangka Buruk"
Lukas 10: 25-37
Saudara-saudara.
Merenungkan Firman Tuhan hari ini tentang mengasihi sesama bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Saya katakan demikian oleh karena kita sedang berhadapan dengan maraknya praktik kekerasan (ancaman, intimidasi verbal, stigma/cap2 dari seseorang
atau kelompok tertentu kepada orang atau kelompok lainnya, ujaran-ujaran kebencian yang disampaikan melalui media masa, media sosial) dan berbagai masalah lainnya.
Dalam situasi seperti itu kita dapat berefleksi dari cara Yesus menghadapi seorang ahli Taurat yang datang dengan niat yang tidak tulus dalam bacaan kita tadi.
Si Ahli Taurat yang nota bene adalah seorang pakar agama mau menguji Yesus untuk melihat apa jawaban Yesus atas sebuah pertanyaan yang menjebak yaitu tentang "Hidup kekal".
Rupanya Hidup yang kekal merupakan pokok perdebatan yang lagi hangat dalam agama Yahudi pada waktu itu (bdk Lukas 18:18).
Walaupun Yesus telah tahu niat buruk dan motivasi dibalik pertanyaan itu, namun Yesus membalikan keadaan dan mengubahnya menjadi hal yang baik dengan mengisahkan perumpamaan yang indah tentang "Orang Samaria yang murah hati".
Yesus menjawabnya dengan mengajukan sebuah pertanyaan: Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana? (ay. 26).
Sebagai seorang pakar Taurat tentu dia tahu jawabannya. Maka orang itu menjawab:
"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." (ay 27 dan 28).
Menurut Dr. Lightfoot, orang Yahudi primitif mengartikan kata-kata: "Kasihilah sesamamu manusia, menunjuk kepada kaum sebangsanya sendiri, seagama mereka sendiri, sesuku mereka sendiri.
Di luar bangsa Yahudi bukanlah sesamanya".
Bagi orang Yahudi primitif yang disebut sesama hanyalah orang-orang yang sebangsa dan seagama dengan mereka."
Apabila mereka melihat seorang bukan-Yahudi sedang sekarat, mereka tidak merasa berkewajiban untuk menyelamatkan nyawanya.
Menurut Lightfoot mereka hanya memahami bahwa orang-orang di luar Israel bukanlah sesama mereka. Titik.
Melalui Perumpamaan ini Yesus hendak meruntuhkan pemahaman yang sangat terbatas, sempit, bahkan picik tentang siapakah sesama manusia?
Yesus ingin meluruskan pemikiran mereka yang salah bahkan tidak manusiawi ini, bahwa sesama mereka adalah semua orang, tanpa memandang suku, bangsa, agama, atau status apapun yang melekat pada dirinya.
Dalam perumpamaan itu orang Yahudi malang itu ditolong oleh seorang Samaria yang berasal dari suku bangsa yang paling dianggap hina dan dibenci oleh orang-orang Yahudi.
Orang inimalah masih memiliki belas kasihan. (kata ini yang sering digunakan untuk menggambarkan keprihatinan Yesus terhadap orang kusta, orang sakit dsb).
Imam dalam perumpamaan tadi mengeraskan hatinya terhadap salah seorang dari bangsanya sendiri, tetapi orang Samaria justru membuka hatinya terhadap orang dari bangsa lain.
Belas kasihan yang ada pada diri orang Samaria ini bukanlah belas kasihan yang berpangku tangan. Baginya, belumlah cukup untuk sekadar berkata,
"Semoga cepat sembuh, semoga ada yang menolongmu" (Yak. 2:16), tetapi saat hatinya tergerak, ia mengulurkan tangannya kepada orang malang yang miskin ini (Yes. 58:7,10; Ams. 31:20).
Orang Samaria ini memiliki kebaikan hati yang tulus, tanpa pamrih dan tanpa embel-embel, serta tanpa banyak alasan.
Setelah mengisahkan perumpamaan itu Yesus bertanya kepada pakar Taurat itu:
"Sekarang katakan kepada-Ku, Siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu (ay. 36), imam, orang Lewi, atau orang Samaria itu?
Siapakah dari antara mereka yang berlaku sebagai sesama manusia?" Ahli Taurat itu menjawab ,"Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.
" Maka Yesus berkata: Pergilah, dan perbuatlah demikian.
Ada beberapa hal yang dapat kita renungkan:
Pertama: Tidak semua orang yang menjumpai kita datang dengan niat yang baik. Mungkin saja ada yang datang dengan niat buruk.
Niat untuk mencoba, niat untuk menjatuhkan, niat untuk mencelakakan, niat untuk mencari tahu kekurangan kita.
Jika demikian tidak apa-apa karena kita tidak dapat memastikan bahwa semua orang bersikap baik.
Namun kita belajar dari Yesus, yang mampu mengubah prasangka buruk si Ahli Taurat dan membawanya memahami siapa sesamanya dan kehidupan kekal yang ia impikan.
Kita juga dapat mengubah orang-orang yang kita jumpai atau menjumpai kita dengan niat buruk menjadi orang-orang baik.
Kita juga akan berjumpa dengan orang-orang yang salah paham, curiga, berprasangka buruk, menuduh, dan menyakiti orang lain dengan ujaran-ujaran yang menyakitkan.
Kita belajar dari Yesus untuk mengampuni.
Ketika terjadi peledakan bom di Surabaya beberapa waktu yang lalu PGI,GMIT dan gereja-gereja yang terkena bom, memilih sikap yang sangat kristiani,
yakni menghimbau agar tidak memposting gambar-gambar korban, ataupun menyebarkan ujaran-ujaran kebencian.
Ini sikap yang mesti menjadi gaya hidup kita orang-orang percaya. Ketika ada banyak orang menyebarkan ujaran-ujaran kebencian ataupun mengatakan hal-hal yang tidak benar, tugas kita mesti sebaliknya.
Menyatakan yang benar dan menyebarkan tentang cinta kasih. Ketika ada yang salah, tugas kita untuk meluruskan, sebab kita percaya bahwa kita tidak sendiri, melainkan ada Roh Penolong, ada kuasa yang menggerakkan kita.
Mari kita menggunakan Bahasa yang membangun, yang meneguhkan, Bahasa yang memberi pegenguatan dan semangat.
Termasuk Bahasa tubuh kita. Kadang Bahasa tubuh kita memperlihatkan penolakan dan pelecehan terhadap orang lain.
Kedua: Jika saat ini kita bertanya, "Siapakah sesamaku"? maka kisah orang Samaria yang murah hati mau mengajarkan kepada kita bahwa
sesama adalah orang yang telah mampu mengatasi kebencian yang telah diwariskan dari generasi ke generasi dengan menunjukan relasi baru dengan menunjukkan belas kasihan
dan menjadi sesama yang sejati bagi orang lain yang berbeda dengan kita. Yesus mau kita belajar bahwa kebaikan dan belas kasihan lebih kuat dari prasangka buruk.
Pilihan-pilihan politik mempersempit pemahaman kita tentang siapakah sesama kita karena pilihan politik kita yang berbeda.
Yesus mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan itu adalah pemberian Allah dan karena pemberian Allah, maka kita mesti menghargainya.
Namun perbedaan itu tidak menjadi alasan untuk kita saling menghina, saling menjatuhkan dan sikap-sikap yang tercela.
Masing-msing orang punya pilihan politik, tetapi prinsip dasar yang mesti kita terima bersama hari ini, yaitu: Kita semua orang-orang bersaudara. Semua orang adalah sesama kita.
Saudara. memang tidak semua orang dapat kita jadikan sahabat, tetapi terhadap semua orang kita dapat bersikap baik. Amin