Renungan Harian
Renungan Harian Kristen Protestan Minggu 16 Juni 2019, "Menyelesaikan Perbedaan Dengan Hikmat Tuhan"
Renungan Harian Kristen Protestan Minggu 16 Juni 2019, "Menyelesaikan Perbedaan Dengan Hikmat Tuhan"
Renungan Harian Kristen Protestan Minggu 16 Juni 2019
Kisah Para Rasul 15:1-21
Oleh: Pdt DR Mesakh A P Dethan MTh Ma
--
Menyelesaikan Perbedaan Pendapat Dengan Hikmat Tuhan
Setiap persekutuan jemaat tidak lepas dari perbedaan pendapat atau perselisihan. Apalagi perselisihan itu dapat menjurus kepada kehebohan dan dapat mengancam keutuhan dan kedamaian dalam jemaat.
Dan disinilah diperlukan hikmat dan tuntunan dari Roh Tuhan untuk menyelesaikan dan mencari solusi bagi setiap persoalan yang muncul dalam jemaat.
Kalau persekutuan jemaat ini kita mau analogikan dalam skala yang lebih kecil, seperti misalnya persekutuan antara suami dan istri, atau persekutuan antara kakak beradik dalam hubungan bersaudara, maka tidak ada persekutuan suami istri yang bebas dari perselisihan dan perbedaan pendapat.
Pasti ada riak-riak kecil dalam perjalanan rumah tangga mereka.
Pasti adakalanya istri dengan mata melotot dan suara tinggi “tenor” ketika bicara dengan suaminya karena masalah rumah tangga. Juga pasti hubungan bersaudara kakak adik tidak bebas dari pertengkaran karena salahpaham dan perbedaan pendapat misalnya mau nonton program acara TV, yang satu suka sinetron Korea sedangkan yang lain suka balapan motor atau tinju. Pasti Remote kontrol jadi rebutan, hehehe.
Disinilah diperlukan seni dan cara menyelesaikan perbedaan pendapat dan bahkan perselisihan yang terjadi.
Jemaat Kristen Anthiokia yang merupakan jemaat terbesar di luar kota Yerusalem yang kebanyakan berlatar belakang kafir dari hasil pekerjaan Pekabaran Injil dari Rasul Paulus dan Barnabas juga tidak lepas dari perselisihan dalam persekutuan mereka.
Lukas (si Penulis Kisah Para Rasul) dalam bacaan kita hari ini Kisah 15:1-21 melaporkan bahwa perselisihan dalam jemaat Antiokhia dipicu dari sebuah ucapan dari beberapa anggota jemaat yang datang dari Yerusalem yang mengatakan bahwa keabsahan jemaat Antiokhia dipertayakan karena mereka tidak menjalankan aturan-aturan Hukum Taurat sebagaimana yang diperintahkan oleh nabi Musa.
Mereka bertindak seolah-olah membawa suara dan pemikiran dari para rasul, penatua dan jemaat di kota Yerusalem, sebagai pusat kekristenan pada waktu itu.
1 “Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara di situ: "Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan. 5 Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi percaya, datang dan berkata: "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa." (Kisah Para Rasul 15:1 dan 5).
Tentu saja perkataan beberapa anggota jemaat itu bukan saja membuat heboh jemaat Antiokhia, tetapi juga menyerang Rasul Paulus dan Barnabas secara pribadi yang dengan susah payah telah membangun jemaat tersebut.
Apalagi selama ini telah ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang mempertanyakan kerasulan Paulus sendiri dan model pekabaran Injil tanpa Taurat yang dilakukan di berbagai tempat di kota-kota kafir di luar Yerusalem.
Berbeda dengan jemaat Yerusalem yang dipimpin oleh tiga soko guru jemaat (Petrus [yang disebut Kefas], Yakobus dan Yohanes lihat Galatia 2:9) yang nota bene kebanyakan asalnya berlatar belakang Yahudi yang tetap mempraktekan Taurat Musa dalam kehidupan kekristenan mereka dan menjadikan sunat sebagai tanda keselamatan, maka jemaat Antiokhia justru tidak lagi memperhatikan hukum Taurat dan adat istiadat Yahudi dalam kehidupan kekristenan mereka dan menjadikan baptisan sebagai tanda keselamatan dan bukan sunat.
Jadi jika para Rasul (Petrus, Yakobus dan Yohanes) yang memimpin jemaat di kota Yerusalem terus mempraktekan Injil dengan Taurat dalam kehidupan kekristenan mereka, maka jemaat Antiokhia di bawah kepemimpin Rasul Paulus dan Rasul Barnabas justru sebaliknya mengajarkan jemaat di sana dengan Injil tanpa Taurat.
Sehingga jika ada yang mempertanyakan keabsahan kekristenan Jemaat Antiokhia, maka sebetulnya sekaligus juga mempertanyakan kinerja Rasul Paulus dan Barnabas yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan para pemimpin di Yerusalem. Dan tentu hal ini sangat menggangu batin kedua rasul itu dan reaksi itu dicatat dengan baik oleh Lukas si penulis Kisah Rasul.
2 Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu. (Kisah Para Rasul 15:2 a).
Dari sisi jemaat Antiokhia juga ucapan beberapa orang dari Yudea itu tentu saja menimbulkan kehebohan dan bahkan mungkin saja kemarahan.
Karena seolah-olah pekabaran Injil Rasul Paulus dan Barnabas yang telah bekerja keras demi mentobatkan mereka dari kehidupan kekafiran mereka kepada kehidupan yang selamat dalam iman kepada Kristus.
Juga seolah-olah menjadi kristen haruslah memakai “baju, pakaian dan aksesori keYahudin” yang bertumpu pada aturan Musa. Mereka selama ini sudah merasa nyaman dimana Rasul Paulus dan Barnabas tidak memaksakan mereka untuk disunat dan atau harus mengikuti Taurat Musa jika mau masuk Kristen dan sebagai tanda keselamatan mereka.
Mereka hanya diminta untuk beriman kepada Kristus dan dibaptis dan boleh hidup dalam kebudayaan mereka masing-masing. Artinya bahwa kebudayaan mereka setara dengan kebudayaan Yahudi atau mendapat tempat yang sama di mata Tuhan.
Untuk itulah mereka merasa berkepentingan untuk mengutus Rasul Paulus dan Barnabas dan beberapa orang yang lain untuk ke Yerusalem supaya masalah ini dapat dapat diselesaikan secara baik-baik dan tidak menimbulkan perpecahan dan kehebohan lebih jauh dalam jemaat Antiokhia.
“Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan soal itu”. (Kisah Para Rasul 15:2 b).
Usulan yang baik ini berbuah manis dimana malalui pertemuan delegasi jemaat Antiokhia di bawah pimpinan Paulus dan Barnabas dengan para Rasul di Yerusalem dan disaksikan jemaat di sana mendapat jalan keluarnya.
Melalui pemikiran Rasul Petrus (Kisah 15: 7-12) dan usulan simpatik dari dari rasul Yakobus (Kisah 15: 13) dicapailah kata sepakat dan kedamaian bagi semua pihak.
Kekristenan jemaat Antiokhia diakui, kerasulan dan hasil pekabaran injil dari Paulus dan Barnabas kepada bangsa-bangsa lain juga dianggap sah (Kisah 15:25, 26), dan para pemicu konflik atau provokator yang menggelisahkan dan menggoyang iman jemaat dianggap tidak mewakili suara dan pemikiran dari para rasul, penatua dan jemaat di Yerusalem (Kisah 15:24).
Keputusan ini dituangkan dalam sebuah surat untuk diantar ke jemaat Antiokhia oleh Yudas yang disebebut Barsabas dan Silas (Kisah 15: 22, 27) dengan didampingi tentu saja oleh Rasul Paulus dan Barnabas”. Isi surat itu adalah:
"Salam dari rasul-rasul dan penatua-penatua, dari saudara-saudaramu kepada saudara-saudara di Antiokhia, Siria dan Kilikia yang berasal dari bangsa-bangsa lain. 24 Kami telah mendengar, bahwa ada beberapa orang di antara kami, yang tiada mendapat pesan dari kami, telah menggelisahkan dan menggoyangkan hatimu dengan ajaran mereka.
25 Sebab itu dengan bulat hati kami telah memutuskan untuk memilih dan mengutus beberapa orang kepada kamu bersama-sama dengan Barnabas dan Paulus yang kami kasihi, 26 yaitu dua orang yang telah mempertaruhkan nyawanya karena nama Tuhan kita Yesus Kristus.
27 Maka kami telah mengutus Yudas dan Silas, yang dengan lisan akan menyampaikan pesan yang tertulis ini juga kepada kamu. 28 Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini:
29 kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah, selamat."
Menurut Herbert Haag (lihat Herbert Haag, Bibliches Wörterbuch, Verlag Herder, Freiburg-Basel-Wien 2003) pertemuan para Rasul yang kemudian dikenal sebagai Konsili Rasul pertama atau Apostelkonsil di Yerusalem ini terjadi kira-kira tahun 49 Masehi menghasilkan banyak keputusan penting selain dari menjawab persoalan jemaat di Antiokhia, diantaranya
a). orang kristen asal kafir tidak boleh dipaksakan untuk disunat; b). pembagian wilayah kerja Pekabaran Injil antara Paulus mengabarkan Injil bagi orag kafir di luar Yerusalem sementara Petrus dank rasul-raul yang lain di Yerusalem dan sekitarnya; c). pengumpulan kolekte bagi jemaat di Yerusalem sebagai tanda keesaan.
Beberapa hal menarik dapat kita petik dari peristiwa yang dikisahkan ini:
Pertama, jikalau ada masalah yang muncul dalam jemaat, dalam kehidupan rumah tangga, hubungan suami istri, hubungan antar saudara, jalan terbaik adalah berkomunikasi timbal balik.
Artinya duduk dan bicara saling buka hati satu dengan yang lain untuk melihat maksud Tuhan dan kehendak Roh Kudus (Kisah 15:28) dibalik setiap peristiwa.
Kedua, ketika ada masalah dibutuhkan orang-orang yang dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih untuk bertindak sebagai penengah atau jurudamai (Peranan ini telah dimainkan dengan baik oleh Rasul Petrus dan Rasul Yakobus, Kisah 15:7-12 dan 13-21).
Sehingga konflik tidak meluas dan melebar kemana-mana. Sehingga baik jemaat atau kita sekalian yang berkonflik atau berselisih tidak membiarkan kuasa Iblis makin merajalela yang bisa saja semakin menghancurkan kehidupan kita sebagi anak-anak Tuhan.
Ketiga, jika ada masalah carilah atau mintalah jalan keluar dari pihak-pihak yang berkompeten. Kalau jemaaat bermasalah mintalah nasehat dari Klasis dan Sinode.
Kalau rumah tangga bermasalah suami istri bermasalah carilah para saksi nikah dan orang tua atau penasehat perkawinan. Jangan pada pihak ketiga yang justru menjadi proovokator, atau yang memanfaatkan situasi misalnya PIL (pria idaman lain) dan WIL (Wanita Idaman Lain), bisa tambah bahaya,
Keempat, keterbukaan Para rasul atau para pimpinan gereja di Yerusalem untuk pada satu pihak menerima dan menghargai hasil pekerjaan Rasul Paulus dan Barnabas yang telah bekerja keras dan mempertaruhkan nyawa mereka, tetapi juga kepada bangsa kafir di Antiokhia untuk tidak wajib mengikuti adat istiadat Yahudi sebagai pra syarat menjadi Kristen.
Artinya bangsa-bangsa Kafir tidak dipaksa untuk disunat kalau masuk kristen, cukup kalau mereka dibaptis dan beriman kepada Kristus dan menjauhi beberapa hal tertentu (Kisah 15:29).
Mereka dapat beribadah kepada Tuhan menurut budaya mereka sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan Injil Yesus Kristus. Mereka tidak dipaksakan melepaskan baju budaya mereka(adat mereka, kearifn lokal yang mereka miliki yang cocok dengan InjilKristus) dan harus memakai baju budaya Yahudi. Di mata Tuhan semua bangsa dan budaya berharga (Kisah 15: 14, 19).
****