Mantan Pekerja Seks ini yang Dirikan Penampungan untuk Eks Pelacur
Usianya baru 22 tahun ketika Carmen Munoz menginjakkan kaki di Mexico City, Meksiko, puluhan tahun lalu.
POS KUPANG.COM -- Usianya baru 22 tahun ketika Carmen Munoz menginjakkan kaki di Mexico City, Meksiko, puluhan tahun lalu.
Dengan kondisi buta huruf dan mempunyai anak yang harus diberi makan, perempuan itu bermaksud mencari pekerjaan di kota itu.
Munoz mendengar, ada seorang pendeta di gereja Santa Teresa la Nueva yang bisa membantu mencarikannya pekerjaan.
Selama empat hari, ia menunggu sang pendeta dengan cemas.
Ketika akhirnya dia berhasil bertemu, pendeta itu tidak menolongnya, dan malah menyuruhnya pulang.
"Ia hanya mengatakan kepada saya bahwa ada berjuta pekerjaan, dan bisa mencarinya di kota ini," kenang Munoz.
"Saya menangis karena merasa terluka setelah mendengar perkataan pendeta itu."
Menjadi pelacur
Saat Munoz dalam keadaan terpukul, datanglah seorang perempuan dan menghiburnya.
"Ia berkata kepada saya, 'Laki-laki itu mengatakan, ia akan memberimu 1.000 peso (sekitar Rp 646.000) jika kamu mau pergi dengannya'," kenang Munoz lagi.
Awalnya Munoz menolak tawaran itu.
"Kamu lebih suka memberikan (dirimu) kepada suami yang bahkan tidak memberimu cukup uang untuk membeli sabun untuk mencuci, daripada memberikannya kepada orang lain yang akan menghidupi anak-anakmu?" ucap perempuan itu.
Munoz pun menyerah. Dengan perasaan putus asa, ia pergi dengan pria itu. Lelaki itu memberinya 1.000 peso seperti yang dijanjikan.
Hari berikutnya, rasa putus asa Munoz berubah menjadi perlawanan.
Ia kembali ke sudut yang sama di Plaza Loreto, dan mulai berpikir untuk dirinya dan anak-anaknya.
Plaza Loreto di Mexico City adalah lokasi tempat bangunan-bangunan bersejarah sejak abad ke-16.
Wilayah ini dikenal dengan nama Merced. Di sana terdapat 106 blok yang merupakan bagian dari situs warisan dunia UNESCO.
Selain bangunan-bangunan tertua di pusat kota, ada pula pusat komersial utama, dan kawasan pelacuran terbesar, lengkap dengan satu hotel kumuh di setiap blok.
"Mulai sekarang, anak-anak saya tidak akan kelaparan lagi," kata dia saat itu.
Selama 40 tahun, Munoz melakoni hidupnya sebagai seorang pekerja seks yang mangkal di sudut-sudut plasa dan jalan-jalan sekitarnya.
Sadar
Ketika ia semakin tua, pertanyaan pun muncul di benaknya. Apa yang terjadi dengan para pekerja seks saat mereka sudah berusia lanjut?
Pertanyaan itu semakin berkecamuk ketika suatu malam, ia melewati sebuah terpal kotor yang bergerak-gerak di tepi jalan.
"Saya menghampirinya dan menariknya ke atas, saya pikir ada anak-anak di bawahnya," kata Munoz.
Namun, yang ia temukan adalah tiga perempuan tua yang tengah berdempetan untuk bertahan dari udara dingin. Munoz mengenali mereka sebagai sesama pekerja seks.
"Ini menyakitkan, sebagai manusia, sakit rasanya melihat mereka seperti itu," kata Munoz.
Ia lalu menolong para perempuan itu, membelikannya kopi, dan mencarikan kamar di sebuah hotel murah.
Hal itu membuatnya tersadar. Seiring dengan bertambahnya usia, pesona para perempuan itu pun memudar. Banyak dari mereka yang akhirnya jatuh miskin.
Keluarga mereka tidak menerimanya sehingga mereka tidak punya tempat untuk pulang.
Selama 13 tahun berikutnya, Munoz melobi pemerintah kota untuk menyediakan penampungan bagi para pekerja seks lanjut usia dan para tunawisma.
Dengan dukungan dari beberapa artis terkenal, tetangga dari Merced, dan rekannya sesama pekerja seks, ia akhirnya berhasil.
Pemerintah kota memberi sebuah gedung tua dan besar dari abad ke-18 yang letaknya hanya beberapa blok dari Plaza Loreto.
"Ini adalah pengalaman yang luar biasa," kata Munoz.
Mereka menamakan tempat penampungan itu Casa Xochiquetzal, yang diambil dari nama dewi Aztec, yang merupakan dewi kecantikan dan lambang kekuatan seksual.
Selain mengajarkan keterampilan baru kepada para perempuan lanjut usia itu, Casa Xochiquetzal juga menjadi tempat untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.
Di sana para mantan pekerja seks itu menjalani kursus kepercayaan diri, pengecekan kesehatan, dan konseling.
Aguilar adalah salah satu penghuni di tempat itu. Puluhan tahun lalu, dia adalah seorang pekerja seks serabutan karena harus menyekolahkan ketiga anaknya.
Namun, ketika salah seorang putrinya meninggal karena leukemia, ia mengalami depresi berat.
Dia tidak bisa bekerja dan diusir dari rumah kontrakannya karena tidak mampu membayar sewa.
Pada saat itu, panti Casa Xochiquetzal menyelamatkannya, dan kini ia mempunyai penghasilan dengan menjual perhiasan di pasar terdekat.
"Panti ini telah mengajarkan saya bahwa hidup saya sangat berharga, bahwa saya bermartabat seperti halnya perempuan lain," kata dia.
"Sekarang saya mengatakan bahwa seorang perempuan bisa kehilangan kehormatannya, tetapi tidak dengan martabatnya."
Satu-satunya kesedihan dia adalah anak-anaknya tidak mau lagi berbicara dengannya.
Saat ini, ada 25 perempuan lanjut usia atau tunawisma lainnya yang tinggal di Casa Xochiquetzal. Usia mereka antara 55 tahun sampai pertengahan 80-an tahun.
Meskipun banyak yang sudah pensiun, beberapa di antara mereka masih bekerja di jalanan.
Selama 11 tahun terakhir, lebih dari 250 pekerja seks diberikan tempat tinggal di tempat tersebut.
"Kami layak mendapatkan tempat untuk kita menghabiskan hari-hari terakhir kehidupan kita dengan martabat dan ketenangan," kata Munoz. (BBC Indonesia/Kompas.com)