Opini Pos Kupang
Pastor yang Berteater vs Umat Kritikus
Pater Yohan Wadu, SVD adalah seorang pastor yang berteater. Tungku Haram merupakan judul keenam jika dilihat dari Allah
Dalam konteks umat atau masyarakat NTT, pastor yang berteater itu jarang. Kalau Romo Mangun tampak begitu mencintai pinggiran Kali Kode dan menulis roman terkenal, maka Yohan Wadu sangat mencintai teater dan berani mementaskan ini dengan membaca berbagai konskuensi yang bakal terjadi.
Maka, ketika kritikan datang dari banyak kalangan penikmat teater, seniman pegiat teater, dan bahkan umat atau masyarakat, maka ini merupakan realitas murni yang menampilkan interaksi sosial religius dari altar ke pasar.
Altar ke Pasar
Pastor berhadapan dengan umat pengkritik adalah sebuah ruang perjumpaan yang natural dan tidak bisa disangkal. Hemat saya, ini normal karena seni memberikan pesan moral dan membawa misi kemanusiaan yang luas dan tanggung jawab moral yang besar.
Apalagi Kelompok Teater Evergrande Syuradikara memilih anak-anak SMAK Swasta Katolik Syuradikara dan SMK Syuradikara sebagai subyek yang memerankan penokohan dalam setiap adegan Tungku Haram ini.
Dalam warna dasar Tungku Haram, para pelakon adalah subyek yang membawa pesan moral mengenai stop bajual orang. Jadi, misi utama teater ini ialah soal mewartakan nilai kemanusiaan yang semakin terkuras di era modernitas dengan meluasnya kapitalisme dan imperialisme yang berhasil merangsang orang untuk mencari keuntungan sendiri (K. Soetoprawiro, 2003:96).
Dalam konteks altar, Kotbah di Bukit karya Kuntowijoyo pun belum cukup menyuarakan sabda Yesus. Di sini, Tungku Haram Yohan Wadu juga bisa dibilang belum cukup pula meneriakkan pesan stop bajual orang. Mengapa? Karena umat itu "kepala batu".
Ini fakta yang umum, sering ada bahasa bahwa umat "kepala batu" dan memang itu benar. Maka, fakta ini adalah sebuah keprihatinan utama yang muncul dan lahir dalam diri sutradara.
Pater Yohan melihat bahwa di altar dan mimbar, kotbah pastor atau imam harus dibawa ke ruang yang lebih luas dengan banyak aktivitas di dalamnya, sehingga `pasar' adalah ruang yang pas untuk membawa pesan dari altar dan mimbar.
Altar bukan soal ekaristi yang hanya tidur dalam ritusnya semata, tetapi dibawa keluar. Ruang yang berada di luar ialah `pasar', maka pasar menurut penulis ialah perjumpaan antara pembeli dan penjual dengan seni tawar-menawar atau barter yang klasik.
Namun, tidak ada intensi `menjual' seni untuk mendapatkan barang. Karen spiritualitas Evergrande lahir dalam ranah pendidikan ekstrakurikuler sekolahnya, bukan dimensi politik untuk uang, massa, dan lainnya.
Hal yang perlu ditegaskan di sini ialah kegelisahan seorang pastor oleh karena fenomena Human Trafficking di Flores, NTT, dan dalam skala nasional maupun internasional, maka lahirlah naskah Tungku Haram. Sehingga, saya menilai bahwa pastor yang berteater adalah berbeda dan unik.
Selain Pater Yohan Wadu, SVD yang berteater, penulis menyinggung pula Romo Ino Koten, Pr. Beliau adalah romo yang berteater atau pastor yang berteater dengan cara yang sama tetapi konsep atau ide melahirkan naskah itu berbeda. Mengapa? Karena imajinasi masing-masing orang itu berbeda. Tentu saja, imajinasi sungguh-sungguh menjadi semakin mahal dan berbeda ketika dikritik.
Oleh sebab itu, Anda tidak bisa memaksakan bahwa panggung tungku semegah itu harus dibuat dari bambu supaya lebih sederhana. Atau, ketika Anda mengatakan mengapa tema tentang perdagangan orang, tetapi yang ditampilkan ialah penari dengan gaya rok mini?
Apalah artinya seni teater kalau ia dimengerti secara sempit dalam pola pemikiran "rok mini" saja? Untuk dipahami secara lebih baik, Tungku Haram karya Yohan Wadu adalah model teater musikal yang menampilkan semua cabang seni di dalamnya. Jika Gitapati-nya dinilai tidak etis karena memakai gaun mini, maka kritikus itu terjebak dalam presepsi sempit tentang perdagangan orang.