Renungan Harian Kristen Protestan
Renungan Harian Kristen Protestan Jumat 3 Mei 2019 '' Menjadi Berkat untuk Segala Bangsa''
Renungan Harian Kristen Protestan Jumat 3 Mei 2019 '' Menjadi Berkat untuk Segala Bangsa''
Renungan Harian Kristen Protestan
Jumat 3 Mei 2019
Oleh: Pdt DR Mesakh A P Dethan MTh
'' Menjadi Berkat untuk Segala Bangsa''
Dapatkah sebuah bangsa hidup tanpa bangsa lain?
Bahwa bangsa itu hanya satu agama, satu ras, satu bahasa, satu pemikiran.
Saya kira mungkin susah untuk dicari.
Kalau pun ada bangsa atau negara semacam ini mungkin mereka sangat terisolasi dari dunia luar.
Fakta membuktikan bahwa perkembangan dunia membuat dunia kita semakin terbuka dan tidak sempit lagi seperti dulu.
Apa yang disebut orang modern dengan globalisasi membuat sesuatu yang terjadi di belahan dunia yang lain segera diketahui dengan cepat di belahan dunia yang satunya lagi.
Anak Kupang atau anak Jakarta bisa kena wabah dan demam yang sama pada satu waktu: karena demam Korea akibat invasi “Blackpink in your area”.
Melalui televisi, kita seperti ada di dunia yang sama.
Semua orang bisa menyaksikan berbagai hal. Ilmu pengetahuan, hiburan, hobby, gaya hidup dan lain-lainnya.
Hal ini mempengaruhi cara berpikir, sampai cara berpakaian kita, cara bicara kita, bahkan cara makan kita.
Ketika almarhum Lady Diana memakai rambut pendek semua gadis dan emak-emak di seluruh dunia bergaya rambut pendek.
Ketika Justin Biber datang ke indonesia dengan baju “Warna Ungu”, banyak anak muda Indonesia ramai-ramai menyukai warna ungu.
Ketika seorang artis menggunakan warna kuning (tanpa konotasi politik), sesudah itu warna kuning menjadi trend baru.
Dimana-mana hanya ada warna kuning.
Sampai-sampai makanan pung harus dibuat menjadi kuning semua.
Termasuk nasi kuning, hehehe.
Ini membuktikan bahwa manusia saling mempengaruhi satu dengan lain.
Bangsa yang satu saling mempengaruhi bangsa yang lain.
Bangsa yang satu bergantung kepada bangsa yang lain.
Segala suku bangsa saling berbaur satu dengan yang lain.
Pembauran itu paling nampak dalam perkawinan antara bangsa, perkawinan antar ras.
Jadi bangsa, suku, saling berbaur dan saling mempengaruhi merupakan suatu keniscayaan dalam era modern ini.
Kawin mawin antar suku sudah tidak dapat dielakan lagi, malah mungkin suatu kebutuhan.
Bahan ada yang berkelakar untuk memperbaiki gen dan keturunan supaya lebih baik dan lebih unggul. Hehehe.
Dulu orang Rote hanya mau kawin dengan Orang Rote, Orang Timor hanya dengan Orang Timor, Orang Sumba dengan Sumba, tetapi sekarang sudah terjadi perubahan.
Rote dengan Sabu, Rote dengan Timor, Rote dengan Alor, Rote dengan Batak, Rote dengan Toraja, Rote dengan Jerman, Rote dengan Belanda dan atau sebaliknya, etc..
Dalam bacaan kita Rut 1:1-22 ini diceriterakan tentang perkawinan antara orang Israel dan orang bukan Israel dalam diri Rut.
Rut adalah seorang perempuan bangsa Moab menikah dengan Mahlon anak Naomi dan Elimelek.
Mungkin kita semua tentu sudah tahu bahwa ceritera tentang Elimelekh dan Naomi istrinya beserta dua orang anak laki-laki, suatu hari pergi ke Moab karena ada kelaparan di Betlehem.
Anak-anak mereka menikah dengan perempuan-perempuan Moab, yaitu Orpa dan Rut.
Sepuluh tahun di Moab, Elimelekh meninggal, demikian juga kedua anak laki-lakinya, tinggallah Rut bersama dengan kedua menantunya.
Ketika Naomi mengambil keputusan untuk kembali ke Betlehem karena sudah lewat kelaparan di sana, Naomi menyarankan agar Orpa dan Rut tidak ikut dengan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal.
Tetapi Rut tetap pada pendiriannya yang kuat yaitu mengikuti Naomi.
Hal ini nampak dari pernyataan Rut: ”…bangsamulah bangsaku, Allahmulah Allahku….”
Meskipun kenyataannya Naomi berkebangsaan Israel dan Rut berkebangsaan Moab, namun Rut mengakui bahwa kebangsaan Naomi juga bangsa Rut.
Demikian juga pengakuan tentang Allah. Allah Naomi juga diakui sebagai Allah Rut.
Kisah Rut ini kemudian menjadi kisah penting dalam paradigma dan idiologi Israel dalam hubungan dengan bangsa lainnya.
Ketegangan antara kebanggan dan kemurnian bangsa Israel pada satu sisi dan keterbukaan kepada bangsa lain menjadi isu penting bagi para nabi dan teolog Israel.
Pertanyaan pokok adalah apakah ada ruang bagi bangsa lain dalam sejarah penyelamatan Allah?
Dengan melihat kisah Rut sipenulis memberikan sikap dan paradigmanya bahwa bangsa lain patut juga untuk diperhatikan.
Karena sosok Rut yang diceritakan dalam Kitab Rut dapat menimbulkan suatu pemahaman bahwa Tuhan Allah juga memperkenankan orang dari luar bangsa Israel memperoleh bagian dalam rencana penyelamatan Allah.
Sementara pada waktu itu ada pandangan bahwa hanya orang Israel yang memperoleh keselamatan, sedangkan bangsa-bangsa lain tidak.
Cerita tentang Rut bisa menjadi contoh kesaksian hal tersebut, yaitu kesaksian bahwa Rut, orang Moab, orang kafir, ternyata dapat masuk ke dalam keluarga bangsa Israel.
Bahkan dari garis silsilah, Rut menjadi nenek moyang Raja Daud dan Yesus Kristus dikemudian hari.
Rencana Allah terhadap semua bangsa di dunia sudah menjadi rencana-Nya sejak semula.
Sasaran penyelamatan Allah tidak dibatasi pada orang Israel saja.
Itu berarti bahwa yang boleh menjadi anggota keluarga Allah atau anak-anak Allah adalah semua orang atau siapa saja dan dari bangsa manapun juga.
Ketika dalam Perjanjian Lama ada kesaksian tentang hal tersebut, yaitu melalui kenyataan diperkenankannya orang-orang dari luar bangsa Israel untuk merasakan kasih dan rahmat Tuhan; ternyata dalam diri mereka tampak sikap-sikap yang menjadi kehendak Tuhan.
Sikap mempercayai Tuhan Allah seperti yang dipercayai bangsa Israel.
Bagi bangsa-bangsa di luar Israel, kesempatan memperoleh keselamatan yang dijanjikan Tuhan merupakan anugerah Allah.
Beberapa peristiwa ditandai dengan munculnya orang-orang dari bangsa asing yang masuk ke dalam jajaran cerita perjalanan kehidupan bangsa Israel, seharusnya direnungkan dan pembuka cakrawala wawasan umat Tuhan untuk melihat dan memperlakukan bangsa-bangsa lain secara positif.
Pandangan tersebut seharusnya menimbulkan pemahaman dalam diri orang atau bangsa yang terpilih, bahwa ada rencana Tuhan yang lebih luas melalui pemilihan dan pemanggilan bangsa lain selain bangsa Israel.
Ada hal yang menarik dalam diri Rut, yaitu sikapnya yang benar-benar telah memiliki iman seperti yang juga dimiliki oleh Naomi mertuanya; padahal Rut adalah seorang perempuan bangsa Moab.
Seseorang bisa saja mengganti nama untuk menunjukkan penyatuan diri dengan ”pribumi.”
Tetapi dalam hal ini, Rut menyatakan bahwa dia tanpa basa-basi serta tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan untuk menganut keyakinan agama Israel.
Keputusan tersebut dinyatakan dengan sungguh-sungguh dan menjadi bagian dari hati dan hidupnya.
Dia tidak berpikir asal kebangsaannya, tetapi ia ingin menyempurnakan dedikasinya dalam hal mengasihi Naomi mertuanya.
Ia ingin tetap bersama ibu mertuanya sehidup semati, tidak ingin berpisah kecuali maut yang memisahkannya.
Rut juga mengasihi Tuhan yang disembah Naomi.
Rut ingin menjadi bagian dari keluarga umat Tuhan.
Dengan demikian Rut menjadi bagian dari umat pilihan Tuhan.
Naomi tidak bisa menolak dan harus menyerahkannya kepada Tuhan, harus mengajaknya dan memikirkan bagaimana kelanjutan hidupnya setelah tiba di Bethlehem.
Rut telah diterima oleh Naomi seperti anaknya sendiri dan keadaan itu sangat menggembirakan hati Naomi.
Dua bangsa benar-benar menyatu dalam kisah Rut ini.
Pembaca yang budiman rencana Tuhan menyelamatkan bangsa-bangsa lain semakin jelas, sehingga bangsa Israel harus menyesuaikan diri dengan rencana tersebut.
Pemilihan Tuhan harus dipahami oleh umat sebagai jalan bagi orang lain yang juga berhak menerima anugerah penyelamatan-Nya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, pemahaman kita tentang rencana penyelamatan Allah kepada bangsa-bangsa semakin mantap.
Allah berkenan menerima kehadiran pertobatan orang-orang dan bangsa-bangsa di luar umat pilihan.
Ini membuat kita semakin teguh dalam paradigma bahwa Tuhan sayang kepada semua suku bangsa, sayang kepada semua orang dan Kerajan Allah terbuka kepada segala bangsa.
Keberadaan orang percaya tentu juga merupakan akibat adanya kesadaran dan tanggung-jawab untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada segala bangsa.
Kesadaran ini juga harus dimiliki oleh orang-orang percaya pada saat ini dan harus diwujudkan dalam kesediaan memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada semua orang bahkan semua bangsa.
Seringkali muncul upaya mempersempit makna Kerajaan Allah dalam kehidupan bergereja.
Kerajaan Allah dalam gereja kadang ditafsir sebagai kerajaan keluarga dan kelompok semata.
Kerajaan Allah dipersempit sebagai suatu “mimpi pribadi atau mimpi kelompok untuk berkuasa secara terus menerus, yaitu cita-cita dan harapan, bahkan juga ambisi pribadi yang terbungkus religiusitas atau terbungkus dalam bahasa-bahasa pelayanan, tetapi sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah itu sendiri.
Sehingga upaya mewujudkan Kerajaan Allah dalam praktik hidup sering kali justru menjadi ambisi untuk mewujudkan “kerajaan diri sendiri”, “kerajaan keluarga”, “kerajaan kelompok” dan sebagainya.
Sebab nama “Kerajaan Allah” secara tidak disadari telah diidentikkan dengan berbagai kepentingan pribadi dan kelompok yang bersifat duniawi dan kedagingan semata yang haus kekuasaan.
Bahayanya adalah kita membangun pemikiran bahwa hanya kita dan kelompok kita saja yang terpilih, yang pantas dan layak dipakai Tuhan dan orang lain tidak.
Hanya kita saja yang pantas di hadapan Tuhan dan orang lain tidak, sehingga narasi-narasi kita untuk pengkultusan diri atau upaya memanipulasi paham kesukuan atau primordialise menjadi lahan yang subur untuk itu.
Penulis kitab Rut justru mengembangkan narasi yang menentang pradigma semacam ini.
Narasi Rut mengindikasikan Tuhan tidak saja melibatkan bangsa lain, tetapi ia juga memberikan peran kepada mereka dalam proses penyelamatan itu.
Karena Rut bangsa Moab yang juga masuk dalam silsilah keturunan Yesus oleh para penulis Perjanjian Baru mengindikasikan bahwa Tuhan dalam kebebasanNya mengunakan siapa saja untuk misi penyelamatanNya.
Kisah Rut ini menolong kita untuk kembali mengoreksi relasi-relasi kita dalam gereja dan masyarakat, bahkan juga sebagai bangsa Indonesia yang modern.
Terutama mengoreksi paradigma dan pandangan yang masih membedakan antara orang asli dan orang pendatang.
Pandangan ini bukan saja merugikan persekutuan kita, tetapi menodai dan mencemarkan persekutuan kita sebagai gereja Tuhan.
Kehadiran kita baik di gereja maupun di masyarakat hendaknya dipahami sebagai bagian dari rencana Tuhan.
Gereja seharusnya menjadi tempat kita mewujudkan kasih Kristus tanpa membeda-bedakan suku dan bangsa.
Kita harus sadar bahwa kita tidak saja membutuhan orang lain tetapi kita juga dibutuhkan orang lain.
Mari kita buktikan dalam persekutuan di gereja kita masing-masing bahwa kita semua sama di hadapan Tuhan dan tanpa membedakannya.
Mari kita meninggalkan pemahaman-pemahaman yang yang dangkal dan sempit yang tidak saja dapat melukai kita satu dengan yang lain, tetapi juga dapat membawa kita semakin jauh dari maksud Tuhan itu sendiri.
Kita tidak dapat hidup sendiri atau menciptakan dunia sendiri, kalau mau sehat dan sungguh-sungguh menjadi ana-anak Tuhan yang sejati.
Dan kita akan sakit terus ketika kita berpikir bahwa kita tidak butuh orang lain dan kita tidak perlu peduli dan toleran kepada orang lain.
Mau atau tidak mau dunia kita semakin hari makin maju dan makin terbuka dan kita diminta oleh Tuhan untuk menjadi berkat untuk segala bangsa. (*)