Renungan Harian Kristen Protestan Sabtu 16 Maret 2019 '' Non Scholae, sed vitae discimus''

Renungan Harian Kristen Protestan Sabtu 16 Maret 2019 '' Non Scholae, sed vitae discimus''

Editor: maria anitoda
ISTIMEWA
Renungan Harian Kristen Protestan Sabtu 16 Maret 2019 '' Non Scholae, sed vitae discimus'' 

POS-KUPANG.COM - Renungan Harian Kristen Protestan Sabtu 16 Maret 2019 '' Non Scholae, sed vitae discimus''

Renungan Harian Kristen Protestan

Oleh: Pdt DR Mesakh A P Dethan MTh 

Non Scholae, sed vitae discimus

Ada sebuah Pepatah Latin yang mengatakan: Non Scholae, sed vitae discimus yang artinya: “Belajar bukan untuk  sekolah, melainkan untuk hidup”.

 Itu artinya apa?

Artinya bahwa orang  belajar bukan semata-mata untuk mendapat nilai atau lulus, atau untuk mendapat gelar, atau untuk dihormati dan demi gensi, tetapi pendidikan  bertujuan untuk membentuk manusia seutuhnya baik jasmani maupun rohani, sehingga mampu memajukan mutu kehidupannya maupun juga menjadi berkat bagi kemanusiaan.

Karena itu di dunia modern sekarang ini, IQ bukan satu-satunya ukuran kepintaran seseorang, tetapi ada aspek-aspek lain yaitu aspek emosional,rohani juga mesti menjadi perhatian.

Tanpa aspek-aspek itu, maka bisa saja seseorang pintar, tetapi kepintarannya dipakai untuk melakukan kejahatan, penipuan atau rupa-rupa perbuatan buruk dan hal-hal jahat.

Bahkan ada orang yang punya ijazah, gelar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Mungkin juga ijazahnya palsu, atau berasal dari universitas abal-abalan.

Dalam Kitab Amsal 1:8-19 sang penulisnya, yaitu Salomo dalam bacaan kita hari ini menempatkan diri sebagai orangtua yang sedang memberikan nasihat kepada anak-anaknya.

Itu tidak berarti bahwa nasihat ini hanya untuk anak-anak, tetapi bagi semua orang percaya.  

Karena seringkali kebanykan  bukan anak-anak yang melakukan kejahatan tetapi kebanyakan orang dewasa dan anak-anaklah yang menjadi korban.

Terakhir dalam minggu ini anak-anak dibawah umur menjadi korban ulah orang dewasa yang dilakukan oleh para caleg dari partai tertentu.

 Salomo memperbandingkan dua jenis sumber pengajaran atau didikan.

Sumber yang pertama ialah: Orangtua atau (ayah dan ibu dan keluarga dekat).

Dan sumber yang kedua, yaitu:  orang berdosa dan atau juga dan ini yang sulit untuk dikontrol yakni media sosial dan media elektronik lainnya.

Salomo mengingatkan bahwa sikap yang harus diberikan ketika menerima didikan orang tua atau didikan dari siapapun (rohaniawan, tokoh agama, etc) ialah: mendengarkan dan tidak menyia-nyiakan tiap pengajaran mereka, sebab dengan mendengar nasihat mereka, anak-anak dan atau kita semua akan memperoleh kebahagiaan: (ayat 9) : karangan bunga dan kalung di taruh di leher mereka.

Bagaimana reaksi yang diberikan terhadap sumber didikan yang berasal dari orang jahat?

Ayat 10 dengan tegas Salomo katakan bahwa tidak boleh menurutinya.

Pada ayat 11-14 Salomo memberikan beberapa bentuk kejahatan yang mereka tawarkan:

Pertama: mereka mengajak untuk membunuh orang tak bersalah tanpa belas kasihan sedikitpun (ay 11-12). Kedua: Mengajak untuk memperoleh kekayaan dengan cara mencuri (ayat 13).

Untuk hal-hal itu, Salomo meminta agar jangan mengikuti bujuk rayu tersebut atau termakan dengan jebakan-jebakan mereka yang berbahaya.

Oleh karena mereka tidak menyadari bahwa perbuatan mereka akan mencelakakan hidup mereka saja tetapi bahkan orang-orang lain yang tak berdosa (ayat 17-19: jaring di depan mereka).

Kebodohan orang berdosa seperti itu.

Merasa bahwa apa yang ia lakukan tidak diketahui orang lain, ternyata perbuatannya sendiri menjerat dia masuk perangkapnya atau jebakannya sendiri.

 Pembaca yang budiman dalam kehidupan kita, baik sebagai anak-anak, remaja, pemuda, dewasa, bahkan orang tua, setiap hari kita ditawari dua model pendidikan atau ajaran, yakni yang baik dan yang jahat dari berbagai media sosial dan media elektronik.

Oleh karena itu  Salomo mengingatkan kita agar menerima yang baik dan menolak yang jahat dan jangan berkompromi.

Sebab kalau salah menerima didikan, maka akan terjerat dalam kejahatan.

Banyak orang tua, para guru, kakak-kakak dan saudara kandung atau keluarga dekat (Om dan Tante), yang stress dengan gaya anak-anak sekarang yang menolak untuk ditegur, tidak mau menerima didikan.

Hidup masih bergantung pada orang lain, tetapi tidak mau ditegur.  

Anak-anak sekarang kalau disuruh duduk untuk dinasehati orangtua, seperti duduk di kursi panas.

Tapi kalau dapat info baru yang meskipun dia tahu itu jahat, tapi dia bilang, trus....trus....oh...teruskan...

Dunia kita tiap    saat menawarkan, dan terus menawarkan hal-hal jahat dan buruk atau juga menawarkan kesenangan sesaat tetapi yang membahayakan.

Jangan heran indonesia saat ini dinyatakan sebagai negara darurat kekerasan seksual.

Kasus Margaret dan anak Enjelin, Yuyun di bengkulu, kepsek perkosa murid, pengusaha melakukan pelecehan seksual para artis dan anak-anak tak berdosa, misalnya yang paling heboh dan miris terhadap 58 anak di bawah umur.

Orang tua kandung perkosa putrinya sendiri terjadi di NTT dan di tempat-tempat lain.

Narkoba, pencurian dst... membuktikan bahwa begara kita sedang sakit parah dalam berbagai bidang, belum lagi nilai tukar rupiah yang merosot, hutang Indonesia yang makin membengkak, kemiskinan merajalela, sementara para politisi demi mempertahan kekuasaannya meninabobokan rakyat dengan janji-janji palsu dan kentara bohonnya.

Para pakar di Indonesia memberikan dua penyebab utama masalah ini yakni oleh karena  Miras dan Pornografi. Orang mabuk dan linkung (bukan hanya mabuk alkohol tetapi juga mabuk kuasa dan lain sebagainya).

Sedangkan pornografi membuat orang menjadi dungu dan terjebak dengan fantasi-fantasi liar sehingga menjadi seperti “binatang buas”, sehingga tidak mampu lagi membedakan siapa korbannya di depan.

Saya kira perlu tambah satu penyebab lain yang paling utama,oleh karena orang tidak takut Tuhan, makanya mereka menjadi bodoh dan tdak Pintar dan sekaligus tidak cerdas secara spiritual (Lihat Amsal 1:7 “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.”).

Jadi membangun hubungan yang akrab dengan Tuhan dan taat kepada FirmanNYa akan membantu kita menjadi orang yang berguna bukan saja bagi diri sendiri tetapi juga menjadi berkat bagi kemanusiaan.

Disitulah kita belajar untuk hidup bukan untuk sekolah itu sendiri: Non Scholae, sed vitae discimus. . Semoga.

 (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved