Renungan Harian Kristen Protestan
Renungan Harian Kristen 1 April 2019 Apakah Sesama Manusia Adalah Mereka yang Sama Pilihan Politik?
Renungan Harian Kristen 1 April 2019 Apakah Sesama Manusia Adalah Mereka yang Sama Pilihan Politik?
Renungan Harian Kristen Protestan
Senin 1 April 2019
Oleh: Pdt DR Mesakh A P Dethan, MTh
Apakah sesamaku manusia adalah mereka yang sama pilihan politik?
Johanes Calvin, sang Reformator gereja berkebangsaan Swiss, pernah mengatakan bahwa “Gereja adalah ibu orang percaya.
Tempat dimana orang-orang percaya dibenarkan, dikuduskan, dibimbing, dirawat dan tidak dibiarkan terlantar.
Tempat dimana orang-orang percaya tidak hanya menerima berkat-berkat keselamatan, tetapi menjadi penyalur berkat keselamatan itu kepada dunia”.
Gereja adalah ibu yang peduli dan solider dengan orang percaya dalam segala lingkup pelayanan.
Jika gereja berhenti memberi inspirasi dan tidak lagi menjadi dasar sikap solider terhadap sesama, maka gereja akan berhenti menjadi gereja.
Karena sikap solider selalu diajarkan Yesus kepada orang beriman sebagaimana yang diungkapkan dalam bacaan kita Lukas 10: 25-37 yang menekankan tema
“Siapakah sesamaku manusia”?
Pembaca yang budiman tentu tema solidaritas terhadap sesama dengan penekanan pada kasih, bukanlah hal yang mudah.
Saya katakan bukan hal yang mudah, oleh karena persoalan yang sangat aktual saat ini adalah: maraknya praktik kekerasan (ancaman, intimidasi verbal, stigma dan cap-cap yang dikenakan untuk orang-orang Kristen sebagai orang kafir, ujaran-ujaran kebencian yang disampaikan melalui media masa, media social dll, bahkan menjurus kepada kekerasan fisik) dan peristiwa pengeboman gereja-gereja tentu sangat melukai nurani dan martabat orang-orang Kristen sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini, bangsa Indonesia.
Karena itu sekali lagi, pertanyaan tentang siapakah sesamaku, bukanlah pertanyaan yang mudah untuk dijawab.
Kalau kita sungguh-sungguh mau jujur.
Karena yang terjadi saat ini kita menjadi was-was, bahkan takut, penuh curiga terhadap orang-orang di sekitar kita yang mengenakan pakaian tertentu dengan wajah tertentu.
Kita jadi tidak nyaman.
Apalagi di tahun politik ini, kita merasa benci dan jengkel kalau pilihan teman-teman kita tidak sama dengan kita.
Kita mengganggappilihan kita sebagai yang terbaik, dan pilihan orang lain sebagai yang terburuk.
Apalagi kita juga turut masuk dan terjebak dalam suatu keadaan pilihan “demokrasi yang ke kanak-kanakan”.
Yang saya maksudkan dengan kekanak-kanakan karena kita tidak terbiasa untuk menghargai perbedaan.
Demokrasi yang kekanak-kanakan seumpama orang tua yang tidak mau anaknya yang berumur 5 tahun keluar dari halaman rumah dengan menakut-nakutinya bahwa ada Harimau pada siang hari atau ada setan gendoruwo pada malam hari.
Tujuan menakut-nakuti supaya anak tidak ada pilihan lain selain patuhuntuk tetap berada dalam halaman rumah, tidak keluar kemana-mana dan dengar apa kata orang tua.
Orang yang berbeda dengan kita cenderung kita anggap sebagai bukan sesama kita bahkan dianggap musuh.
Bahkan sesama atau kawan kita adalah orang yang seide, sepilihan, sehobi, tidak pernah mengeritik kita.
Jika kita berpikir demikian, maka kita terjebak dalam kedangkalan berpikir dan kita tidak lagi menggunakan akal sehat.
Orang Farisi selalu berupaya untuk menjebak dan menjatuhkan Yesus dengan pertanyaan yang aneh-aneh yang penuh jebakanyang jauh dari akal sehat, seperti dalam pertanyaan “siapakah sesamaku manusia”?
