Begini Pandangan Jimly Asshiddiqie Soal Uji Materi Presidential Threshold

Perubahan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold berpotensi mengganggu tahap Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Editor: Kanis Jehola
KOMPAS.COM
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie saat ditemui di sela-sela acara halalbihalal Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (16/6/2018). 

POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai bahwa perubahan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold berpotensi mengganggu tahap Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Hal itu ia ungkapkan saat mengomentari permohonan uji materi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke MK.

Baca: Setiap Parpol Usung Cawapres untuk Jokowi, Idrus Minta Semua Duduk Bareng

"Kalau misalnya nanti ada perubahan, itu untuk yang akan datang bukan yang sekarang. Nanti bikin kacau," ujar Jimly saat ditemui di sela-sela acara halalbihalal Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (16/6/2018).

Menurut Jimly, MK harus lebih cermat dalam membuat keputusan mengenai ketentuan presidential threshold. Sebab, tahap Pilpres 2019 akan segera dimulai.

Pasalnya, pada Agustus mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membuka pendaftaran calon peserta pemilu.

Pakar Hukum Tata Negara itu mengatakan, jika MK memutuskan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen melanggar konstitusi, maka keputusan itu harus dibuat sebelum tahap pendaftaran.

Opsi lainnya, lanjut Jimly, perubahan ambang batas pencalonan tidak diberlakukan pada Pilpres 2019, melainkan pada pemilu selanjutnya, yakni Pilpres 2024.

"Seandainya pun ya memang akan menyebabkan perubahan, mahkamah konstitusi harus menghitung dengan cermat dampak dari perubahan itu," kata Jimly.

"Jadi menurut saya sebaiknya itu harus sudah dipastikan ada putusan sebelum pendaftaran. Kalau sudah pendaftaran jangan lagi," ucapnya.

Pasal tentang presidential threshold mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.

Denny Indrayana, kuasa hukum pemohon, mengatakan, syarat ambang batas pencalonan presiden tersebut telah mendegradasi kadar pemilihan langsung oleh rakyat yang telah ditegaskan dalam UUD 1945.

Syarat yang diadopsi dari pasal 222 Undang-Undang Pemilu tersebut, telah menyebabkan rakyat tidak bebas memilih karena pilihannya menjadi sangat terbatas. (*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved