Lambang Negara Indonesia, Garuda Mengalami 4 Kali Perubahan Bentuk, Yuk Simak
Lambang Negara Indonesia, Garuda, ternyata mengalami 4 kali perubahan bentuk. Bagaimakah perubahan demi perubahan itu?
POS-KUPANG.COM - Lambang Negara Indonesia, Garuda, ternyata mengalami 4 kali perubahan bentuk. Bagaimakah perubahan demi perubahan itu?
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.
Baca: Jangan Ancungkan Jempol, Membuka Tangan atau Bikin Simbol V, Itu Penghinaan
Baca: Diajak Makan di Restoran Mewah, Anak Jalanan Ini Mengatakan Hal yang Bikin Nangis
Baca: Kalau Ketemu Katak yang Cantik Ini, Segera Lari Menjauh, Jika Tidak Anda Bisa Tewas Ditempat
Baca: Gaji Para Presiden Ini Bikin Tercengang, Gaji Donald Trump Ga Bisa Dipercaya
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Sahabat anehdidunia.com panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
LAMBANG PERTAMA
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara.
Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Baca: Perempuan Itu Benar-benar Aneh, Coba Baca Fakta Ini dan Anda Pasti Menyetujuinya
Baca: 10 Tips LDR Alias Pacaran Jarak Jauh Ini Bisa Bikin Hubunganmu Langgeng Sampai Pernikahan
Baca: 5 Hal Ini hanya dirasakan dan Mampu Dilewati Pasangan LDR, Kalian Ga Akan Kuat
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu.
Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
LAMBANG KEDUA
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno.
Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali – Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila.
Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “’tidak berjambul”’ seperti bentuk sekarang ini.
Baca: Perempuan Usia 77 Tahun Ini Hidup Bersama Jenasah Ibunya Selama 30 Tahun
Baca: Karma Membunuh! Arwah Perempuan ini Datangi Pelaku Lalu Mencekiknya
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Sahabat anehdidunia.com Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
LAMBANG KETIGA
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan.
Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
LAMBANG KEEMPAT
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974.
Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Bukan Cuma Mitos
Burung garuda menjadi lambang penting yang sudah mendarah daging di tubuh negeri ini.
Hal itu lantaran sosoknya dikenal sebagai lambang negara yang merupakan elemen penting bagi bangsa Indonesia.
Sebab lambang berarti identitas.
Burung Garuda itu pun digambarkan sebagai sosok gagah yang memiliki warna emas serta sejumlah bulu.
Bulu tersebut masing-masing terdiri dari 17 helai pada sayap kanan dan kiri, 45 helai pada leher dan 8 helai pada ekor.
Tak sembarangan, jumlah helai bulu yang terdapat di burung gaurda itu pun memiliki makna tersendiri yakni melambangkan hari kemerdekaan Indonesia.
17-8-1945, 17 Agustus tahun 1945.
Bukan cuma gagah, burung garuda pun konon dianggap sebagai hewan yang memiliki rasa persahabatan yagn erat dengan manusia.
Sosoknya juga dianggap sebagai kendaraan para dewa di masa lampau.
Karena ha tersebut, banyak orang yang bertanya-tanya mengenai keaslian dari sosok burung garuda itu.
Benarkah ada atau cuma mitos yang dibuat-buat.
Dilansir dari berbagai sumber, TribunnewsBogor.com pun menyajikan fakta menarik perihal burung garuda.
Burung Garuda nyatanya benar-benar ada.
Menurut para ahli, dari sekian banyak burung di Indonesia, memang benar ada satu burung yang dianggap memiliki ciri-ciri sama dengan Burung Garuda.
Yaitu burung Elang Jawa atau Spizaetus bartelsi.
Burung elang Jawa sendiri termasuk ke dalam spesies endemik Pulau Jawa.
Namun kini jumlahnya tak lagi banyak dan semakin sulit ditemukan.
Bahkan, jumlahnya kini diperkirakan kurang dari 600 ekor.
Hal tersebut yang membuat pemerintah menetapkan burung Elang Jawa merupakan satwa langka.
Lembaga burung Indonesia pun menetapkan burung ini termasuk dalam burung yang terancam punah.
Langkanya burung tersebut salah satu pemicunya adalah akibat banyaknya aktivitas perburuan.
Karena burung Elang Jawa ini konon memiliki penggemar yang banyak.
Selain itu, kelangkaan itu konon dipicu dari pola reproduksi Burung Elang Jawa sendiri yang lambat.
Proses bertelur Burung Elang Jawa betina memang dinilai sangat lambat yakni mereka bertelur dua tahun sekali.
Untuk ukuran dari Burung Garuda alias Burung Elang Jawa ini memiliki panjang 60 sampai 70 sentimeter.
Rata-rata burung Garuda ini memiliki kepala berwarna cokelat.
Burung ini juga memiliki jambul khas yang sama dengan sosok lambang negara.
Prasangka orang-orang yang menyebut burung Garuda selama ini hanyalah mitos dimungkinkan karena sulitnya burung ini untuk ditemui.
Sedikitnya jumlah burung Elang Jawa itulah yang membuat orang berpersepsi bahwa burung Garuda itu sebenarnya tidak ada. (*)