Dalam situasi ini kita dapat berefleksi dari cara Tuhan Yesus menghadapi seorang Farisi atau ahli Taurat yang datang dengan niat yang tidak tulus dalam bacaan kita tadi.
Si Ahli Taurat yang nota bene adalah seorang pakar agama mau menguji Yesus untuk melihat apa jawaban Yesus atas sebuah pertanyaan yang menjebak yaitu tentang “Hidup kekal”.
Rupanya Hidup yang kekal merupakan pokok perdebatan yang lagi hangat dalam agama Yahudi pada waktu itu (bdk Lukas 18:18).
Walaupun Yesus telah tahu niat buruk dan motivasi dibalik pertanyaan itu, namun Yesus membalikan keadaan dan mengubahnya menjadi hal yang baik dengan mengisahkan perumpamaan yang indah tentang “Orang Samaria yang murah hati”.
Seumpama pertandingan bola kaki pada piala dunia misalnya Tim Jerman diserang oleh Swedia, namun dengan serangan balik yang cepat akhirnya Jerman menghasilkan 2 gol sehingga kedudukan menjadi 2:1.
Atau dalam permainan catur serangan balik dari lawan dengan Skak-ster maka pihak lawan akan keteter dan dalam keadaan diambang kekalahan.
Yesus menjawab orang Farisi yang datang padanya dengan mengajukan sebuah pertanyaan: Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana? (Lukas 10:26). Sebagai seorang pakar Taurat tentu dia tahu jawabannya.
Maka orang itu menjawab: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." (Lukas 10: 27-28).
Menurut Dr. Lightfoot, orang Yahudi primitive mengartikan kata-kata: “Kasihilah sesamamu manusia, menunjuk kepada kaum sebangsanya sendiri, seagama mereka sendiri, sesuku mereka sendiri.
Diluar bangsa Yahudi bukanlah sesamanya”.
Bagi orang Yahudi primitive yang disebut sesama kita hanyalah orang-orang yang sebangsa dan seagama dengan mereka."
Apabila mereka melihat seorang bukan-Yahudi sedang sekarat, mereka tidak merasa berkewajiban untuk menyelamatkan nyawanya.
Menurut Lightfoot mereka hanya memahami bahwa orang-orang di luar Israel bukanlah sesama mereka. Titik.
Melalui Perumpamaan ini Yesus hendak meruntuhkan pemahaman yang sangat terbatas, sempit, bahkan picik tentang siapakah sesama manusia?
Yesus mau meluruskan pemikiran mereka yang salah bahkan tidak manusiawi ini, bahwa sesama kita adalah semua orang, tanpa memandang suku, bangsa, agama, partai politik, pilihan politik atau status apapun yang melekat pada dirinya.
Dalam perumpamaan itu orang Yahudi malang itu bukan ditolong oleh orang-orang yang tahu tentang Taurat, tetapi yang memiliki belas kasihan.
Dan itu ada dalam diri seorang Samaria, dari suku bangsa yang paling dianggap hina dan dibenci oleh orang-orang Yahudi.
Orang ini masih malah memiliki belas kasihan.
(Kata ini yang sering digunakan untuk menggambarkan kepirhatinan Yesus terhadap orang kusta, orang sakit dan sebagainya).
Imam dalam perumpamaan tadi mengeraskan hatinya terhadap salah seorang dari bangsanya sendiri, tetapi orang Samaria itu membuka hati terhadap salah seorang dari bangsa lain.
Belas kasihan yang ada pada diri orang Samaria ini bukanlah belas kasihan yang berpangku tangan.
Baginya, belumlah cukup untuk sekadar berkata, "Semoga cepat sembuh, semoga ada yang menolongmu" (Yak. 2:16), atau apalagi umpatan dan cacian pada korban: biar ko kau raas siapa suruh jalan sendiri atau dalam khas Bahasa Kupang, “makan ko tambah”.
Akan tetapi orang Samaria itu mau menolong karena hatinya tergerak, ia mengulurkan tangannya kepada orang malang yang miskin ini (Bandingkan Yes. 58:7,10; Ams. 31:20).
Lihatlah betapa baik hatinya orang Samaria ini.
Setelah mengisahkan perumpamaan itu Yesus bertanya kepada pakar Taurat itu: "Sekarang katakan kepada-Ku, Siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu (Lukas 10:36), imam, orang Lewi, atau orang Samaria itu?
Siapakah dari antara mereka yang berlaku sebagai sesama manusia?" Ahli Taurat itu menjawab , "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya. " Maka Yesus berkata: Pergilah, dan perbuatlah demikian.
Ada beberapa hal yang dapat kita renungkan dari bacaan ini:
Pertama: bahwa tidak semua orang yang menjumpai kita datang dengan niat yang baik seperti si Farisi yang datang pada Yesus dengan niat mencobai dan menjatuhkan. [
Mungkin saja ada yang datang dengan niat buruk.
Niat untuk mencoba, niat untuk menjatuhkan, niat untuk mencelakakan, niat untuk mencari tahu kekurangan kita.
Tidak apa-apa, karena kita tidak dapat memastikan bahwa semua orang bersikap baik.
Namun kita belajar dari Yesus, yang mampu mengubah prasangka buruk si Ahli Taurat dan membawanya memahami siapa sesamanya dan kehidupan kekal yang ia impikan.
Kita juga dapat mengubah orang-orang yang kita jumpai atau menjumpai kita dengan niat buruk menjadi orang-orang baik.
Kita juga akan berjumpa dengan orang-orang yang salah paham, curiga, berprasangka buruk, menuduh, dan menyakiti orang lain dengan ujaran-ujaran yang menyakitkan.
Kita belajar dari Yesus untuk mengampuni.
Ketika terjadi peledakan bom di Surabaya PGI,GMIT dan gereja-gereja yang terkena bom, memilih sikap yang sangat kristiani, yakni menghimbau agar tidak memposting gambar-gambar korban, ataupun menyebarkan ujaran-ujaran kebencian.
Ini sikap yang mesti menjadi gaya hidup kita orang-orang percaya.
Ketika ada banyak orang menyebarkan ujaran-ujaran kebencian ataupun mengatakan hal-hal yang tidak benar, tugas kita mesti sebaliknya.
Menyatakan yang benar dan menyebarkan tentang cinta kasih. Ketika ada yang salah, tugas kita untuk meluruskan.
Dan kita percaya bahwa kita tidak sendiri, melainkan ada Roh Penolong, ada kuasa yang menggerakkan kita.
Mari kita menggunakan Bahasa yang membangun, yang meneguhkan, Bahasa yang memberi penguatan dan semangat.
Termasuk Bahasa tubuh kita.
Kadang Bahasa tubuh kita memperlihatkan penolakan dan pelecehan terhadap orang lain.
Kedua, pertanyaan Siapakah sesamaku, menjadi tema penting dalam tahun politik ini.
Bisa saja orang yang kita anggap sebagai sesama sebagai biang kerok segala macam kegaduhan ini, dan orang yang kita annggap bukan sesama kita bisa saja hendak dipakai Tuhan untuk memberi harapan baru bagi bangsa Indonesia ke depan.
Kisah orang Samaria yang murah hati mau mengajarkan kepada kita bahwa sesama adalah orang yang telah mampu mengatasi kebencian yang telah diwariskan dari generasi ke generasi dengan menunjukan relasi baru dengan menunjukkan belas kasihan dan menjadi sesama yang sejati bagi orang lain yang berbeda dengan kita.
Yesus mau kita belajar bahwa kebaikan dan belas kasihan lebih kuat dari prasangka buruk.
Bisa saja suasana menjelang pemilu serentak pada tanggal 17 April 2019 nantiakan mempersempit pemahaman kita tentang siapakah sesama kita karena pilihan politik kita yang berbeda-beda.
Yesus mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan itu adalah pemberian Allah dan karena pemberian Allah, maka kita mesti menghargainya.
Namun perbedaan itu tidak menjadi alasan untuk kita saling menghina, saling menjatuhkan dan sikap-sikap yang tercela lainnya.
Masing-msing orang punya pilihan politik, tetapi prinsip dasar yang mesti kita terima bersama hari ini, yaitu: Kita semua orang-orang bersaudara. Semua orang adalah sesama kita.
Tidak semua orang dapat kita jadikan sahabat, tetapi terhadap semua orang kita dapat bersikap baik.
Saya selalu suka kata-kata ini: pilihan politik kita berbeda tetapi kita berdua adalah saudara sebangsa se tanah air.
Marilah kita tetap bertumbuh bersama dalam pelukan ibu pertiwi. (*)