Kepemimpinan Kolektif dan Berkarakter
Tiga hal yang menjadi alasan yakni pertama soal sistim kepartaian yang masih sangat terpusat yang tidak mampu

Oleh: Jonatan A. Lassa
Dosen Senior di CDU Australia, Blog: indosasters.org
POS KUPANG.COM - Biaya mencari pemimpin NTT mencapai setengah triliun rupiah. Namun NTT krisis kepemimpinan publik! Begitu banyak pejabat, begitu sedikit pemimpin.
Pilkada seolah soal kepejabatan ketimbang kepemimpinan. Dalam diskusi Forum Academia NTT beberapa hari yang lalu, ada perdebatan soal masalah kelembagaan di Indonesia yang dituduh sebagai akar masalah langkanya ketersediaan pemimpin publik.
Tiga hal yang menjadi alasan yakni pertama soal sistim kepartaian yang masih sangat terpusat yang tidak mampu merekrut orang yang tepat kecuali berduit dalam kontestasi Pilkada.
Kedua soal fakta arsitektur kekuasaan di provinsi yang sangat terbatas sehingga seorang gubernur sering tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah di kabupaten dan kota.
Ketiga, soal pengaturan kekuasaan vertikal pusat dan daerah yang tidak simetris. Misalnya dalam hal perdagangan manusia -daerah tidak memiliki pegangan akibat ketiadaan skema kelembagaan yang jelas yang perlu diciptakan dari pusat.
Ketiga hal di atas ada benarnya. Namun, menunggu terjadinya kesempurnaan arsitektur kelembagaan di atas membutuhkan waktu dan mungkin tidak pernah tercipta dalam waktu dekat.
Yang paling urgen adalah memperbaiki karakter kepemimpinan di daerah sebagai jalan yang lebih penting untuk diambil dalam konteks saat ini.
Dalam konteks kepulauan dengan karakter yang kompleks seperti NTT, kepemimpinan yang kita cari perlu memiliki empat kualitas berikut. Pertama, sense of purpose. Pemimpin harus memberikan arah atau tujuan.
Ke mana kita mau melangkah sebagai bangsa, sebagai komunitas, sebagai orang-orang kepulauan. Arah lebih penting dari kegiatan. Hari ini kita punya pejabat-pejabat yang punya banyak kegiatan-kegiatan yang padat.
Tetapi di tiap akhir tahun, kita bingung, dari mana kita datang dan mau ke mana kita pergi? Apakah kemiskinan NTT berkurang?
Kedua, sense of servanthood. Seorang pemimpin adalah pelayan. Pemimpin yang sejati mesti menjadi seorang pelayan publik, yang terus-menerus terobsesi dengan menghadirkan kesejateraan pada keluarga-keluarga yang belum mendapatkanya. Ia selalu gelisah ketika rakyatnya tidak berkecukupan.
Ia memaki dirinya ketika ada rakyatnya yang bertahun-tahun tidak memiliki akses pada pendidikan dasar maupun pelayanan dasar baik listrik maupun air. Tidak sulit memahami soal ini.
Seorang pemimpin dengan sense of servanthood akan merasa terganggu manakala ia dikelilingi para conformist, yakni kerumunan orang-orang di sekitarnya yang bermain drama dengan mencium tangan dan atau pura-pura tunduk menyembahnya dengan puji-pujian palsu yang menyenangkan telinganya. Seorang megalomaniak tidak mungkin menjadi pemimpin yang melayani.