Hasil Identifikasi Kementerian Kominfo, Ada 1.000 Akun Media Sosial Muncul Pasca Bom Surabaya
Menkominfo, Rudiantara memanggil Facebook, Twitter, Google, dan YouTube, hingga Telegram untuk membahas masalah penanganan konten radikalisme
“Privasi pada akhirnya lebih penting ketimbang ketakutan kita akan hal buruk yang bisa terjadi, seperti terorisme,” begitu kata Pavel Durov, pendiri sekaligus CEO layanan pesan Instan Telegram, ketika berbicara dalam acara TechCrunch Disrupt, September 2015 lalu.
Dia menanggapi pertanyaan dari audiens soal teroris yang gemar memakai Telegram untuk berkomunikasi dan mengoordinir aksi teror lewat aplikasi pesan instan tersebut.
Telegram dipandang “aman” lantaran obrolan para penggunanya tak bisa disadap.
Baca: Lucinta Luna Ngamuk dan Cakar Roy Kiyoshi Hingga Kabur. Istighfar Luna!
Durov sendiri ketika itu sudah tahu bahwa ada aktivitas grup teroris negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Telegram.
Tapi dia bersikeras menjunjung tinggi faktor keamanan privasi yang memang sudah lekat dan menjadi ciri khas Telegram semenjak dirilis empat tahun lalu.
“Kami tak harus merasa bersalah. Kami melakukan hal yang benar, yakni melindungi privasi pengguna,” imbuh Durov.
Entah ada kaitannya atau tidak, hanya dalam waktu sebulan setelah Durov menyampaikan statement, pada Oktober 2015, jumlah follower channel Telegram yang dioperasikan oleh ISIS tercatat naik dua kali lipat menjadi 9.000 pengguna.
Layanan chatting ini kemudian berulang kali dipakai sebagai medium komunikasi dan koordinasi para pelaku terorisme dalam melancarkan aksinya di berbagai belahan dunia.
Telegram, antara lain, digunakan untuk berkomunikasi oleh pelaku serangan di Paris pada 2015, serangan malam tahun baru 2017 di Turki, dan serangan di St. Petersburg pada April 2017.
Di Indonesia, sejumlah tersangka terorisme yang ditangkap pada Desember 2016 mengaku belajar membuat bom dengan mengikuti arahan lewat Telegram.
Telegram dan Teroris Sebuah studi yang dirilis beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa Telegram menjadi platform komunikasi pilihan untuk para pelaku terorisme, seperti grup ISIS dan Al-Qaeda.
Tetapi ada apa di balik kesukaan mereka terhadap Telegram?
Semenjak awal, layanan chatting tersebut diketahui selalu mengedepankan diri sebagai platform messaging yang aman dari intipan pihak lain. Fiturnya dalam hal ini termasuk enkripsi end-to-end yang mencegah pesan dicegat dan dibaca, kecuali oleh pengirim dan penerima.
Baca: Sadar Gak Sih, 6 Seleb Hollywood Ini Ternyata Memainkan Dua Karakter di Film Superhero yang Berbeda
Keunikan Telegram dalam hal privasi dan sekuriti membuatnya berhasil merengkuh hingga 100 juta pengguna pada 2016.
Namun, Jade Parker, peneliti senior dari grup riset TAPSTRI yang berfokus pada penggunaan internet oleh teroris, mengungkapkan bahwa enkripsi penjamin kerahasiaan bukanlah satu-satunya faktor yang menarik teroris ke platform Telegram.