Bila Anda Mampir Di Denpasar Bali, Selusuri Kampung Arabnya
Seorang laki-laki berpeci putih terlihat melayani pembeli kain di toko tekstil yang berada di jalan Sulawesi, Denpasar, Bali
POS KUPANG.COM, DENPASAR -- Seorang laki-laki berpeci putih terlihat melayani pembeli kain di toko tekstil yang berada di jalan Sulawesi, Denpasar, Bali, Minggu (26/2/2017).
"Jadi kain ini dua meter? sebentar saya potong," katanya kepada dua orang perempuan dengan logat khas Bali.
Kepada Kompas.com, lelaki yang akrab dipanggil Ahmad (48) tersebut mengaku sudah belasan tahun berjualan di daerah jalan Sulawesi dan meneruskan usaha tekstil milik ayahnya.
"Di sini banyak jemaah Arab. Bahkan mayoritas. Di sini dulu Kampung Arab dan sampai sekarang juga dikenal Kampung Arab, tapi jarang ada yang tinggal, ya rata-rata buat toko," jelasnya.
Hal senada diceritakan Said Bathaf (78), tokoh masyarakat keturunan Arab yang tinggal di Denpasar, Bali.
Menurut Said, warga keturunan Arab sudah puluhan tahun tinggal di Jalan Sulawesi serta Jalan Kalimantan, Denpasar, untuk berniaga sehingga wilayah tersebut dikenal dengan kawasan Kampung Arab.
Namun, sekitar tahun 1945-an, oleh Raja Pemecutan, kelompok warga yang kerap disebut jemaah Arab ini diberi tanah di daerah Sanglah dan sekitar Jalan Diponegoro untuk tempat tinggal karena masyarakat di Kampung Arab jumlahnya semakin banyak.
"Saat itu raja memperluas wilayah permukiman dan memberikan tanah untuk tempat tinggal jemaah Arab, sehingga wilayah Kampung Arab hanya untuk toko dan berbisnis. Namun sekarang masih ada yang tinggal di sana, tapi jumlahnya tidak sebanyak dulu," cerita Said.
Pemberian tanah oleh Raja Pemecutan, menurut Said, menunjukkan ada kerja sama yang baik serta kerukunan antara warga keturunan Arab dengan masyarakat Bali pada masa itu.
Namun, menurutnya, sebelum ada Kampung Arab, jemaah Arab sudah tinggal cukup lama di Bali, bahkan sejak ratusan tahun yang lalu. Pada saat perang kemerdekaan, banyak juga jemaah Arab yang ikut berperang melawan penjajah.
"Ada beberapa yang menjadi veteran," ungkapnya.
Sedangkan kakeknya, menurut Said, baru masuk wilayah Karangasem Bali pada tahun 1900-an dan sebelumnya tinggal di Jawa.
"Kakek saya asli kelahiran Hadramaut. Kalau saya kelahiran Karangasem dan menikah dengan orang Bali. Jadi ya sudah beranak pinak di sini. Pada tahun 1976 baru pindah di rumah yang sekarang di Denpasar. Kalau bapak saya jual kacamata dan sapi. Tapi itu dulu," katanya sambil tersenyum.
Saat ini, ada sekitar 40 marga jemaah arab yang tinggal di Pulau Bali, namun yang terbanyak berada di Denpasar.
"Dari 14 persen jumlah muslim di Bali, sekitar 2 persen adalah jemaah arab," ungkapnya.
Sebagian besar mereka berniaga dan berbisnis di bidang tekstil.
Bukan sekadar berniaga
Sementara itu, Fauzi bin Abdul Hamid (49), salah satu tokoh jemaah Arab di Bali menjelaskan, warga keturunan Arab bukan hanya sekadar berniaga di Pulau Bali, tetapi juga mengambil peran di dunia pendidikan.
Pada saat acara keluarga, biasanya mereka mengadakan arisan dan menggalang pengumpulan dana yang akan disumbangkan ke yayasan-yayasan pendidikan yang ada di Bali.
"Kami menyadari bahwa pendidikan itu penting sehingga selain berniaga, banyak juga jemaah Arab yang menjadi guru dan juga ulama," jelasnya.
Ia juga mencontohkan masjid Ukhuwah yang berada di jalan Kalimantan, Denpasar, juga dibangun oleh jemaah Arab dan juga warga keturunan India yang tinggal di sekitarnya.
Lelaki kelahiran Denpasar, 13 November 1968 ini mengaku sebagai generasi kelima yang tinggal di Bali dan menikah dengan perempuan asli Bali.
"Nama saya Fauzi bin Abdul Hamid bin Awad bin Syalim bin Hadi Basyutona. Yang terakhir itu nama buyut dari bapak saya yang lahir di Arab. Kalau saya sudah orang sini. Tidak ada bedanya, sama saja," ungkapnya.
Menurut Fauzi, kepedulian jemaah Arab terlihat saat penggalangan dana untuk sebuah yayasan pendikan di Bali. Seorang jemaah yang masih tinggal di Arab saat itu datang ke acara tersebut dan langsung memberikan bantuan uang tunai sebesar 50.000 Dolar AS.
Sedangkan tradisi Arab dari nenek moyang mereka masih tetap terjaga. Hal itu terlihat pada tradisi pernikahan atau saat ada yang meninggal. Selain itu, mereka juga sering berkumpul untuk saling bersilaturahmi.
"Saat kumpul ketika ada pernikahan ada juga makanan khas arab yang di sajikan seperti nasi briyani, roti mariam, kari. Semua masak sendiri, tidak ada yang beli," jelas Said.
Sayangnya, saat ini sudah tidak ada bangunan kuno khas jemaah Arab yang masih tersisa di Kampung Arab di Denpasar.
"Ciri khas rumah jemaah Arab itu ada kamar mandi di bagian depan rumah. Sekarang sudah jarang, bahkan mungkin sudah tidak ada. Semua bangunan sudah berganti modern," jelas Said. (Kompas.Com)