Renungan Harian Kristen Protestan

Bukan Dunia yang Kiamat, Kamulah yang Kiamat Karena Ulahmu!

Namun yang tidak bisa kita pastikan adalah kapan kiamat itu terjadi dan dengan cara bagaimanakah kiamat itu akan terjadi?

Editor: Ferry Jahang
Dok Pribadi
Dr. Messakh Dethan 

Bukan Dunia yang Kiamat, Kamulah yang Kiamat Karena Ulahmu!

Renungan Harian Kristen Protestan

Jumat, 22 Februari 2019

Oleh: Pdt. DR Mesakh A.P. Dethan, MTh, MA

RENUNGAN kita hari ini mencoba berdialog dengan pemahaman-pemahaman teologis yang keliru tentang akhir zaman berdasarkan penggalian teks kita Wahyu 21:1-8.

Tentu kita semua yakin bahwa suatu saat dunia ini akan kiamat! Kehidupan manusia dibumi akan berakhir.

Namun yang tidak bisa kita pastikan adalah kapan kiamat itu terjadi dan dengan cara bagaimanakah kiamat itu akan terjadi?

Apakah Allah sendiri yang akan menghancurkannya? Apa tanda-tandanya bahwa sang pencipta menghancurkan ciptaannya sendiri?

Pertanyaan yang lebih penting lagi: apakah memang benar bahwa Alkitab yang mengatakan kepada kita bahwa Tuhan Allah Pencipta akan menghancurkan ciptaanNya sendiri, atau justru bukan Allah tetapi manusia sendiri?

Banyak data yang menunjukkan bahwa manusia dengan perilakunya secara perlahan-lahan sedang menghancurkan tempat tinggalnya sendiri. Atau paling tidak orang lain dijadikan korban.

Contoh misalnya masyarakat di dataran lebih rendah seperti Kelurahan Oeba, Merdeka, Oesapa, etc., setiap musim hujan selalu menerima kiriman banjir air hujan dan sampah kotoran plastik, oli kotor dan segala jenis sampah lainya termasuk kuman-kuman berbahaya baik yang terlihat mata telanjang maupun tidak.

Apalagi pemerintah kota Kupang belum secara serius membuat dan mengatur drainase setiap jalan-jalan di Kota Kupang, akibatnya sampah bebas mengalir kemana-mana.

Tiap tahunnya masing-masing kota di dunia setidaknya menghasilkan sampah hingga 1,3 miliar ton. Diperkirakan oleh Bank Dunia, pada tahun 2025 jumlah ini akan bertambah hingga 2,2 miliar ton sampah.

Menurut Riset Greeneration, organisasi non pemerintah, rata-rata orang Indonesia menghasilkan 700 kantong plastik per tahun.

Pada hal di alam, kantong plastik yang tak terurai sehingga menjadi ancaman kehidupan dan ekosistem. Semakin menumpuk sampah plastik menimbulkan pencemaran serius.

Sampah juga bisa menimbulkan bencana seperti yang terjadi dalam tragedi longsornya sampah di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005 silam yang menelan ratusan korban meninggal dan 2 kampung adat hilang dari peta dunia (www.pikiran-rakyat.com/.../21/klipingpr-tragedi-longsor-sampah-di-tpa-leuwigajah ).

Sejak berabad-abad manusia telah memanfaatkan bumi bagi kebutuhan hidupnya. Manusia memanfaatkan segala potensi yang ada di bumi, mulai dari sandang, pangan, papan dan sebagainya.

Segala yang bergerak dari darat, laut maupun udara, baik makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan, dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan umat manusia.

Namun dampak dari pemanfaatan itu bukan hanya bersifat positif, tetapi juga berakibat negatif, baik bagi kehidupan sekarang, maupun bagi generasi yang akan datang dan kelanjutan dari bumi itu sendiri.

Dampak negatif yang paling nyata adalah, terjadinya kerusakan alam di mana-mana, baik berupa pencemaran air, udara, maupun kerusakan-kerusakan hutan yang parah.

Pemahaman teologi yang keliru berdasarkan penafsiran alkitab yang kurang akurat bisa juga turut memberi sumbangsi bagi kehancuran alam.

Hal ini bisa kita lihat pada kasus yang diceritakan oleh Bapak Rudolf Ora (70 tahun), seorang Utusan Injil di Amarasi, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Ia bertutur bahwa pada masa mudanya, sekitar tahun 1930, ia dan teman-temannya turut serta dalam "misi penginjilan untuk menobatkan orang-orang Timor yang masih kafir untuk masuk Kristen.

Dalam "misi" itu, ia bersama-sama dengan para penatua, pendeta dan penginjil mengadakan "route penginjilan" dari satu desa ke desa yang lain.

Pohon-pohon besar, sumber-sumber air dan berbagai hal lainnya yang menjadi tempat penyembahan orang-orang Timor yang mau masuk Kristen dimusnahkan semuanya.

Tuturan Ora itu dibenarkan juga oleh Boas Nitti, yang bertempat tinggal di Tunbaun-Amarasi.

Nitti mengisahkan bahwa ia dan serombongan pemuda gereja, yang berjumlah kira-kira 400 orang, sekitar tahun 1957, dengan membawa Alkitab dan parang, memasuki hutan-hutan keramat di Batun untuk merusak dan menghancurkannya.

Penghancuran hutan, "tempat para iblis itu", didasarkan pada nas Alkitab yang diambil dari Ibrani 4:12: "Sebab Firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam."

Pedang zending menebas pohon dan hutan, memusnahkan sumber-sumber air karena dipandang sebagai berhala.

Contoh kasus ini memperlihatkan suatu corak atau pandangan teologi mengenai alam semesta, bahwa bumi atau alam ini dipandang jahat. Hutan-hutan yang lebat dianggap sebagai sumber setan dan iblis yang membahayakan.

Orang yang mau masuk Kristen harus memberikan hutannya untuk ditebang. Keselamatan manusia seakan-akan terlepas dari hutan atau alam.

Sikap demikian dilatarbelakangi oleh pandangan teologi yang berkembang di tengah-tengah warga waktu itu yang dikembangkan oleh para penginjil bahwa langit dan bumi ini akan segera berlalu dan akan dihancurkan oleh Allah.

Dan Allah akan menyediakan langit dan bumi yang baru bagi orang percaya, yaitu yang berwujud dalam kota yang indah dan damai: "Yerusalem baru" (Wahyu 21:1-8).

Sikap ini juga didukung oleh pemahaman bahwa Allah sendiri mengamanatkan kepada manusia, dalam Kitab Kejadian, untuk menaklukkan dan berkuasa atas alam.

Penebangan hutan seakan-akan dipandang sebagai bagian pelaksanaan mandat Allah sendiri, dan apalagi dipandang bahwa bukan hutan yang ditebas, tetapi setan dan para iblis.

Saya ingin menunjukkan bahwa pandangan teologi yang semacam ini sama sekali tidak benar melalui perenungan kita hari ini sebagai bagaimana yang tertera dalam bahan bacaan Alkitab Wahyu 21"1-8.

Saya beranggapan dan yakin bahwa ketika kitab Wahyu 21 mengatakan tentang ungkapan langit dan bumi yang baru, tidak berarti bahwa bumi kita yang sekarang akan dihancurkan oleh Allah, tetapi lebih kepada penyelamatan dan penyempurnaan bumi itu sendiri.

Perkataan penulis Wahyu yang menyebut dirinya Yohanes ini harus dipahami dalam konteksnya, dan sama sekali tidak boleh dipahami secara leterlek.

Dari konteksnya ada dua hal penting yang tergambar dari kitab Wahyu ini. Pertama gereja yang mendapat surat Wahyu ini sedang menderita penganiayaan oleh Negara Romawi di bawah pemerintahan Kaisar Domitianus (1:9, 6:8-11; 11:11).

Kedua dalam kitab Wahyu dilukiskan bahwa akhir dunia diharapkan agar cepat terjadi (1:1,3; 22:6,10).

Menurut John Drane (2001:508) penulis kitab Wahyu menyakini bahwa dunia adalah milik Allah, dan bukan milik kuasa-kuasa jahat yang berwujud dalam pemerintah yang lalim.

Dengan menggunakan simbol-simbol dan gambaran-gambaran yang hidup dan kuat si penulis menegaskan bahwa Allah akan bertindak membereskan segalanya, tidak peduli berapa lama tindakan itu yang nampaknya tertunda.

Akan tetapi kalau Tuhan bertindak, maka ia bukan saja mengadakan suatu permulaan baru tetapi juga menjamin bagi mereka yang setia dalam iman untuk hidup selamanya bersama Allah dalam pemerintahanNya (Wahyu 22).

Tuhan menginginkan tidak ada yang dikesampingkan (Mat 25:31-46), karena itu Ia telah datang dalam diri Yesus untuk menebus dan memberi hidup baru. Untuk semua orang yang menerimaNya ia menjamin keselematan.

Nasehat penulis kitab Wahyu ini oleh para penafsir modern dinilai cukup ampuh, karena ia mampu membangun rasa solidaritas dan rasa setiakawan di antara mereka.

Sikap solider ini ditunjukkan oleh sang penulis sendiri, dimana ia juga turut dihukum dan dibuang ke Pulau Patmos (Wahyu 1:9 9 Aku, Yohanes, saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus, berada di pulau yang bernama Patmos oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus.).

Si penulis mengajak mereka untuk berpikir positif dalam penderitaan mereka dan melihat makna iman di balik situasi yang sulit itu.

Penderitaan itu dipandang bagaikan emas yang dimurnikan dalam api (Wahyu 13:16).

Sikap positif yang dibangun orang Kristen pada abad pertama dan kedua inilah yang membuat agama Kristen tetap eksist dan berkembang bahkan ke seluruh dunia.

Karena penyertaan Roh Kudus maka agama Kristen, justru ketika dianiaya malah makin berkembanng. Semakin ditebang justru semakin merambat.

Menarik untuk kita dalami apakah sebetulnya yang dikatakan oleh Yohanes dalam ayat 1 dan 2?

Di sini Yohannes berbicara tentang suatu kota yang maha Indah, yaitu kota Yerusalem baru yang turun dari sorga.

Kota Allah ini dikatakan kudus (bnd. 3:12) dan diperuntukan bagi mereka yang setia mempertahankan imannya.

Kota ini turun dari surga, dan dalam kota itu kebebasan dan perdamaian Kristus tercipta di dalamnya.

Sebagai lawan dari kota Yerusalem baru ini adalah kota Yerusalem yang bersifat duniawi, dimana dalam tulisan-tulisan Kristen menyebutnya sebagai tempat hukum dan malah perlawanan terhadap Yesus (misalnya (Gal. 4:21-31, Ibr. 11:10, 12:22).

Di kota Yerusalem Yesus diadili untuk dihukum mati. Juga kota ini sebagai lawan terhadap mega stadt Rom pada waktu itu yang disebut oleh Yohanes sebagai Babilon.

Apakah artinya bagi Johanes ketika ia menulis tentang langit dan bumi dan baru? Masalah ini memancing perdebatan yang hangat dalam ilmu penafsiran.

Apakah maksudnya langit dan bumi yang pertama akan berlalu? Apakah kita mengartikannya bahwa langit dan bumi akan berlalu dan dihancurkan?

Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting, karena hal ini juga berkaitan dengan pandangan dan ajaran gereja tertentu bahwa dunia ini akan dihancurkan oleh Allah.

Apakah benar bahwa pada pengadilan terakhir Allah akan menciptakan bola bumi yang baru?

Sepintas lalu model penafsiran yang demikian mendasarkan pemahamannya pada kesaksian Alkitab dalam Perjanjian Lama (PL) maupun Perjanjian Baru (PB).

Memang banyak bagian PL seakan-akan berbicara tentang kehancuran langit dan bumi (mis. Mazmur 102:26; Jesaja 34:4,51:6).

Begitu juga dalam PB misalnya dalam (2.Pet 3:7,10-13) dikatakan bahwa pada akhir zaman langit dan bumi akan dihancurkan oleh api dan akan ganti dengan langit dan bumi yang baru.

Yesus sendiri katakan bahwa langit dan bumi akan berlalu tetapi Firmanku akan selama-lamanya.

Akan tetapi kutipan-kutipn dari Alkitab dan dilepaskan dari konteksnya tidaklah cukup kuat membuktikan bahwa bumi akan dihancurkan oleh Allah sendiri.

Sebab ketika Yesus mengatakan bahwa bumi akan berlalu, tetapi FirmanNya tidak berlalu itu tidak berarti bahwa Ia sedang berbicara tentang kehancuran bumi oleh Allah, namun ia mau menekankan keutamaan dari Firman Allah.

Bahwa jikalau dibandingkan bumi dengan Firman Allah, maka Firman Allah jauh lebih utama, karena segala sesuatu diciptakan menurut Firmannya (Kejadian 1 dan 2). Itulah maksudnya.

Saya yakin bahwa banyak yang menafsirkan teks alkitab lepas dari konteksnya. Dalam tradisi kitab PL tidak dikatakan bahwa Allah akan menghancurkan langit dan bumi yang telah ia ciptakan sendiri.

Dalam kitab Kejadian kita lihat bahwa kendatipun Allah menghukum manusia karena kejahatannya dengan airbah, tetapi toh kembali ia memulihkan langit dan bumi yang sama itu, dan menjamin kelangsungannya dengan janjinya kepada nabi Nuh (lihat Kej, 5:29 dst.).

Karena itu kalau kita mau memahami apa maksud Yohanes dengan langit dan bumi yang baru, kita tidak boleh melepaskan dari konteksnya.

Pertanyaannya adalah, apakah yang Yohanes maksudkan adalah kehancuran total dari bumi? Dan digantikan dengan bumi yang baru? Ataukah langit dan bumi yang lama itu hanya diperbaharui dalam arti direnovasi.

Jürgen Rolof, salah seorang penafsir Jerman yang terkenal, mengatakan bahwa yang Yohanes maksudkan adalah kehancuran total dari bumi, dan penciptaan bumi yang baru.

Langit dan bumi yang lama itu akan hilang lenyap selamanya, dan Allah akan menciptakan yang baru sama sekali.

Sehingga kata Rolof, itu akan menggenapi apa yang Yesaya katakan dalam Jes. 65:17. (bnd. Jes. 66, 22; 4 Esr. 7:29 ff.). Hal ini juga di dukung oleh para penafsir yang lain.

Akan tetapi saya tidak setuju dan meragukan model penafsiran yang demikian. Bagi saya apa yang Yohanes maksudkan, kalau kita melihat konteks kitab Wahyu secara menyeluruh, adalah tentang pemulihan dan renovasi dari langit dan bumi yang lama itu.

Hal ini didukung juga dari kitab PB yang lain misalnya dalam Roma 8:19-22; Kisah 3:21; Matt. 19:28.

Dalam Surat Roma Rasul Paulus berbicara tentang pemulihan dari ciptaan yang lama itu. Yesus dalam Injil Matius berbicara tentang regenerasi.

Ajaran PL menekankan bahwa tanah Israel yang dijanjikan Allah itu, bersifat kepemilikan kekal dan juga berbicara tentang pemulihan dan renovasi (band. Kej 48:4; Mazmur. 119:90).

Semua hal yang saya katakan ini didukung juga dalam ayat berikutnya khususnya dalam ayat 5. ,Aku menjadikan segala sesuatu baru".

Ungkapan ini lebih menunjuk kepada pemulihan dari ciptaan Allah. Sebab Yohanes mengunakan kata Yunani poieo/ (membuat, menjadikan) dan bukan kata Yunani ktizo (menciptakan). (bandingkan Wahyu 4:11, 10:6; Mat. 19:4, Eph. 2:15, 3:9).

Istilah membuat dan menciptakan sangat jauh berbeda makna. Itu artinya proses penciptaan dunia ini sudah selesai, Allah tidak mungkin lagi melakukan proses penciptaan lagi.

Tetapi bahwa Allah terus membuat ciptaannya makin lebih baik dari har ke hari menuju kepada kegenapannya adalah sesuatu yang pasti.

Jadi bumi yang ada sekarang tetap akan ada, kendatipun Allah memperbaharuinya atau memulihkannya.

Sebab jikalaupun Allah menciptakan bola bumi yang baru itu tidak berarti ciptaan Allah yang pertama itu sia-sia dan dihancurkan untuk selamanya.

Saya yakin bahwa ini bukan maksud dari kitab Wahyu sebagaimana yang terlihat dari konteksnya. Jikalau bukan hal itu, maka apa sebenarnya yang Yohanes maksudkan dalam kitab Wahyu?

Jawaban atas pertanyaan ini berkaitan dengan isi dan makna yang terkandung dalam ayat 1 dan 2 dari Wahyu 21 ini.

Kita harus memahami dengan seksama bahwa ayat ini dikutip atau didasarkan Yohanes pada kita PL terutama Jes 65:17, 66:22; 52:1, 61:10.

Dalam konteks kitab Nabi Yesaya ayat-ayat ini berkaitan dengan Janji Allah untuk menyelamatkan bangsa Israel, dimana pada masa itu mereka sedang berada dalam pembuangan di Babilon.

Sekarang Johanes mengkaitkan janji penyelamatan ini kepada orang-orang Kristen, yang berada di tujuh jemaat, dimana mereka sedang mengalami penganiayaan berat oleh karena iman mereka kepada Yesus Kristus.

Janji penyelamatan ini Yohanes maksudkan kepada tujuh Jemaat itu 1:4 dan 2:1 f) bahwa segala bentuk kejahatan dan para penganiaya jemaat itu akan dikalahkan, atau merekalah yang akan berlalu (band. Ayat 8), sementara orang yang setia mempertahankan imannya akan diselamatkan (ayat 7).

Dalam hubungan dengan itu, maka ungkapan langit dan bumi yang baru mesti dengan hati-hati ditafsirkan.

Karena istilah Yunani kainos dalam bahasa Yunani memiliki arti baru, tetapi juga "sesuatu dengan kualitas yang baru". Sehingga arti kainos atau baru disini berarti tansformasi atau pemulihan yang lama, yaitu menunjuk kepada penyelamatan Allah.

Allah akan menyelamatkan orang percaya dari kuasa-kuasa dunia yang menghancurkan itu dan menjamin suatu kualitas hidup yang baru.

Selain itu Johanes juga memberikan pentunjuk yang disamarkan atau disembunyikan, yaitu dalam ungkapan "kai he tallasa ouk estin eti" artinya dan laut pun tidak ada lagi".

Laut dalam tradisi kitab PL sebagai lambang atau simbol dari yang jahat atau kejahatan, simbol bagi Leviathan, laut sebagai tempat tinggal para monster. Laut sebagai tempat tinggal kuasa-kuasa jahat.

Dan dan juga dilukiskan sebagai yang berbahaya. Murid-murid dalam cerita Injil juga hampir mati binasa karena laut yang mengamuk.

Tetapi Yesus menyelamatkan mereka. Dalam tradisi beberapa suku di NTT, laut ditakuti karena dianggap sangat berbahaya, bahkan ada orang yang tidak mau mendekati garis pantai apalagi berlayar mengarungi lautan.

Jadi kalau kita memperhatikan makna laut yang demikian, maka kita sudah dapat memahami apa sebetulnya maksud Yohanes mengatakan laut tidak ada lagi.

Kata ini tidak boleh dipahami secara harafiah, sebab bagaimana mungkin Allah memusnahkan segala kehidupan dan keindahan yang ada dalam laut yang ia sendiri ciptakan itu, sebagaimana yang kitab dilukiskan dalam kitab Kejadian itu.

Bagi Johanes yang akan berlalu itu sebetulnya kuasa jahat yang dipraktekan pemerintah yang lalim, artinya Tuhan akan menghancurkan kuasa jahat atau orang jahat yang sedang menganiaya umatNya itu.

Argumentasi lain yang menguatkan hal itu adalah apa yang Johannes sendiri katakan dalam ayat 2. Yaitu kata Yunani "katabaino" (mendirikan).

Bahwa kemah Allah atau kota Allah yang baru justru akan didirikan dibumi, bukan di ruang angkasa atau bulan atau dimana.

Bahwa orang kristen tidak dikatakan akan diambil seperti UFO kembali ke langit, tetapi mereka akan tetap tinggal dibumi, sebab kota Allah yang baru, yang turun dari sorga itu didirikan di atas bumi kita ini.

Sehingga bumi kita ini tetap sebagai basis atas dasar bagi Yerusalem yang baru, dan dia akan tetap tinggal ada.

Sehingga gerakannya menurut Yohanes adalah dari langit ke bumi, dan bukan sebaliknya bumi ke langit. Dalam doa Tuhan Yesus juga dikatakan "jadilah kehendakmu dibumi seperti di sorga".

Itu berarti nasib bumi kita ini tidak boleh kita abaikan sama sekali.

Lebih jauh dari pada itu, dalam pasal 20 kitab Wahyu ini Johanes mengatakan bahwa sebelum Yerusalem yang baru itu didirikan di bumi, Kristus akan memerintah dibumi selama seribu tahun lamanya.

Dan dengan kekuasaan Yesus dibumi ini, maka kekuasaan kaiser Rom yang jahat akan dihapuskan. Dan juga kembali ditekankan bahwa kekuasaan seribu tahun Yesus ini juga di atas bumi.

Itu berarti bumi kita ini tetap penting dalam kerajaan Allah yang baru, sehingga kita tidak boleh membiarkan dia hancur oleh karena ulah manusia.

Kita tidak boleh membiarkan penghancuran hutan, pencemaran bumi menjadi-menjadi, tetapi sebalinya kita terpanggil untuk memeliharanya.

Dari uraian-uraian di atas kita dapat menyimpulkan tiga hal yang bisa direnungkan.

Pertama, sipenulis kitab Wahyu yang menuliskan surat kepada 7 jemaat di Asia kecil: Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia dan Laodikia."

(Wahyu 1:4, 11) tidak hanya melihat dari jauh permasalahan jemaatnya, tetapi ia hadir dalam pergumulan mereka, ia juga bahkan menjadi korban dari pemerintah yang lalim, dimana ia juga turut dihukum dan dibuang ke pulau Patmos (Wahyu 1:9).

Kita belajar sebuah ciri pemimpin jemaat yang mengandalkan Kristus dan yang peduli dengan umatnya bahkan dalam masa-masa sulit mereka.

"Aku, Yohanes, saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus, berada di pulau yang bernama Patmos oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus".

Peran Yohanes nampak dalam tiga kata kunci menghibur, memberi peringatan, menyuruh untuk menghentikan hal-hal yan jahat.

Pemimpin tipe Yohanes ini seperti orang yang mengatur lampu merah dalam arus lalu lintas. Harus di atur kapan lampu hijau, kapan lampu kuning, kapan lampu merah.

Kalau pada semua sisi menyala lampu hijau yang sama, maka yang terjadi adalah kecelakaan dan kaos. Kadang seorang pemimpin harus memberi lampu hijau kepada orang-orang yang dipimpinya. Ia mendukung semua hal yang baik berjalan semestinya.

Tetapi kadang ia harus memberi lampu kuning, memberi peringatan dan bahkan memberi lampu merah atau menghentikan semua hal yang buruk dan jauh dari rasa keadilan supaya jangan berlangsung terus.

Artinya pemimpin sebagai sumber inspirasi bagi kebaikan bukan trouble maker (pembuat masalah).

Pemimpin yang mengangkat dan menggali potensi rakyatnya sendiri untuk membangun, bukan bergaya dan sombong dengan hutang sana-sini untuk bangun ini itu hanya untuk cari nama dan demi mempertahan kekuasaan.

Kedua, ungkapan langit dan bumi yang baru dan ungkapan langit dan bumi yang lama akan berlalu bukanlah menunjuk kepada penghancuran dunia oleh Allah, tetapi sebaliknya menunjuk kepada penyelamatan dan pemulihan Allah itu sendiri, bukan saja bagi orang beriman, tetapi juga bagi seluruh ciptaan.

Gereja harus pro aktif untuk mengingatkan kesadaran jemaatnya untuk mengurangi penggunaan sampah non organik seperti kemasan minuman dan makanan dan kesadaran membuang sampah pada tempatnya.

Program-program Klasis dan jemaat yang berpihak pada alam yang tidak bersuara. Gerakan Tanam Air, Hutan Gereja, dsb.

Gereja memberi contoh membuat lubang-lubang serapan di halaman-halaman gereja, bukannya meninggikan halaman gereja agar airnya dibuang ke jalan dan menggenangi rumah-rumah jemaatnya sendiri.

Membuat bank sampah untuk warga sekitar lokasinya sebagai salah satu bentuk kepedulian pada isu lingkungan hidup.

Ketiga: Pembaharuan mesti datang dari gereja: Melalui persidangan Sinode, Klasis dan jemaat, para pemimpin membahas isyu-isyu aktual dan strategis dan merumuskan dalam program-program kebersamaan untuk mendatangkan pembaharuan bagi semua lingkup pelayanan di GMIT dan bagi dunia.

Pengharapan eskhatologis dan penantian parousia akan kedatangan Kristus yang ke dua kali tidak pernah akan hilang, namun penantian itu tidak membuat kita berdiam diri dan mengabaikan kehidupan dunia.

Sambil menanti secara aktif kehidupan sorgawi kita melakukan hal-hal bermanfaat dalam membangun gereja dan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia bahkan dunia ini.

Kita berdoa agar berdasarkan karya Yesus yang memperbaharui kita, kita berkarya untuk perubahan dan pembaruan diri, gereja dan masyarakat.

Melalui Yesus kita bisa menjadi teladan. Sebagaimana kata Yesus dalam Matius 5:16 "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved