Breaking News

Renungan Kristen Protestan

Perjuangan Iman Seorang Perempuan untuk Anaknya

Reaksi para murid pada awal cerita jelas menggambarkan itu, dan Yesus mencoba menjembatani dan membangun dialog dari dua bangsa yang berbeda.

Editor: Ferry Jahang
zoom-inlihat foto Perjuangan Iman Seorang Perempuan untuk Anaknya
Dok Pribadi
Pendeta Messakh Dethan

Perjuangan Iman Seorang Perempuan untuk Anaknya

Renungan Kristen Protestan tanggal 15 Februari 2019

Oleh: Pdt. DR Mesakh A.P. Dethan, MTh, MA
Dosen Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang

SALAH satu pilar atau tiang kehidupan orang Kristen adalah Iman. Seperti orang yang mau membangun rumah yang kuat dan kokoh, maka orang perlu membangun dulu fondasi dan tiang-tiang yang kuat dan kokoh.

Apalagi orang mau bangun rumah di tanah isi, yang tidak ada batunya, ia harus membangun fondasi cakar ayam yang kuat, supaya rumahnya tidak gampang roboh.

Begitu pula dengan kehidupan orang percaya kalau diumpamakan dengan rumah, maka iman adalah salah satu tiang dari kehidupan orang percaya itu.

Fondasi atau dasar kehidupan orang Kristen adalah Kristus dan iman adalah salah satu tiang utamanya. Tanpa iman, kehidupan orang percaya didasarkan pada fondasi dan tiang-tiang yang rapuh dan mudah patah.

Dalam bacaan kita Matius 15:21-28 seorang perempuan Kanaan memperlihatkan suatu perjuangan iman yang gigih untuk memohon kesembuhan anaknya yang sakit kepada Tuhan Yesus.

Perjuangan perempuan untuk salah satu anggota keluarganya yang sakit itu membuahkan hasilnya oleh karena menurut Tuhan Yesus terletak pada imannya yang besar (Yesus berkata: o gynai, megale sou he pistis artinya "hai ibu besar imanmu", Mat 15:28).

Megale dari akar kata megas, yang artinya besar, atau kuat (angin yang kuat), tinggi (bangunan yang tinggi) dan kokoh (bangunan yang kokoh).

Kalau kita melihat setting cerita ini, maka tempat peristiwa itu terjadi seperti yang dikatakan dalam 15:21 di daerah Tirus dan Sidon.

Menurut penafsir J.J. de Heer hal ini adalah nama dari dua kota yang terletak di pantai Laut Tengah.

Pada masa Yesus daerah Tirus dan Sidon meliputi tanah yang juga pada masa Perjanjian Lama merupakan bagian dari Galilea, dan kemungkinan besar di daerah Galilea bagian yang paling Utara; dan itu sudah merupakan "luar negeri" pada masa Tuhan Yesus.

Kalau masa sekarang orang mau ke luar negeri mesti menyiapkan dulu dokumen-dokumen untuk mendapatkan visa untuk negara tujuan yang dimaksud.

Tetapi pada zaman Yesus Kristus semua negeri di sekeliling Laut Tengah termasuk di dalam wilayah kekaiseran Romawi .

Dan karena itu orang dapat dengan bebas keluar masuk, tidak perlu mempersiapkan dokumen-dokumen atau surat izin masuk lebih dahulu.

Rasul Paulus juga dapat bepergian ke luar negeri seperti ke Asia Kecil, negeri Yunani dan Spanyol tanpa surat izin masuk, sebab semua negeri itu adalah bagian-bagian kerajaan Romawi.

Bahkan Paulus sendiri seperti dikisahkan dalam Kisah Rasul 16:37-38 adalah warga negara Roma, sehingga dengan bebas mengabarkan Injil di semua daerah jajahan Romawi itu.

Jadi penulis Injil Matius mau bilang dalam pelayanan Yesus, Ia juga melayani jauh di luar bangsa Israel, yaitu termasuk bagi orang-orang kafir.

Kalau kita bandingkan kisah ini dengan Markus 7:25 dst, di situ wanita ini disebut seorang perempuan Yunani bangsa Siro-Fenisia.

Menurut J.J. de Heer, Matius mengganti nama itu dengan nama kuno dari Perjanjian Lama dengan mengatakan bahwa perempuan itu adalah "wanita Kanaan".

Dengan istilah "wanita Kanaan" Matius hendak menekankan perbedaan di antara orang Israel dan orang kafir di sekeliling Israel, yang adalah suatu hal pokok teologis penting dalam diskusi tentang Perjanjian Lama.

Perempuan itu berseru kepada Yesus untuk minta tolong, sebab anaknya kerasukan setan.

Adalah hal yang mengharukan bahwa perempuan kafir itu memakai gelar anak Daud, yang berarti Raja Mesias dari keturunan Daud.

Ia juga menyebut gelar Yesus yang lain yaitu Kurios artinya Tuhan, suatu gelar yang penuh penghormatan pada waktu itu.

Dari segi tata bahasa Yunani dapat ditarik kesimpulan bahwa wanita itu berteriak terus menerus yang diterjemahkan dari kata ekrazen (adalah bentuk imperfek dan bukan bentuk aorist yang dipakai dalam ayat 22 itu: kata kerja indikatif imperfek aktif orang ketiga tunggal adalah menunjuk kepada suatu hal yang dilakukan terus menerus).

Tetapi Yesus berjalan terus dan seolah-olah tidak mendengarnya.

Hal itu bukan karena hatinya yang penuh kasih telah berubah, tetapi Yesus mau mencoba memancing suatu reaksi yang akan muncul baik dari para murid yang nota bene adalah orang-orang Israel dan perempuan kanaan yang tergolong orang kafir itu.

Sudah menjadi anggapan umum bahwa bagi orang Israel keselamatan Tuhan adalah bagi umat pilihannya.

Israel dipandang sebagai umat pilihan Allah, sementara bangsa lain bukan umat pilihan Allah, bangsa lain adalah bangsa kafir, dan bangsa Israel selalu diajarkan untuk menjaga jarak dengan bangsa-bangsa kafir itu.

Pandangan yang bersifat partikularisme ini sudah berurat akar di kalangan orang Israel, termasuk murid utama dari Tuhan Yesus (bandingkan Gal 2:9-11).

Itulah sebabnya para murid merasa terganggu, kok ada perempuan kafir yang memohon kesembuhan dari guru mereka.

Mereka karena itu meminta Tuhan Yesus untuk mengusir perempuan yang dianggap tidak tahu diri itu: Perempuan sonde (tidak) tahu diri, kira-kira mungkin ungkapan kemarahan dari para murid pada perempuan itu.

Karena itu Matius mencatat dalam 15: 23, lalu murid-murid-Nya datang dan meminta kepada-Nya: "Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak."

Rupanya pancingan Tuhan Yesus itu termakan di hati para murid sehingga mereka bereaksi untuk menyuruh Yesus mengusirnya.

Dan Tuhan Yesus memancing reaksi lebih jauh lagi dengan berkata dalam ayat 24: Jawab Yesus: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel."

Kalau kita perhatikan lebih dalam dan detail dari segi tata bahasa dan konteks ceritanya maka akan terlihat bahwa pada kata Israel diberi tanda acute atau tirus yang merupakan tanda aksen menaik dari kata itu.

Sehingga dengan melihat reaksi para muridNya itu, Tuhan Yesus sebetulnya seakan bertanya secara retorik kepada para muridNya: Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel?

Dengan pertanyaan seperti itu murid-murid tidak bereaksi (mungkin karena mereka sudah tahu jawabanya atas pertanyaan retorik yang diajukan Tuhan Yesus, sementara perempuan kafir itulah yang malah bereaksi.

Ia malah datang lebih mendekat pada Yesus. Dalam ayat 25 Matius mencatat: Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: "Tuhan, tolonglah aku."

Para murid kembali tidak bereaksi, tetapi uangkapan kata-kata Yesus dalam ayat 25 seakan mengungkapkan isi hati, pikiran dan pandangan pandangan para MuridNya selama ini tentang keselamatan Allah yang bersifat partikularistis itu:

"Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing?"

Harus digarisbawahi bahwa kalimat yang diucapkan Yesus di sini adalah sebuah pertanyaan dan bukan sebuah pernyataan.

Makna sebuah pertanyaan berbeda dengan pernyataan dan maknanya jauh lagi berbeda saat Yesus mengucapkannya Dia sedang memandang pada perempuan itu atau pada para murid.

Dari konteks cerita jelas dalam mengucapkan kalimat ini Yesus sedang memandang pada para muridnya yang sedang bergumul dan terus berkutat dengan pemikiran sempit partikularistis.

Oleh karen itu patut disayangkan bahwa sebagian orang yang menafsirkan teks ini secara lain dengan mengabaikan tatabahasa dan konteks cerita baik dari segi budaya, politis, sosial dan teologis dari Injil Matius.

Beberapa penafsir, termasuk para penafsir feminis mengatakan bahwa di sini seorang perempuan berani tampil mengoreksi pola pemikiran Yesus yang sempit, yang menganggap keselamatan hanya bagi bangsa Israel atau partikulirstis.

Mereka yang bertumpu pada penafsiran leterlek dan mengabaikan konteks dan tatabahasa Yunani mengatakan kenapa Tuhan Yesus berpikir sempit dan keliru.

Dalam pasal ini berupaya mencari pembenaran dengan mengangkat isu hakekat Yesus dan isu perempuan yang sebetulnya sudah lari jauh dari maksud asli teks itu.

Anggapan mereka Yesus di sini dianggap keliru, karena Tuhan Yesus menyangdang dua hakekat sekaligus yaitu Yesus sebagai Allah sejati dan manusia sejati.

Dan dalam keberadaannya sebagai manusia Ia (Yesus) bisa saja keliru. Ini penafsiran yang konyol alias bodoh.

Penafsiran seperti ini sungguh menyesatkan karena tidak melihat konteks cerita dan tatabahasa dari teks Mat 15:21-28 secara keseluruhan (jika ada pembaca yang mau mendalami pokok ini bisa membaca buku saya yang sudah diterbitan dengan Judul: Apakah Yesus Bisa Keliru, Hermenutika Kontemporer. Bukunya bisa dipinjam atau dibeli di Perpustkaan UKAW).

Penafsiran seperti ini berbahaya karena mengabaikan konteks dan kesatuan Alkitab itu sendiri.

Menurut Luther dan Calvin, Gerd Theissen, Manfred Oeming, dan para penafsir besar lainnya, penafsiran yang mengabaikan kesatuan Alkitab, tatabahasa, konteks sosial budaya yang ada di balik teks-teks Alkitab akan membuat orang jatuh kepada penyalahgunaan teks Alkitab.

Hal itu dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dan memuaskan kepentingan kelompok tertentu saja, sambil tega memperkosa Alkitab itu sendiri.

Memang benar bahwa kegigihan perempuan itu sangat menonjol dalam teks ini. Tetapi dengan mengangkat dan menonjolkan derajat perempuan itu tinggi-tinggi dan sangat berlebihan membuat orang dapat jatuh pada sikap yang keliru terhadap Yesus.

Janganlah derajat perempuan kita angkat tetapi derajat Yesus kita rendahkan serendah-rendahnya, sehingga bertentangan dengan pengakuan Iman kita sendiri yang diucapkan tiap minggu itu.

Dalam hal ini sebetulnya bukan Yesus yang keliru, tetapi kitalah yang keliru dalam menafsir, karena kita menafsirkan sebuah teks dengan memakai kacamata kuda.

Seperti kuda yang dipakaikan kacamata oleh pemiliknya akan melihat semua rumput adalah hijau, pada hal faktanya rumput yang dimakannya bukan lagi hijau tetapi kuning atau coklat karena sudah lama kering.

Jadi jikalau kita memperhatikan konteks dan kesatuan Alkitab, Tuhan Yesus tidak sedikit pun berpikir partikularistis atau berpikir sempit bahwa keselamatan hanya bagi Israel.

Dalam kisah-kisah awal Injil Matius penekanan bahwa misi Yesus untuk semua bangsa sudah tergambar mulai dari awal kisah hingga akhir kisah Injil Matius.

Bahkan dalam silsilah keturunan Yesus disebutkan nama-nama orang asing yang masuk dalam daftar silsilah itu.

Puncaknya pada akhir kisah dalam Matius 28:19-20, Tuhan Yesus telah memberi amanat agung kepada pada murid untuk mengabarkan keselamatan bagi segala bangsa.

Artinya pandangan keselamatan dari Yesus bersifat universalistis, keselamatan Allah bagi segala bangsa.

Bahkan dalam Injil Yohanes misi keselamatan yang dibawa Yesus bukan hanya bagi seluruh umat manusia di bumi, tetapi juga bagi segala alam semesta, bagi kosmos seluruhnya (Yoh. 3:16).

Lebih jauh dari kata-kata ini Tuhan Yesus sebetulnya membuka dialog antara para murid yang mewakili bangsa Israel dan perempuan Kanaan yang mewakili orang kafir.

Reaksi para murid pada awal cerita jelas menggambarkan itu, dan Yesus mencoba menjembatani dan membangun dialog dari dua bangsa yang berbeda.

Yang satu mengganggap diri umat pilihan Tuhan dan keselamatan yang Yesus bawa hanya bagi mereka dengan dan yang satunya lagi merasa patut juga merasakan rahmat Allah dalam diri Yesus.

Itu artinya apa? Artinya bahwa kasih Allah dalam Kristus adalah juga bagi bangsa Kafir.

Itulah sebabnya dalam ayat 27 perempuan itu kembali berargumentasi dengan suatu pengandaian yang indah:

"Bahwa anjing makan remah-remah yang jatuh dari meja tuan-tuannya".

Ada kemungkinan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah potongan-potongan roti yang pada zaman itu dipakai untuk menyapu tangan supaya bersih sebelum orang makan (lihat J.J. de Herr, Tafsiran Injil Matius, BPK, hal, 307).

Injil Matius kemudian menutup dialog antara para murid dan perempuan yang dikondisikan oleh Yesus itu.

Disimpulkan bahwa perjuangan dan argumentasi perempuan itu dilandasi pada keyakinan iman kuat dan kokoh bahwa bangsa lain juga pantas mendapatkan kasih dan rahmat Tuhan.

Dalam ayat 28 Matius mencatat: Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh.

Kebanyakkan penafsir berpendapat bahwa penulis Injil Matius menggunakan kisah ini sebagai suatu pengajaran iman.

Ia hendak melukiskan bahwa perempuan Kanaan itu sebagai teladan iman.

Kepercayaan perempuan itu tidak menjadi lemah ketika mendapat rintangan dari para murid, yang mencoba mengusirnya dan yang berpikir bahwa Allah hanya berpihak dan memiliki rahmat hanya bagi Israel saja.

Perjuangan dan kegigihan perempuan kafir ini tidak sia-sia, sebab walaupun anaknya tidak hadir pada saat itu secara langsung di hadapan Yesus.

Tetapi proses penyembuhan anaknya telah terjadi, melalui teleheilung (bahasa Jerman artinya penyembuhan jarak jauh).

Tujuan perjuangan perempuan itu ialah untuk kesembuhan dan kebaikkan anaknya. Dengan jalan itu ia juga menjadi teladan bagi kita dalam mengasihi anak-anak kita.

Keluarga kita, entah yang baru terbentuk atau sudah lama, baik yang masih utuh maupun sudah tercerai berai, hendaknya adalah tempat di mana anak-anak didik untuk memiliki iman kepada Kristus dan untuk memiliki budi pekerti yang baik di dalam bersikap dan bertindak dalam masyarakat.

Anak-anak akan memiliki iman dan perilaku yang baik, jika keluarga kita adalah tempat pendidikan iman yang pertama dan terutama.

Karena itu anak anak patut diajak berdoa dan memuliakan Tuhan secara bersama-sama tiap-tiap hari entah sebelum atau sesudah bangun tidur dalam rumah tangga kita sehingga iman mereka dan iman kita dapat tumbuh bersama tiap-tiap hari. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved