Diprotes Selama 5 Tahun, Pemerintah Cabut Izin Tambang di Pulau Bangka, Sulut. Kapan di NTT?

Pencabutan ini dilakukan setelah lima tahun warga Pulau Bangka melakukan berbagai protes, termasuk memenangkan gugatan di MA pada 2016.

Penulis: Agustinus Sape | Editor: Agustinus Sape
jatam.com/save bangka island
Kondisi Pulau Bangka, Sulut, 2014, kala mulai digunduli buat tambang PT MMP. 

POS KUPANG. COM - Pemerintah akhirnya mencabut izin usaha pertambangan bijih besi PT MMP di Pulau Bangka, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Dilansir dari laman Jatam.com, setelah dibagikan aktivis Jatam, Melky Nahar, melalui WhatsApp, Selasa (4/4/2017), pencabutan ini dilakukan setelah lima tahun warga Pulau Bangka melakukan berbagai protes, termasuk memenangkan gugatan di Mahkamah Agung pada 2016.

Izin tambang bijih besi seluas 2.000 hektar (ha) dari total luasan Pulau Bangka yang sekitar 4.778 ha itu dikeluarkan mantan Menteri Energi Sumber Daya Alam (ESDM) Jero Wacik pada akhir masa jabatannya melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 3109/30/MEM/2014.

Adapun pencabutan izin dikeluarkan Menteri ESDM Ignasius Jonan melalui Kepmen ESDM Nomor 1361K/30/MEM/2017.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Komunikasi Hadi M Djuraid, saat dihubungi pada Jumat (31/3), membenarkan adanya keputusan tersebut.

Surat pencabutan izin usaha pertambangan tersebut ditandatangani Jonan pada 23 Maret 2017 dan dikirim tembusannya kepada para pihak, termasuk Jaringan Tambang (Jatam) sebagai salah satu pihak pemohon pada 30 Maret 2017.

Dalam Kepmen ESDM Nomor 1361K/30/MEM/2017 disebutkan, dengan pencabutan ini, seluruh wilayah izin usaha pertambangan operasi produksi PT Mikgro Metal Perdana dikembalikan kepada Pemerintah Indonesia.

Berikutnya, wilayah ini dapat ditetapkan jadi wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) atau wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK), dan atau diusulkan jadi wilayah pencadangan negara (WPN) sesuai ketentuan perundang-undangan.

Baca: Pengalaman Membuktikan, Daging Enak Ini Bisa Menyembuhkan Penyakit Ambeien

Koordinator Nasional Jatam Merah Johansyah mengapresiasi pencabutan ini. ”Upaya ini berhasil karena keuletan masyarakat adat Kahuku di Pulau Bangka yang memperjuangkan hak atas ekologinya selama sekitar lima tahun terakhir,” kata Merah.

Sebelumnya, masyarakat Kahuku bersama warga lainnya melakukan berbagai protes terhadap izin tambang tersebut.

Mereka juga menempuh sejumlah jalur hukum di pengadilan.

Dalam proses hukum tersebut, warga tercatat selalu menang, mulai dari Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 211/G/2014/PTUN-JKT pada 14 Juli 2015, diperkuat lagi oleh putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada 14 Desember 2015, dan puncaknya adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 255K/TUN/2016 tanggal 11 Agustus 2016 yang kembali memenangkan warga.

Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa yang aktif mendampingi warga Pulau Bangka, mengatakan, masyarakat setempat berterima kasih kepada Menteri ESDM yang sudah taat hukum dengan mencabut izin tambang PT MMP.

”Namun, kami mengharapkan konsistensi pemerintah untuk tidak mengeluarkan izin baru untuk perusahaan tambang mana pun di Pulau Bangka,” ujarnya.

Pekerjaan rumah berikutnya, menurut Jull, adalah memastikan adanya audit dan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan.

Ini mulai dari kerusakan bukit hingga kerusakan sejumlah terumbu karang serta penimbunan mangrove yang dilakukan selama perusahaan beroperasi.
 

Kapan di  NTT?

Para aktivis sedang berdiskusi dengan masyarakat dan pihak PT SMR di lokasi tambang mangan TTS saat aksi damai, Rabu (27/1/2016).
Para aktivis sedang berdiskusi dengan masyarakat dan pihak PT SMR di lokasi tambang mangan TTS saat aksi damai, Rabu (27/1/2016). (Dok Pos Kupang)

Protes atas izin usaha pertambangan tidak hanya terjadi di Pulau Bangka, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur masyarakat sudah lama memprotes sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan pemerintah daerah setempat.

Beberapa di antara izin usaha tambang mangan di Kabupaten TTS, TTU, Lembata, Manggarai dan Manggarai Timur.

Tidak hanya Jatam, pihak Gereja setempat bahkan ikut mengadvokasi masyarakat untuk menolak izin-izin tersebut.

Alasannya, berdasarkan pengalaman usaha tambang di tempat lain, pertambangan selalu meninggalkan kerusakan lingkungan pasca tambang.

Baca: Ada 5 Alasan Mengapa Sosialisasi Tambang di Manggarai Barat Harus Ditolak

Kerusakan itu bukannya merugikan pengusaha tambang, melainkan masyarakat lokal yang ada di sekitar tambang.

Selain menerima dampak kerusakan seperti longsor dan banjir, masyarakat lokal banyak menderita penyakit akibat polusi zat kimia dari lokasi tambang.

Itulah sebabnya masyarakat NTT cenderung menolak usaha tambang di wilayahnya.

Masyarakat lebih menginginkan peningkatan kesejahteraan dengan intensifikasi bidang pertanian dan peternakan.

Kapan izin usaha pertambangan di NTT yang sudah telanjur diterbitkan?

Mudah-mudahan pencabutan segera dilakukan Menteri ESDM menyusul pencabutan izin usaha pertambangan di Pulau Bangka, Sulut.

Suasana sosialisasi konsultasi publik tambang emas yang akhirnya tidak bisa dilanjutkan, Jumat (31/3/2017) di Marshel Lodge Labuan Bajo.
Suasana sosialisasi konsultasi publik tambang emas yang akhirnya tidak bisa dilanjutkan, Jumat (31/3/2017) di Marshel Lodge Labuan Bajo. (pos kupang/servan mammilianus)

Ketika menggelar sosialisasi Amdal dan Konsultasi pasca rencana tambang emas di Labuanbajo, Jumat (31/3/2017), para aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat tegas menolak tambang berdasarkan lima alasan berikut.

Pertama, tambang merupakan potensi yang tidak tepat dikembangkan atau digali karena masih ada potensi lain di wilayah Manggarai Barat (Mabar), yang lebih tepat untuk dikembangkan.

Kedua, moratorium pertambangan yang dimulai tahun 2010 masih berlangsung sampai saat ini dan berlanjut sampai waktu yang tidak ditentukan.

Ketiga, Mabar sedang fokus kembangkan potensi pariwisata dan tambang tidak bisa disandingkan dengan pariwisata.

Apalagi daerah potensi tambang merupakan tempat diving dan snorkeling serta terdapat hotel di sekitarnya.

Keempat, sesuai dengan visi dan misi dari bupati dan wakil bupati Mabar, telah menegaskan untuk menolak tambang.

Kelima, selain pariwisata, wilayah Labuan Bajo dan Mabar umumnya lebih tepat dikembangkan pertanian, seperti tanaman atau pepohonan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Kelima hal itu ditegaskan oleh, Butje Helo, Marsel Agot, Feri Adu, Sil Deni, Ferdinand Hamin serta beberapa peserta lain.

"Kami sudah sembelih hewan, ayam dan babi untuk mengucapkan selamat tinggal tambang," kata Marsel Agot, saat itu. (jatam.com/pos-kupang.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved