Opini Pos Kupang

Optimalisasi Potensi Desa dalam Pembangunan NTT

Angka IPD Nusa Tenggara Timur masih di bawah IPD Nasional sebesar 59,36 dan menduduki peringkat ke-4 terbawah.

Editor: Ferry Jahang
ISTIMEWA
ILUSTRASI DANA DESA 

Optimalisasi Potensi Desa dalam Pembangunan NTT

Oleh: Marthin Fernandes Sinaga, SST
ASN Badan Pusat Statistik Kab. Sumba Timur

PADA bulan Mei 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) selaku penyedia data statistik resmi pemerintah melaksanakan Pendataan Potensi Desa (Podes).

Pelaksanaan Podes kali ini dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia dan sudah dilaksanakan sebanyak 3 kali dalam 10 tahun terakhir.

Hasil Podes 2018 mencatat terdapat sebanyak 3.048 desa, 305 kelurahan, 309 kecamatan, 22 kabupaten/kota di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Selain itu, Podes 2018 juga menghasilkan data yang dapat menunjukkan perkembangan desa di Nusa Tenggara Timur melalui Indeks Pembangunan Desa (IPD).

IPD dijadikan sebagai indikator yang mampu menentukan sebuah desa dikategorikan sebagai desa tertinggal, desa berkembang ataupun desa mandiri.

Dimensi-dimensi yang menjadi penyusun dari IPD yaitu Pelayanan Dasar, Kondisi Infrastruktur, Aksesibilitas/Transportasi, Pelayanan Umum, dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Secara keseluruhan, jumlah indikator untuk menyusun IPD berjumlah sebanyak 42 indikator.

Potret Desa di NTT Tahun 2018

Hasil Podes 2018 menghasilkan pengkategorian desa di Nusa Tenggara Timur yaitu sebanyak 1.094 desa tertinggal (35,89 persen), 1.945 desa berkembang (63,81 persen), dan sebanyak 9 desa mandiri (0,30 persen).

Persentase desa tertinggal memang masih tinggi dibanding angka nasional sebesar 19,17 persen.

Namun, terjadi penurunan yang cukup signifikan pada jumlah desa tertinggal yaitu turun sebesar 15,97 persen dibandingkan hasil Podes tahun 2014.

Di sisi lain, jumlah desa berkembang juga meningkat cukup banyak yang pada tahun 2014 persentasenya sebesar 48,07 persen dan jumlah desa mandiri yang bertambah sebanyak 7 desa.

Pada tahun 2018, angka IPD Nusa Tenggara Timur yang dihasilkan dari pendataan Podes yaitu sebesar 52,86. BPS juga mencatat terjadi peningkatan di masing-masing dimensi pembentuk IPD.

Dimensi yang mengalami kenaikan tertinggi adalah Dimensi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dari 61,53 menjadi 74,14 (naik 12,61).

Selanjutnya peningkatan tertinggi adalah Dimensi Pelayanan Umum dari 38,26 menjadi 42,77 (naik 4,51), Dimensi Pelayanan Dasar dari 46,72 menjadi 49,54 (naik 2,82), Dimensi Kondisi Infrastruktur dari 26,41 menjadi 28,96 (naik 2,55), dan Dimensi Transportasi dari 79,35 menjadi 81,79 (naik 2,44).

Data yang juga dihasilkan dari Podes 2018 adalah potensi dari desa/kelurahan, dimana di Provinsi NTT, angka industri mikro dan kecil yang besar terdapat pada industri kain tenun yaitu sebanyak 1.477 desa/kelurahan dan sebanyak 1.588 desa/kelurahan yang memiliki industri dari kayu.

Jika hal ini dikembangkan, tentunya potensi dari desa/kelurahan tersebut akan makin besar.

Kain tenun dari beragam daerah di NTT memiliki motif-motif yang sangat khas dan bernilai tinggi serta industri dari kayu jati, mahoni dan tentunya cendana dari NTT yang begitu tersohor.

Lalu data lainnya yang berasal dari Podes adalah tantangan dari desa/kelurahan seperti bencana alam dan penyakit.

Selama 2015 hingga 2017, terdapat 255 desa/kelurahan yang mengalami gempa bumi, 143 desa/kelurahan yang terdampak gelombang pasang laut, 840 desa/kelurahan yang mengalami puting beliung, dan 1.042 desa/kelurahan yang terdampak kekeringan.

Hal tersebut tidak lepas dari posisi dan iklim Nusa Tenggara Timur serta keberadaan patahan bumi di selatan Sumba dan Timor lalu di utara Pulau Flores.

