Pancasila dan Gereja, Inilah Keterkaitannya yang Perlu Anda Tahu
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dalam penutupan pidatonya di Gedung
Oleh: Pdt. Yuda D. Hawu Haba, M.Th
Melayani di Kantor Sinode, Bagian Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Sinode: BPPPPS -GMIT
POS KUPANG.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dalam penutupan pidatonya di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/6/2016) pukul 11.10 WIB. Mengapa demikian dan bagaimana kisahnya?
Istilah "Pancasila" berasal dari bahasa Sansekerta di India (bahasa kasta Brahmana). Menurut Muhammad Yamin, kata "Pancasila" memiliki arti leksikal yakni: "panca" artinya "lima" "syila" artinya "batu sendi", "alas", "dasar", "peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh". Kata-kata tersebut kemudian dialihkan ke dalam bahasa Indonesia (Jawa) yakni "susila" yang berkaitan dengan moralitas. Istilah "Panca Syila" maknanya "berbatu sendi lima" atau secara harafiah berarti "dasar yang memiliki lima unsur".
Masuknya kebudayaan India ke Indonesia melalui penyebaran agama Hindu dan Budha, terutama di Jawa pada masa Majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Istilah Pancasila ditemukan dalam buku Nagara Kertagama karya Empu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Dalam buku Sutasoma dikenal istilah Pancasila Krama, merupakan lima dasar/tingkah laku/perintah kesusilaan yang lima, yakni: a) Dilarang mateni/membunuh, b) Dilarang maling/mencuri, c) Dilarang Madon/berzina, d) Dilarang mabuk-mabukan, e) Dilarang main/berjudi. Ketika mencoba-coba melanggarnya, akan mendapatkan sanksi sosial maupun sanksi hukum.
Pada 14 Januari 1934, Bung Karno bersama istrinya, Inggit Garnasih, ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami, tiba di rumah tahanan di Kampung Ambugaga, Ende. Kata Pancasila terinspirasi ketika Bung Karno berada di bawah pohon sukun tatkala ia diasingkan Belanda selama empat tahun ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur guna memutuskan hubungan Soekarno dengan loyalisnya.
Di bawah pohon sukun berjarak 700 meter dari kediamannya, ia menemukan dan merenungkan nama Pancasila secara religius. Oleh karena itu, ia mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam hingga belajar soal pluralisme dengan bergaul bersama pastor-pastor di Ende. Dari sinilah Soekarno menjadi lebih religius dan memaknai keberagaman secara lebih dalam.
Pemikiran Bung Karno soal Pancasila dihasilkan dari proses kontemplasi selama masa pengasingan di Ende. Di sana, ia mendalami ilmu agama lebih serius. Tidak hanya agama Islam, tetapi juga Kristen. Jiwa religiusnya kemudian tercermin dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Ia berkali-kali mengungkapkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan, namun tidak eksklusif untuk satu golongan. Hal itu sekaligus menepis anggapan bahwa dia tidak membela kaum muslim yang saat itu memiliki kekuatan politik yang besar. Di bawah pohon sukun (Pohon Pancasila) yang menghadap langsung ke Pantai Ende tercetus "Ilham Pancasila untuk Nusantara".
Pada 29 Mei -1 Juni 1945, Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengadakan sidang pertama di Jakarta dipimpin ketuanya Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat. Selama tiga hari tersebut pertanyaan pokok Radjiman adalah, "Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?"
Dalam pidato Bung Karno bahwa negara yang didirikan adalah untuk semua rakyat
dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu rumusan Pancasila menurut Soekarno adalah: 1) Kebangsaan Indonesia/Nasionalisme, 2) Internasionalisme/peri-kemanusiaan, 3) Mufakat/demokrasi, 4) Kesejahteraan Sosial, 5) Ketuhanan; Trisila: 1) Sosio-nasionalisme, 2) Sosio-demokratis, 3) Ke-Tuhanan; Ekasila (Gotong-Royong). "Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan. Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia," kata Bung Karno.
Gagasan Bung Karno itu diterima secara aklamasi oleh semua anggota BPUPKI dan membentuk Panitia-Sembilan untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar terdiri dari Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Mr. A.A Maramis, Abikusno Tjokrokusumo, Abdulkahar Muzakir, Hj. A. Salim, Wahid Hasjim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin.
Pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya 18 Agustus 1945 disahkan Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana di dalamnya termuat isi rumusan lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.
Sejak itu, "Pancasila" menjadi Dasar Negara Republik Indonesia secara spontan diterima peserta sidang secara bulat oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya 18 Agustus 1945. UUD 1945 terdiri atas Pembukaan UUD 1945, 37 Pasal, 1 aturan Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 Pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat. Dalam pembukaan UUD 1945 terdiri atas empat alinea tercantum rumusan Pancasila yakni: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5) Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hakikat, kedudukan dan fungsi Pancasila bila dikaji secara ilmiah memiliki pengertian luas yakni sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi bangsa dan negara, kepribadian bangsa. Selain itu, Pancasila merupakan hasil kesepakatan bersama para pendiri bangsa yang disebut sebagai sebuah "Perjanjian Luhur" bangsa Indonesia. Oleh karena itu makna lima sila dalam Pancasila adalah:
Sila Pertama, menuntut setiap warga negara mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan tujuan akhir, baik dalam hati dan tutur kata maupun dalam tingkah laku sehari-hari. Konsekuensinya adalah Pancasila menuntut umat beragama dan kepercayaan untuk hidup rukun walaupun berbeda keyakinan.
Sila Kedua, mengajak masyarakat untuk mengakui dan memperlakukan setiap orang sebagai sesama manusia yang memiliki martabat mulia serta hak-hak dan kewajiban asasi. Dengan kata lain, ada sikap untuk menjunjung tinggi martabat dan hak-hak asasinya atau bertindak adil dan beradap terhadapnya.