Mulai dari Potong Telinga, Hingga Perkosa Rakyat, Cara Sadis Raja-Raja di Nusantara Berikan Hukuman
Bukannya tunduk, Kertanegara justru memberikan jawaban yang mencengangkan, yaitu memotong telinga Meng Khi.
POS-KUPANG.COM--Nusantara sebelum disatukan menjadi Republik Indonesia, dipimpin oleh raja-raja yang ada di berbagai daerah.
Mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, hingga Maluku, dipimpin oleh berbagai raja tersebut.
Sebagian di antara mereka ada yang memimpin kerajaannya secara adil.
Namun, ada juga yang memimpin, dan menerapkan hukuman secara sadis.
Berikut ini adalah raja-raja di nusantara yang tercatat pernah memberikan hukuman yang dianggap sebagian orang cukup sadis.
Iris Telinga
Raja yang pernah menerapkan hukuman mengiris telinga adalah Raja Singasari, Kertanegara.
Hukuman itu diberikannya kepada utusan dari penguasa Mongol, Kubilai Khan.
Halaman selanjutnya
Utusan yang bernama Meng Khi tersebut menemui Kertanegara pada tahun 1289, dan memintanya takluk kepada Kubilai Khan.
Bukannya tunduk, Kertanegara justru memberikan jawaban yang mencengangkan, yaitu memotong telinga Meng Khi.
Penggal Kepala
Hukuman lebih sadis pernah diterapkan oleh seorang raja lainnya di Nusantara.
Raja tersebut adalah Sultan Agung yang memerintah pada tahun 1613 hingga 1645.
Berdasarkan buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 karangan MC Ricklefs, saat itu Sultan Agung ingin melakukan ekspansi ke Batavia pada abad ke-17.
Namun, penyerbuan yang mereka lakukan ternyata gagal.
Oleh karena itu, beberapa waktu kemudian Sultan Agung kembali mengirimkan utusannya.
Kali ini yang dikirimnya bukanlah pasukan perang.
Namun, sepasukan algojo.
Tujuannya, untuk memenggal kepala panglima perang mereka, Pangeran Mandurareja, dan Tumenggung Bahureksa.
Alasannya, keduanya telah gagal dalam melakukan tugas untuk menyerbut Batavia yang dikuasai oleh VOC.
Perkosa Rakyat
Hukuman kejam lainnya yang pernah diterapkan adalah dengan memperkosa rakyatnya.
Cara semacam itu dilakukan oleh La Pateddungi yang memimpin Kerajaan Wajo di Sulawesi Selatan pada abad ke-15.
Berdasarkan buku Sejarah Indonesia: Penilaian Kembali Karya Utama Sejarawan Asing, tulisan Edi Sedyawati, La Pateddungi memang sering memperkosa istri rakyatnya.
Itu dilakukannya apabila nasihatnya didengarkan oleh rakyatnya.(*)