Ni Luh Sekar Hanya Pasrah, Usai Mengungsi, Janin Usia 25 Minggu Meninggal Dalam Kandungan, Sedihnya

Janin yang masih berusia 25 minggu di dalam kandungannya ini dinyatakan meninggal sejak Minggu (24/9/2017) siang.

Editor: Rosalina Woso
Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
Ni Luh Sekar Dwipayani bersama suaminya I Kadek Witama saat ditemui di ruang Melati RSUD Buleleng pada Senin (25/9) 

POS-KUPANG.COM, SINGARAJA- Ni Luh Sekar Dwipayani (17) tampak terbaring lemah di Ruang Melati, RSUD Buleleng, pada Senin (25/9/2017) siang.

Ia harus menunggu keputusan dari pihak medis, kapan sekiranya tindakan untuk mengeluarkan jasad janin yang ada di dalam kandungannya dapat dilakukan.

Sekar merupakan salah satu pengungsi Gunung Agung asal Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem.

Janin yang masih berusia 25 minggu di dalam kandungannya ini dinyatakan meninggal sejak Minggu (24/9/2017) siang.

Diceritakan suaminya, I Kadek Witama (18), kala itu, Sekar mengaku tidak merasakan keluhan sakit pada perutnya.

Istrinya mulai curiga saat tidak merasakan adanya gerakan dari dalam kandungannya seperti pada hari-hari biasanya.

Khawatir sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, Sekar pun langsung memeriksakan kondisi kehamilannya pada seorang petugas kesehatan yang berjaga-jaga di tempat pengungsiannya di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng.

"Sampai di pos kesehatan, petugas medis tidak menemukan adanya gerakan jantung pada janin, kemudian istri saya langsung dirujuk ke Puskesmas Tejakula I. Setelah di Puskesmas Tejakula I, kembali dirujuk ke RSUD Buleleng," kata Witama saat ditemui di RSUD Buleleng.

Diakui Witama, selama mengandung, sang istri sejatinya tidak pernah melakukan aktivitas yang berat.

Pasutri muda yang baru saja menikah sekitar satu bulan ini pun juga mengaku jarang menempati tempat pengungsian di desa Les, Buleleng.

"Kami mengungsi kalau sudah malam. Kalau pagi sampai siang kami pulang lagi ke desa," ujar Witama.

Kini, pasutri yang menggantungkan nasib dari hasil tani ini hanya bisa ikhlas, kehilangan anak pertamanya.

Mereka hanya bisa menunggu keputusan dari pihak medis kapan sekiranya jasad janin yang ada dikandungan Sekar dapat dikeluarkan.

"Kata dokter mengeluarkan janin itu tidak sembarangan. Barusan istri saya diberi perangsang. Sekarang mulai mulas-mulas," ujar Witama.

Selain harus menerima kenyataan pahit kehilangan anak pertamanya, pasutri malang ini kembali dirundung kegelisahan, terkait biaya yang nantinya akan dikeluarkan sesuai tindakan mengeluarkan jasad janinnya.
Witama mengaku tidak memiliki Kartu Indonesia Sehat.
Ia pun kebingungan, dan berharap datangnya uluran tangan dari pemerintah.

Setelah jasad janinya berhasil dikeluarkan, pihak keluarga berencana untuk menguburnya di Setra Desa Ban.

"Harus dikubur saat itu juga saat bayinya berhasil dikeluarkan. Tidak ada pilihan lain, dikuburnya ya harus di Desa Ban.

Mudah-mudahan kami masih diberikan izin untuk melakukan pemakaman," tutup Witama.

Dirut RSUD Buleleng, dr Gede Wiartana mengatakan dari hasil analisis medis pihaknya belum dapat memastikan penyebab kematian janin dalam kandungan Sekar.

Tetapi Wiartana menegaskan bahwa kematian bayi dalam kandungan Sekar tidak ada hubungannya dengan erupsi Gunung Agung.

"Dari segi fisik ibu bayi dalam keadaan sehat dan tenang, secara psikis juga tidak stres, jadi belum dapat diketahui pasti penyebab kematian bayi dalam kandungan. Secara medis memang dapat disebabkan beberapa faktor, bisa dari ibunya atau dari bayinya yang mungkin ada kelainan," jelasnya.

Hingga Senin sore, Sekar masih menjalani masa induksi untuk mendorong bayinya keluar.

"Belum ada tanda-tanda bukaan di jalan lahir secara normal pada pasien," tutupnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved