Renungan Harian Kristen Protestan

Renungan Harian Kristen Jumat 17 Mei 2019 ''Setiap Upaya di Luar Tuhan Hanya Menuju Kehancuran''

Renungan Harian Kristen Jumat 17 Mei 2019 ''Setiap Upaya di Luar Tuhan Hanya Menuju Kehancuran''

Editor: maria anitoda
ISTIMEWA
Renungan Harian Kristen Jumat 17 Mei 2019 ''Setiap Upaya di Luar Tuhan Hanya Menuju Kehancuran'' 

Renungan Harian Kristen Protestan

Jumat 17 Mei 2019

Oleh: Pdt. DR Mesakh A.P. Dethan, MTh, MA

''Setiap Upaya di Luar Tuhan Hanya Menuju Kehancuran''

Walter Lempp dalam bukunya Tafsiran Kitab Kejadian 5:1-12:3  mengajak kita berandai-andai:  “andaikata semua penghuni bumi ini sekamus, andaikata istilah-istilah teknik dan ilmu, kesenian dan perdagangan adalah sama di seluruh dunia.

Andaikata ukuran-ukuran dan norma-norma dan alat pembayaran  di seluruh dunia adalah sama.

Maka alangkah banyaknya uang, waktu, tenaga dan kamus yang dapat di hemat”.

Andaikata seluruh manusia dapat berpikir sehaluan, maka dunia mungkin “adem ayem”.

Tidak perbedaan pendapat dan tidak ada konflik.

Semua pengandaianan ini bertolak belakang dan dengan kisah yang kita baca dalam cerita kitab Kejadian 11:1-9 berbicara bahwa kemungkinan itu tidak ada lagi dan tidak dapat diulangi”.

Menurut istilah ilmu sastera cerita Kejadian 11:1-9 ini merupakan suatu cerita aitiologi (suatu cerita tentang sebab akibat) yang hendak menjelaskan  nama kota Babel.

Tetapi memang bukanlah hanya kota Babel yang mau ditekankan, melainkan juga asal-usul dan adanya bahasa dan bangsa-bangsa yang berbeda.

Dari segi penafsiran Teks Kejadian 11:1-9 dapat kita bagi atas dua bagian besar.

Pertama pasal 11:1-2 dan pasal 11:3-9

Ayat satu dan dua menjelaskan kepada kita bahwa semula manusia bersatu dan memiliki bahasa yang sama.

Selain itu penegasan bahwa tidak pernah ada orang “bumiputera” atau penduduk asli di suatu negeri, melainkan terbentuknya dan lahirnya suatu bangsa terjadi dengan beralih dari pengembaraan kepada kediaman yang tetap.  

Soal asli dan pendatang sering menjadi makanan empuk bagi para politisi untuk menarik simpati sekaligus menjatuhkan dan melemahkan lawan-lawannya.

Isu ini juga dipakai untuk menggiring opini untuk membangun kebencian dan membentuk polarisasi dalam masyrakat.

Mengangkat isu ini sebetulnya berbahaya bagi upaya menjaga keutuhan masyarakat yang bersifat plural dan multi etnis dengan keragaman budayanya.

Ungkapan dalam ayat 2 sangat jelaskan mengungkapkan hal ini: “maka berangkatlah mereka”. 

Cerita Alkitab ini sangat cocok dengan penyelidikan ilmu etnologi dan sosiologi dari pada mitos suku-suku atau bangsa tertentu yang mencoba membuktikan bahwa bangsa itu adalah penduduk asli dan kekal di suatu daerah tertentu.

Bahwa setiap masyrakat punya narasi asal usulnya dari mana asalnya dan tujuannya mau kemana.

Ayat 3-9 menjelaskan tentang upaya manusia untuk melawan Allah.  

Ungkapan dalam ayat 3: “mereka berkata seorang kepada yang lain”.

Ungkapan ini mau mengindikasikan bahwa musyawarah dan mufakat manusia tersebut tidak didahului oleh doa dan memohon petunjuk dari Firman Allah itu sendiri.

Nampak bahwa segala usaha dan keaktifan, segala pembangunan yang hebat adalah inisiatif manusia semata-mata.

Jelas cerita menara Babel ini menegaskan bahwa pembangunan menara babel yang prestisius itu bukanlah pelaksanaan pesan Allah, melainkan buatan tangan manusia saja dan berdasarkan cita-cita dan hasrat manusia belaka.

Bahkan ada motivasi yang keliru dibalik pembangunan menara Babel dan hal ini dengan jelas diungkapkan dalam ayat 4: 4 Juga kata mereka: "Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi."

Alkitab melihat puncak dosa manusia bukanlah dalam kejahatannya yang utama, melainkan dalam hasratnya akan hasil karya tenaganya sendiri.

Manusia bukan hanya mau menunjukkan kemampuannya di hadapan Allah tetapi juga manusia mau mencoba membenarkan dirinya dengan karyanya di hadapan Allah.  

Manusia berusaha mencari namanya sendiri untuk dikenang dan dipuji, tetapi lupa untuk mengenang dan memuji  nama Allah yang agung dan mulia.

Dalam ungkapan “sampai kelangit” tersembunyi kebanggaan manusia  yang merupakan dosanya yang asali yaitu  ingin menjadi sama seperti Allah (Bandingkan Kejadian 3:5).

Manusia Adam dan Hawa secara perorangan telah gagal dalam upaya untuk menjadi sama seperti Allah, maka sekarang dalam kisah Menara Babel ini manusia secara masal atau global mencobanya kembali. Upaya ini juga gagal total. 

Apalagi upaya ini dilandasi dengan motivasi yang keliru untuk mencari nama supaya dikenang dan dipuji.

Pembangunan menara Babel adalah adalah motivasi manusia untuk mencari nama, di samping nama Yahwe.

Ini suatu contoh nyata dari sikap perlawanan manusia terhadap Allah.

Alkitab menegaskan bahwa hanya ada satu nama yang pantas dipuji yaitu nama Yahwe Israel yang agung dan mulia.

Banyak kecenderungan pekerjaaan manusia tidak merupakan pelayanan dan pemujian kepada nama Allah, melainkan percobaan untuk mengabadikan nama manusia itu sendiri.

Dan kita harus berhati-hati terhadap hal ini.

Sikap yang benar dari orang beriman adalah pada ad maiorem gloriam Dei, dan bukan pada ad maiorem gloriam sui ipsius.

Ini merupakan salah satu kritik utama penulis kitab Kejadian bahwa yang mesti diupayakan orang beriman adalah bahwa tindak tanduk kita hendaknya untuk memuliakan nama Allah dan bukan untuk mencari nama dan keagungan diri sendiri

Artinya bahwa melalui pekerjaannya manusia bukan lagi menjalankan tugas, amanat dan pesan Allah seperti dalam Kejadian 2:15, melainkan alat untuk mempermuliakan nama dan kesanggupan manusia sendiri.  

Dan ini sangat berbahaya, jika manusia hanya memusatkan diri untuk mencari kebanggan diri sendiri, kekuasaan diri sendiri dan sama sekali lupa kepada kuasa Allah yang lebih besar.

Ambillah contoh, kalau seorang mahasiswa kuliah hanya untuk cari nama dan, ijasah dan pangkat, maka ia dapat menghalakan segara cara termasuk menyontek, plagiat etc.

Tujuan perkuliahaan akan ditempuh dengan berbagai cara yang tidak benar.

Pada hal sebaliknya tujuan perkuliahan itu mestinya dicapai dengan cara yang benar demi untuk dapat melayani Allah dan masyarakat dengan lebih baik berdasarkan bidang ilmu yang dimilikinya.

Kalau pegawai negeri dan dosen, karyawan swasta, pegawai negeri, atau siapa saja dan kita  semua hanya bekerja untuk sekedar cari makan dan tanpa dilandasi pada pengabdian dan pengorbanan, maka kita hanya akan kerja asal-asalan, tidak sungguh-sungguh, kerja pancuri tulang dan cenderung egois, dan pada akhirnya hanya akan mengorbankan kepentingan orang banyak.

Jadi apapun yang kita kerjakan hendaknya itu dilandasi pada keinginan untuk memuliakan nama dan kuasa Tuhan dan bukan untuk nama kita atau nama dan kuasa segelintir orang.

Karena setiap upaya di luar Tuhan hanya menuju kepada dosa keangkuhan dan kegagalan seperti pesan Kisah kejadian pasal 11:1-9. Apapun yang kita lakukan hendaknya demi untuk nama dan kemulian Allah sendiri. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved