Berita Tamu Kita
Prof. Dr. Simon Sabon Ola : Bahasa Indonesia Belum Jadi Tuan Rumah
Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar terasa masih jauh dari harapan para pakar Bahasa Indonesia.
Penulis: Apolonia Matilde | Editor: Apolonia Matilde
BAHASA Indonesia sejauh ini belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar terasa masih jauh dari harapan para pakar Bahasa Indonesia.
Pemerintah telah menetapkan setiap Bulan Oktober sebagai bulan bahasa, dengan harapan masyarakat Indonesia sadar memiliki bahasa yang menjadi identitas Bangsa Indonesia.
Dalam perbincangan dengan Pos Kupang, pria asal Flores ini menjelaskan banyak tentang kendala dan sikap warga Bangsa Indonesia khususnya di NTT mengenai penggunaan Bahasa Indonesia mulai dari kampus, sekolah, tempat-tempat umum bahkan di lingkungan kantor pemerintah.
• Inilah 3 Fakta Sonia Fergina Citra, Miss Indonesia yang Lolos 20 Besar Miss Universe 2018
Berikut perbicangan wartawati Pos Kupang, Apolonia Matilde Dhiu dengan Prof. Dr. Simon Sabon Ola, M.Hum
Kita baru saja melewati bulan bahasa, artinya ini momentum bagi kita untuk mengingat kembali tentang betapa penting Bahasa Indonesia. Bila kita perhatikan, penggunaan Bahasa Indonesia belum sampai pada taraf yang diharapkan. Bagaimana Anda melihat ini?
Begini, kebijakan bahasa kita ini diatur oleh sebuah badan yang namanya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Badan tersebut ada di bawah Kemendikbud RI. Otomatis kewenangannya di bawah Kemendikbud RI. Tetapi sekarang juga tidak bisa mengurus kewenangannya itu karena lintas ke Kementeriaan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Semua kementerian yang lain kecuali Kemendikbud tidak memperdulikan apa yang dikeluarkan Badan Bahasa. Contohnya, dalam surat-menyurat, kita menulis misalnya di luar amplop. Kita tulis kepada yang terhormat, di dalam amplop kita juga tulis kepada yang terhormat, itu karena ada alasan-alasan. Menurut logika bahasa itu benar, kalau saya berhadapan dengan ibu kan, tidak mengatakan kepada ibu kan, saya langsung yang terhormat ibu ini, kepadanya itu sudah dalam amplop karena dia harus jalan, itu contoh.
Contoh dari dunia kesehatan, misalnya dokter itu mereka tulisnya 'd'- nya huruf kapital. Ketika kita bilang dokter itu hurufnya kecil, kadang ada yang bilang ko sekolah dokter bayar mahal na, masa d nya kecil.
Penggunaan Bahasa Indonesia yang salah, apa perlu semacam sanksi atau hukuman?
10 tahun lalu saya mengatakan tingkatkan dulu kewenangan badan pengembangan dan pembinaan bahasa untuk menjadi setara dengan badan lain misalnya KPU atau KPK.
• Ini Permintaan Bawaslu NTT Terkait DPT Pemilu 2019
Kita orang Indonesia ini memang aneh, kalau kita bepergian untuk belajar atau apapun di luar negeri maka kita mati-matian belajar bahasa mereka. Tapi ketika orang luar yang datang ke Indonesia dan melihat hal-hal yang spesifik maka kita sudah siapkan bahasa mereka seperti Inggris, Jepang dan lainnya. Mestinya dia dipaksa untuk belajar Bahasa Indonesia, tapi ternyata itu tidak dilakukan. Sebaliknya kita sudah menyiapkan Bahasa Jepang, Bahasa Inggris, untuk mereka. Ini otomatis keinginan mereka untuk belajar Bahasa Indonesia sangat menurun.
• Ulang Tahun ke-82, Paus Fransiskus Ajak Anak-anak Tiup Lilin Bersama. Lihat Foto Kebersamaannya
Bagaimana dengan wacana menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia?
Kemarin saya kritik lagi presiden yang mengeluarkan aturan bahwa tidak boleh ada syarat bahasa berkaitan dengan pembukaan operasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Syarat Bahasa Indonesia menjadi dihilangkan, dalam aturan lama ada, yang baru tidak boleh lagi. Menteri Tenaga Kerja mengatakan untuk memudahkan investasi, maka syarat bahasa tidak lagi diperlukan, jadi dia boleh berbahasa asing, berbahasa apa saja boleh dan tidak perlu harus berbahasa Indonesia, konyol ini, iya kan? Kalau misalkan ada tenaga kerja asing ke Indonesia di perusahaan-perusahaan asing dalam data Kementerian Tenaga Kerja itu ada sekitar 170 ribu-an yang datang ke Indonesia. Berarti kita bisa mendapatkan tambahan jumlah pengguna Bahasa Indonesia 170 orang ribu lebih, untuk mengejar tambahan jumlah penduduk pengguna Bahasa Indonesia yang menjadi syarat bahasa dunia. Mengapa Arab menjadi bahasa yang paling banyak digunakan karena Arab bukan hanya digunakan di Arab, hampir semua negara Timur Tengah menggunakan Bahasa Arab. Bahasa Spanyol juga sama, sebagian besar Amerika Latin menggunakan Spanyol. Jumlah-jumlah itu dihitung, menjadi daya dukung ditetapkan menjadi bahasa PBB. Kita belum bisa karena banyak kebijakan kita tidak berpihak pada apa yang dirumuskan Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Terakhir yang lebih miris lagi itu Bahasa Indonesia dalam Undang-undang No 24 Tahun 2009 itu tertulis jelas, misalnya semua seminar internasional di Indonesia wajib menggunakan Bahasa Indonesia, itu tidak boleh ditafsirkan lagi. Jangan bilang karena kita menghargai bahasa mereka lalu mulai ada sesi ini Bahasa Inggris, sesi itu bahasa asing lain, begitu tidak boleh. Semua seminar wajib menggunakan Bahasa Indonesia, bahkan presiden pun menggunakan Bahasa Indonesia. Di ujung dari undang-undang itu ada sanksi. Coba kita bandingkan, tentang bendera ada sanksi, tentang lagu kebangsaan ada sanksi, tentang bahasa tidak ada sanksi. Jadi tidak ada sanksi bagi orang yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia, kalau kesalahan kaidah bahasa ya okelah, tidak masalah. Jadi kalau saya mengadakan seminar dan menggunakan bahasa asing, mestinya ada hukuman misalnya satu bulan kurungan. Tapi ini tidak ada, padahal hukum ini supaya ada penegasan bahwa ada aturan mengenai penggunaan Bahasa Indonesia dan menjadi pembelajaran. Tapi ini kan tidak ada.
• Hai Pria 10 Kebiasaan Sehari-hari Ini Bisa Ganggu Kesuburanmu Dan Bakalan Susah Punya Anak
Jadi kita punya UU tapi tidak dilaksanakan?
Undang-undang menurut saya sangat banci. Undang-undang yang banci terhadap keberpihakannya terhadap Bahasa Indonesia, sama persis dengan dulu, keputusan presiden tentang ejaan yang disempurnakan atau EYD, nah semua orang langgar EYD.
Pelanggaran undang-undang itu ada sanksinya, tapi pelanggaran Bahasa Indonesia tidak ada sanksinya. Coba ada orang yang robek bendera nasional kita, pasti ada sanksinya, menyanyikan lagu Indonesia Raya tidak sesuai aslinya juga ada sanksi. Tapi menggunakan Bahasa Indonesia kocar-kacir tidak ada sanksi.
Lalu apa nilai dari bulan bahasa yang sudah ditetapkan Bulan Oktober?
Bulan bahasa mulai sekarang ini bukan hanya sebagai momentum saja, tetapi memahami bahwa dulu itu kita berjuang, kita punya musuh bersama. Tapi sekarang sudah tidak lagi, yang kita punya ialah identitas bersama. Kalau dalam konteks bahasa, identitas bersama ini fungsinya pemersatu, kita mau meninggalkan identitas-identitas yang sifatnya diskriminatif atau kita singkirkan. Kita jadikan sebagai identitas yang menyatukan, tapi kondisi kita tidak seperti itu, kondisi kita sekarang mau menonjolkan perbedaan-perbedaan, mungkin ini juga hukum alam. Ketika orang berbicara tentang perbedaan-perbedaan orang mulai berpikir tentang kesamaan dan ketika orang berbicara kesamaaan, memberi identitas untuk menonjolkan perbedaan-perbedaan, kita musti berbeda, baru menjadi sama, kalau kita sama tidak mungkin, bagaimana perbedaan itu kita sikapi, maka mulai sekarang ini ada pendidikan karakter, orang lain itu menjadi bagian dari kita, dari sebuah sistem, dimana kalau orang lain tidak ada, kita juga lumpuh.
• Wow, Anak-anak NTT Ini Mengharumkan Flobamora, Siapa Mereka Kepoin Yuk
Sekarang orang dengan gampangnya menggunakan Bahasa Indonesia untuk hoaks dan lainnya. Bagaimana Anda melihat ini?
Ini yang saya katakan marak-maraknya orang menumbuhkan identitas kelompok, sekarang saatnya bagi kita untuk menumbuhkan kesadaran pada semua lapisan masyarakat terutama para pemimpin sebagai panutan. Saya pernah mengatakan begini, kita kehilangan tokoh, satu orang bilang dia ini hebat, dia ini punya duit, punya jabatan, tapi kadang-kadang dia bekerja untuk kelompoknya, dia berpikir untuk kelompoknya. Seharusnya itu tidak boleh. Harusnya pemimpin itu semua orang merasa punya, dia dipunyai semua orang.
Bagamana Anda melihat penggunaan Bahasa Indonesia di media massa?
Kalau media cetak sudah mulai menuju kepada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, meskipun kadang- kadang kita harus mengerti bahwa yang benar itu belum tentu baik, maka media dalam menggunakan bahasa juga mempertimbangkan isu estetika. Kalau saya, itu memang sedikit melanggar yang benar dan tidak masalah, karena Bahasa Indonesia yang benar-benar tidak mungkin ditemukan di mana-mana. Kita dapatkan Bahasa Indonesia yang benar itu hanya ada di kaidah-kaidah yang ditulis dalam buku tata bahasa, itu semuanya benar. Tapi itu belum tentu baik juga, karena itu gunakanlah yang baik. Tapi untuk media cetak kita, Pos Kupang, Timex, Victory News, dan lain-lain saya tidak menemukan kesalahan yang fatal. Tapi untuk media sosial, semuanya, bukan hanya kaidah bahasa tapi juga norma-norma kebahasaan itu ditinggalkan semua. Saya sudah puluhan kali menjadi saksi ahli dalam kasus fitnah, pencemaran nama baik, penghinaan juga. (*)
• Tahun 2019 ASN Pemprov NTT Mandi Pakai Sabun Kelor
Biodata :