Jangan Bakar Rumah Pancasila, Ini Pandangan Anggota Forum Academia NTT
Rumusan final Pancasila ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 dengan kesepakatan menghilangkan tujuh kata dalam sila
Oleh: Herman Seran
Anggota Forum Academia NTT & Co-editor Buku Membangun Indonesia dari Pinggiran
POS KUPANG.COM - Forum Pembauran Kebangsaan menyelenggarakan Seminar Sehari yang bertemakan "Refleksi Pancasila di Rumah Pancasila untuk Meneguhkan Relasi Damai Anak Bangsa" tiga hari sebelum peringatan Hari Lahir Pancasila di Kupang. Tanggal 1 Juni 2017 dirayakan di Ende, kota pembuangan Bung Karno tempat dasar negara Indonesia dikonsepkan.
Rumusan final Pancasila ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 dengan kesepakatan menghilangkan tujuh kata dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni `dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya'. Kerelaan untuk menerima Pancasila versi Pembukaan UUD '45 ini adalah wujud kebulatan tekad seluruh komponen bangsa untuk berjalan bergandengan sebagai anak bangsa menuju kesejahteraan sosial yang adil dan merata.
Setelah hampir 3/4 abad kita berkomitmen akhir-akhir ini Pancasila kembali dirongrong radikalisme dan fanatisme yang mengancam keutuhan bangsa. Kesepakatan 72 tahun lalu kini digugat anak cucu para pendiri bangsa. Tersontak kaget elemen bangsa merasakan olengnya sang Garuda yang mengayom dan menatang kebhinekaan bangsa. Ibu pertiwi berlinang air mata menyaksikan perkelahian berdarah antar saudara sekandung mengklaim hak ekslusif atas warisan para pendiri bangsa.
Dalam situasi ini, NTT yang mengklaim diri sebagai rumah Pancasila yang memelopori restorasi ide kebhinekaan yang sejatinya adalah keunggulan kompetitif Nusantara. Pertanyaannya: mengapa rumusan Pancasila yang telah final itu kini digugat. Apakah betul akibat Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ditinggalkan serta berkurangnya jam pelajaran budi pekerti sejak Orde Reformasi? Ataukah faham negara khilafah yang berkembang semenjak tahun 80-an kembali bersemi lantaran demokrasi dan kebebasan berekspresi setelah Orba? Benar pulakah ada konspirasi kapitalis dunia yang menghendaki kehancuran Indonesia?
Penulis berargumentasi bahwa biang kerok perpecahan bangsa ini bermuasal dari perilaku korup dan serakah para penyelenggara negara yang menutup ruang partisipasi yang adil dan merata bagi setiap anak bangsa dalam pembangunan.
Banyak yang mengklaim pelajaran budi pekerti selama Orde Reformasi sangatlah minim sehingga kesadaran berbangsa dan bernegara terkikis habis. Karena itu, penataran P4 harus dihidupkan kembali dan jam pelajaran budi pekerti harus ditambah. Bahkan Gubernur NTT saat membuka seminar Refleksi Pancasila, secara anekdotal mengatakan untuk urus ikan saja dibentuk satu kementerian, mengapa untuk Pancasila tak ada institusi seperti BP7 yang mengurusnya.
Sayangnya, kita tidak sadar bahwa biang kerok pengkhianatan Pancasila justru didalangi generasi era Reformasi dan Orde Baru lewat praktik penyelenggaran negara yang koruptif dan diskriminatif. Mereka yang sementara mengatur bangsa ini, bukan generasi yang tidak dicekoki doktrin Pancasila, tetapi yang lulus ratusan jam penataran P4. Artinya, persoalan kita bukan pada kurangnya pelajaran budi pekerti, tetapi lebih pada absennya teladan generasi tua kepada generasi muda. Justru pelajaran moral di mimbar-mimbar rumah ibadat dan ruang kelas yang bertentangan dengan praktik hidup bernegara yang korup dan tak berintegritas, menghasilkan generasi muda galau penderita penyakit schizophrenia yang tidak berprinsip dan berkarakter.
Semenjak reformasi faham khilafah memang seolah terpupuk untuk bertumbuh subur atas nama kebebasan berserikat dan berdemokrasi. Bahkan organisasi Muslim besar seperti NU dan Muhammadiyah, pun diinfiltrasi dengan paham ekstrem yang menimbulkan kegaduhan dalam tubuh organisasi-organisasi besar tersebut (bdk. Wahid, 2009). Hanya saja, mengapa para pengikut faham negara tersebut berkembang secara eksponensial bahkan melibatkan elit politik? Suburnya ide negara Islam sejatinya adalah resultante dari praktik marginalisasi akibat pembangunan yang diskriminatif dan koruptif.
Benih radikalisme tumbuh subur pada kelompok orang yang kehilangan harapan hidup dan frustrasi dengan kondisi sekitarnya. Bom bunuh diri umumnya dilakukan mereka yang tidak memiliki harapan hidup, sementara jalan jihad menawarkan jaminan surgawi serta sokongan material bagi keluarga yang ditinggalkan. Karena itu, faham laten negara Islam membakar Indonesia karena pengingkaran cita-cita proklamasi kita impikan bersama yakni kesejahteraan sosial yang berkeadilan sosial. Dengan demikian, jangan-jangan NTT yang mengklaim diri sebagai rumah Pancasila dapat bersemi benih-benih radikalisme dan separatisme, jika terus-menerus dihadapkan pada realitas koruptif tanpa solidaritas sosial para penyelenggara negara?
Bagaimana dengan peranan negara kapitalis, yang hendak menguasai sumberdaya alam Indonesia? Mungkinkah Amerika berkonspirasi menghancurkan Indonesia karena Jokowi tidak kooperatif mengamankan kepentingan korporasi Amerika dan para sekutunya. Misalkan, ancaman presiden terhadap pemutusan kontrak karya Freeport Indonesia di Papua yang mengganggu kepentingan ekonomi Amerika Serikat. Jaman sekarang menguasai suatu negara jauh lebih mahal daripada mengimpor hasil produksinya.
Kegagalan Amerika dalam intervensinya di negara-negara Arab dan Eropa Timur telah menimbulkan konsekuensi yang lebih merusak bagi Amerika dan negara-negara Eropa ketimbang maslahat yang diperolehnya. Karena itu, lebih strategik bagi Amerika dan para sekutunya, jika negara besar seperti Indonesia tetap menjadi negara kuat dan tidak hancur berkeping (Friedman, 2016). Gelombang pengungsian ke Eropa yang berujung pada pecahnya Uni Eropa serta meluasnya teror ISIS adalah harga mahal yang dibayar Eropa akibat kegagalan pemerintahan (fail states) di jazirah Arab.
Artinya, kalau hanya karena Freeport Indonesia, maka Amerika takkan rela menghancurkan negara ini, mengingat efek domino yang sangat merugikan. Maka, isu konspirasi semacam ini sebenarnya dihembuskan h kaum oportunis, yang kehilangan kesempatan menyicipi kue di salah satu pertambangan tembaga terbesar di dunia itu.
Ringkasnya, ketiadaan integritas dan keteladanan generasi tua kepada generasi muda adalah faktor utama terkikisnya nilai-nilai budi pekerti dan Pancasila. Pembajakan negara oleh para penyelenggara negara yang membelokkan pembangunan dari perwujudan cita-cita proklamasi menyebabkan konsensus bangsa kini digugat.
Separatisme bangsa muncul karena keraguan atas kemampuan bangsa mengalokasikan sumberdaya demi pencapaian cita-cita bersama secara efektif. Faktor-faktor eksternal seperti paham khilafah dan konspirasi politik ekonomi negara lain sejatinya disuburkan oleh kondisi internal bangsa yang diskriminatif dan koruptif. Karena itu, bukan jam pelajaran budi pekerti dan Penataran P4 yang terpenting saati ini, melainkan keteladanan moral dan integritas tokoh-tokoh bangsa. Jangan berharap menghasilkan generasi berintegritas dan berbudi luhur kalau mereka dibesarkan dengan makanan hasil garong.
Solidaritas dan keadilan sosial harus menjadi keutamaan para pemimpin. Pembangunan harus difokuskan pada usaha merangkul mereka yang terpinggirkan dan terabaikan agar mereka merasa at home di Rumah Pancasila ini. Indonesia harus menjadi rumah untuk setiap anak bangsa apapun latar belakangnya.
Jika NTT hendak mengambil peran sebagai pengawal Pancasila dan model persatuan dalam keberagaman, maka kita lebih membutuhkan keteladanan para pemimpin NTT dalam mengamalkan Pancasila ketimbang simbol-simbol seremonial. Praktisnya, NTT dapat menjadi pelopor toleransi hidup beragama, menjadi contoh provinsi anti korupsi, dan memastikan rakyat NTT sama sejahteranya dengan para abdinya yang jauh lebih sejahtera dari empunya NTT. Jangan membakar Rumah Pancasila hanya karena banyak tikus yang mengerat di rumah itu. *