Sikap Terhadap Hasil Pendataan Potensi Desa

Kenaikan IPD NTT pada tahun 2018 naik sebesar 3,93 dibanding tahun 2014 yang lebih besar jika dibandingkan dengan kenaikan IPD Nasional (naik 3,65) merupakan sebuah capaian yang layak untuk diapresiasi.

Namun jika dilakukan pemeringkatan secara nasional, angka IPD Nusa Tenggara Timur masih di bawah IPD Nasional sebesar 59,36 dan menduduki peringkat ke-4 terbawah.

Hal ini menjadi PR untuk pemerintahan provinsi NTT, khususnya hingga ke tingkat desa.

Kemudian, rendahnya capaian pada Dimensi Kondisi Infrastruktur, Dimensi Pelayanan Umum, dan Dimensi Pelayanan Dasar juga harus menjadi poin perbaikan ke depannya dalam pemanfaatan dana desa.

Selain itu, meskipun sudah terjadi penurunan yang cukup besar, sebanyak 35,89 persen dari jumlah desa tertinggal juga perlu mendapat perhatian dalam penggunaan dana desa yang dikucurkan oleh pemerintah.

Keberadaan dana desa merupakan bagian dari nawacita ke-3 dari Presiden Jokowi yaitu membangun Indonesia dari pinggiran.

Dana desa diharapkan dalam mendorong desa-desa di seluruh Indonesia untuk makin maju dan sejahtera.

Untuk Provinsi NTT, dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat sejak tahun 2015 sampai 2018 yaitu masing-masing Rp. 813 milyar, Rp. 1.849 milyar, Rp. 2.158 milyar dan Rp. 2.353 milyar.

Sementara pada tahun 2019, dana desa dari APBN untuk NTT mencapai Rp. 2.857 milyar.

Dana yang dikucurkan tersebut tentulah merupakan dana yang sangat besar.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur harus mampu membaca situasi dan menentukan sikap serta kebijakan berdasarkan data yang dihasilkan dari Potensi Desa 2018 oleh Badan Pusat Statistik.

Pembangunan desa tentunya bukan hanya menjadi tugas dan aparat desa saja.

Pentingnya upaya pendampingan, arahan serta pengawasan terhadap aparat desa menjadi sebuah hal yang harus dilakukan oleh pemerintah provinsi, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan dan potensi desa yang juga berkaitan dengan dana desa.

Dana desa digunakan secara bertanggung jawab, berkeadilan, melihat prioritas, melibatkan masyarakat dan tenaga terampil serta ahli.

Jika melihat dari komponen penyusun Indeks Pembangunan Desa, Dimensi Kondisi Infrastruktur dapat dijadikan prioritas dalam penggunaan dana desa.

Hal-hal terkait yang dapat dilakukan yaitu dalam melakukan pembangunan infrastruktur ekonomi seperti pasar, insfrastruktur energi seperti ketersediaan bahan bakar dan penerangan, infrastruktur air bersih dan sanitasi, serta infrastruktur komunikasi dan informasi.

Tentunya hal-hal tersebut dilakukan dengan tetap tidak mengesampingkan dimensi-dimensi lain dalam IPD.

Selain itu, pengelolaan keuangan desa juga harus transparan, dapat dipertanggungjawabkan, partisipatif, dan sesuai dengan aturan.

Hal ini menjadi PR bersama, baik mulai dari pemerintahan tertinggi di provinsi Nusa Tenggara Timur hingga ke setiap aparat desa.

Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain mengupayakan tenaga-tenaga potensial, pembinaan terhadap setiap aparat desa, fungsi pengawasan anggaran yang dijalankan sesuai aturan, pembimbingan teknis, dan pembangunan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Berkaca dari beberapa desa yang sukses di daerah lain, keberadaan BUMDes dapat menyerap tenaga kerja hingga meningkatkan pendapatan desa secara signifikan.

Hal tersebut akan makin terasa dampaknya jika melihat potensi desa/kelurahan yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam industri kain tenun dan industri dari kayu yang dapat lebih dimanfaatkan.

Kemudian, jika melihat data dari tantangan desa/kelurahan, pentingnya sosialisasi ke masyarakat desa/kelurahan tentang hal-hal yang dilakukan ketika terjadi bencana.

Apalagi mengingat akhir-akhir ini kejadian gempa bumi cukup sering terjadi.

Adanya bencana kekeringan yang banyak terjadi pada desa-desa di NTT juga perlu disikapi agar kebutuhan dasar masyarakat seperti air tetap dapat dipenuhi.

Pembangunan masyarakat khususnya di desa-desa tidak dapat berjalan sendiri oleh perangkat desa.

Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah provinsi, kabupaten hingga ke desa sangat diperlukan, khususnya dalam pengelolaan keuangan desa hingga akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved