El Tari Memorial Cup 2017
Catatan untuk Mosa Meju Laki Rore
Fenomena biadab itu bukan tidak mungkin bakal terjadi di negeri ini jika tidak diantisipasi dengan arif, cantik, dan legal.
Oleh: Watu Yohanes Vianey
Dosen Unwira Kupang
POS KUPANG.COM -- Giddens (1998) meramalkan bahwa kausalitas atau penyebab berakhirnya ideologi kebangsaan seperti Pancasila maupun kematian sebuah negara bangsa seperti NKRI yang telah berumur 72 tahun dewasa ini, diawali oleh "the death of socialism" (matinya rasa sosialitas).
Fenomena biadab itu bukan tidak mungkin bakal terjadi di negeri ini jika tidak diantisipasi dengan arif, cantik, dan legal. Fakta dan penandanya terlihat jelas dalam keberadaan dan keberpihakan orang per orang atau kelompok-kelompok besar maupun kecil, yang melakukan ujaran kebencian di berbagai tempat dan media sosial.
Baik dalam pidato politik internal yang terbatas dan celakanya dapat disebarkan melaui media sosial, maupun di area eksternal di wilayah publik, seperti dalam lingkaran peristiwa permainan sepakbola bergengsi Flobamorata baru-baru ini, yaitu pertandingan El Tari Memorial Cup di Kota Sare Ende.
Konon pada mulanya ujaran "meju" adalah akronim "Mental Juara" dari PSN Ngada, dan ujaran "rore" adalah akronim "Suporter Ende" dari Perse Ende. Tapi dalam berbagai tanggapan di FB terhadap laga final yang "unik" itu, kedua ujaran itu justru dimaknai dalam terang "kekerasan" yang bisa menghancurkan lawan.
Dalam bahasa Bajawa, kata "meju" itu bisa dimaknai "meju sai geju" (`injak sekuat-kuatnya hingga mengancurkan lawan). Ghili Agustinus Ngiso di Jakarta tambah lagi dengan pernyataan "Meju sai mebhu" (`injak sampai lebur mebur'). Apakah lawan main dalam sepakbola itu adalah subjek dan objek yang pantas untuk dihancurleburkan?
Begitu pula jika didalami makna kata "rore". Dalam bahasa Ende Lio, pak guru Sirilus Wali dari Nangapanda dan Pemimpin Redaksi Pos Kupang, eja Dion Putra dari Watuneso juga menolak diksi "rore" itu.
Sebagai orang Lio yang cinta damai dan sportivitas, pilihan kata "rore" itu bertentangan dengan karakter kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena "rore" adalah tindakan membunuh dengan memotong leher hewan, seperti memotong leher kambing.
Apakah lawan pertandingan sepakbola itu adalah gerombolan kambing yang pantas diperlakukan dengan tindakan "rore"? Dengan demikian, kedua kata yang menjadi semacam semboyan itu jelas memuat energi `kekerasan terhadap lawan' dan terbuka untuk memicu ke arah ujaran dan tindakan yang berbau pesing kebencian.
Harus diakui bahwa sepanjang setengah tahun 2017 ini, secara faktual ada ujaran kebencian yang dilontarkan oleh sebagian politisi terhadap partai politik lawan, ada juga yang dilontarkan sebagian pemuka agama untuk penganut agama dan kepercayaan yang lain.
Video yang diunggah entah di Youtube maupun di FB dan lain-lain yang isinya menjelek-jelekkan agama lain maupun partai lain itu memperlihatkan fenomena `matinya sosialitas kebangsaan'.
Bahkan ada pemuka agama dari negara lain seperti Zakir Naik yang dielu-elukan dan diundang oleh sebagian politisi dan petinggi negeri untuk khusus `menghina' ajaran agama lain, di kota-kota dan gedung-gedung yang dibiayai oleh NKRI.
Begitu pula fenomena hadirnya arogansi dan brutalitas gerombolan suporter sepakbola di Jawa maupun di Flobamorata. Maka bagi saya, semboyan seperti "meju" dan "rore" yang mendistribusi semangat dan sikap hidup kekerasan dalam pertandingan sepakbola adalah fakta batiniah dan jasmaniah tentang `matinya' sebagian karakter sosialitas kemanusiaan yang adil dan beradab itu.
Sebuah fenomena neo tribalisme Ngada dan Ende, dalam representasi kaum `mosa meju' dan `mosa rore'. Atau dari sisi sosiolingusitik dapat saya singkatkan menjadi kaum "Mosa Meju Laki Rore".