Berita Nasional
Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pemilu Melanggar UUD 1945 dan Asas Retroaktif
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 30 tahun 2018 Tentang Pemilu Melanggar UUD 1945 dan Asas Retroaktif
Oleh: Petrus Selestinus, Bidang Hukum & HAM DPP Partai Hanura
POS-KUPANG.COM - Mahmakah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan yang membawa malapetaka bukan saja bagi partai politik, akan tetapi juga bagi MK sendiri.
Hal ini sebagai akibat keteledorannya dalam membuat Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan perkara Nomor : 30/PUU-XVI/2018, tanggal 23 Juli 2018, tentang Uji Materil pasal 182 huruf l UU No. 7 Tahun 2017, Tentang Pemilu, yang nyata-nyata bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Baca: Empat Pelaku Penembakan di Pejagalan Ditangkap, Satu Orang Buron
Baca: Dua Pelaku Pungli Pembuatan Sertifikat Tanah di BPN Ini Ditahan
Mengapa, karena MK dalam putusannya itu telah melahirkan norma baru yang bertentangan dengan substansi pasal 28D ayat (1) UUD 1945, mengidentikan pengurus Partai Politik dengan profesi Advokat, Akuntan Publik, Notaris dan lainnya, menjadikan DPR sebagai Wakil Partai Politik dan menjadikan Partai Politik sebagai Wakil Rakyat.
Padahal, pengurus Partai Politik itu pekerjaan yang didasarkan pada kehendak bersama secara sukarela, tanpa mensyaratkan keahlian khusus, tanpa dibayar, untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga keutuhan NKRI sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 (pasal 1 dan 10 UU Partai Politik).
Baca: Jadi Mitra Grab, Ini yang Dilakukan BPR Christa Jaya
Baca: Pesawat Jatuh di Gunung Alpen, 4 Orang Tewas
Sedangkan profesi lain seperti Akuntan Publik, Advokat, Notaris, PPAT dll., adalah pekerjaan yang berdasarkan standar, karakteristik dan keahlian khusus, dengan bayaran tertentu dan untuk kepentingan pribadi.
Kekeliruan MK dalam putusan perkara Uji Materil pasal 182 l UU No. 7 Tahun 2018, yaitu meniadakan hak warga negara termasuk Pengurus Partai Politik yang dijamin oleh pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan UU Partai Politik.
Pasal 182 l UU No. 7 Tahun 2017, Tentang Pemilu, menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan setelah memenuhi syarat, antara lain:
Bersedia untuk tidak berpraktek sebagai akuntan publik, advokat, notaris, PPAT, dan seterusnya "serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan" dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPD.
Baca: Putusan MK soal Pengurus Parpol Dilarang ke DPD Dinilai Langsung Berlaku
Baca: Ikut Liga Pelajar U-12 Dengan Dana Sendiri, Klub Asal Larantuka Minta Bantuan Pemda
Pada frasa "pekerjaan lain" yang menimbulkan konflik kepentingan" oleh MK telah memberikan tafsir dan dijadikan sebagai norma baru yaitu pekerjaan lain yang dimaksud adalah termasuk pengurus partai politik, guna menghindari terjadinya konflik kepentingan dan lahirnya perwakilan ganda.
Tujuan partai politik menurut UU Partai Politik di satu pihak dan visi, misi, hak, kewajiban dan tanggung jawab anggota DPR dan DPD menurut UU MD3 No. 17 Tahun 2014.
Di pihak yang lain, secara kasat mata tidak ada perbedaan, baik visi, misi, hak dan kewajiban anggota DPR yang berasal dari Partai Politik maupun visi, misi, hak dan kewajiban Anggota DPD yang berasal dari perseorangan.
Baca: Lingkungan Pasar Inpres Dibenahi, Para Pedagang Kocar-Kacir Mencari Lokasi Jualan
Baca: Kementerian PUPR Bina Narapidana Menjadi Pekerja Konstruksi Bersertifikat
Dua-duanya sama yaitu mengemban rangkaian tugas, tanggung jawab, hak dan kewajiban konstitusional mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
Yang pada gilirannya harus dipertanggungjawabkan secara moral dan politis kepada masyarakat dan pemilih di daerah dan masyarakat di daerah yang diwakilinya.