Ekonomi Politik dan Pembangunan Eks Pengungsi Timor Timur

Pergolakan warga eks pengungsi adalah persoalan ekonomi politik, yang proses penanganannya tanpa melacak historisitas migrasi warga ke Timor Barat

Editor: Agustinus Sape

Oleh: Didimus Dedi Dhosa
Dosen Fisip Unwira

SEJAK 17 tahun silam tatkala eks pengungsi Timor Timur menetap di kawasan Timor Barat pasca jajak pendapat 1999, persoalan sosial yang menimpa pengungsi tidak pernah diselesaikan hingga tuntas. Model pendekatan cenderung didominasi paradigma keamanan, kebijakan top down, serta teknis-prosedural. Tulisan ini bertujuan untuk menolak model-model pendekatan tersebut, sambil berargumen bahwa pergolakan warga eks pengungsi adalah persoalan ekonomi politik, yang proses penanganannya tanpa melacak historisitas migrasi warga ke Timor Barat, pengabaian terhadap proses sosial, serta menjadikan pengungsi sebagai komoditas.

Peta Persebaran Pengungsi
Merujuk pada laporan aktivis CIS Timor, Olyvianus Dadi Lado (2016), persoalan pengungsi harus dipahami dalam konteks peta persebaran pengungsi. Pasca jajak pendapat 1999, warga Timor Timur yang bermigrasi berasal dari tiga sektor, yakni sektor Timur, sektor Tengah, dan sektor Barat. Pada satu sisi, warga sektor Timur dan Tengah dievakuasi melalui jalur transportasi laut dan jalur udara. Kelompok warga ini berlabuh di pelabuhan laut Kupang dan mendarat di Bandara El Tari Kupang. Akses terhadap kamp-kamp pengungsi dipilih pada areal yang jaraknya relatif dekat dengan tujuan akhir evakuasi ini, yakni Kabupaten Kupang dan sekitarnya. Pada sisi lain, pengungsi dari sektor Barat bermigrasi menggunakan jalur darat melalui kendaraan, dan menetap di Kabupaten Belu dan Malaka, dua wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Timur.

Selain itu, terdapat empat kelompok pengungsi antara lain, kelompok milisi yang didukung TNI beserta keluarga dan pendukungnya, pegawai negeri sipil baik orang asli Timor Timur maupun orang luar, masyarakat asli Timor Timur yang dipaksa mengungsi oleh militer dan milisi, dan orang-orang yang secara sukarela memilih untuk mengungsi keluar dari Timor Timur.

Peta persebaran pengungsi dan komposisi kelompok pengungsi yang variatif menyebabkan proses penyerahan dan pengalihan status kepemilikan lahan tampak rumit. Eks pengungsi yang tinggal di kawasan Belu dan sekitarnya relatif mudah mendapatkan tanah, untuk kemudian dibangun hunian tetap sebagai hak milik pribadi. Hal demikian berbanding terbalik dengan kawasan Kabupaten Kupang, yang agak rumit proses pengalihan kepemilikan tanah bagi eks pengungsi.

Perbedaan kultur dan bahasa barangkali menjadi salah satu faktor yang menyulitkan pengalihan lahan. Sebaliknya, kesamaan kultur dan bahasa memudahkan proses penyelesaian konflik tanah. Warga Timor Timur sektor Barat memiliki kesamaan kultur dan bahasa dengan masyarakat Belu. Bahkan, di antara kedua kelompok warga tersebut, masih memiliki satu rumah adat jauh sebelum kolonialisme memporak-porandakan ikatan komunalisme di Timor. Warga Timor Timur sektor Timur dan tengah memiliki budaya yang relatif berbeda dengan masyarakat lokal di Kabupaten Kupang dan sekitarnya, yang berdampak pada rumitnya negosiasi lahan (Lado, 2016).

Kegagalan pemerintah mengusahakan lahan bagi eks pengungsi justru membawa malapetaka baru bagi pengungsi karena mereka masih tetap tinggal di kamp-kamp di atas lahan milik pemerintah, lahan milik TNI AD, dan tanah milik warga lokal. Dalam perspektif ekonomi politik, ketiadaan akses terhadap tanah berhubungan erat dengan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Konteks inilah yang memungkinkan mereka tetap bergelut dalam kubangan kemiskinan akut.

Pengabaian Proses Sosial
Kegagalan memetakan persebaran pengungsi diperparah oleh kebijakan negara yang top-down. Yang terpatri dalam kacamata Kementerian Perumahan Rakyat adalah masalah pengungsi bisa diselesaikan dari pusat. Karena itu, metode penyelesaian yang dipakai adalah mengalokasikan dana untuk membangun kamp-kamp serta bantuan-bantuan kemanusiaan. Tapi, beberapa sumber menyebutkan, kualitas rumah hunian sangat rendah, sebab rumah dibangun dengan anggaran yang telah dipangkas oleh elite-elite di tingkat lokal. Lebih dari itu, militer pun terlibat selama proses pembangunan hunian warga pengungsi. Pendekatan militer dalam banyak hal terkesan tidak kompromistis (Lado, 2016).

Manakala masalah struktur kepemilikan tanah belum tuntas diselesaikan, kebijakan United Nations High Comission for Refugees (UNHCR) serta kebijakan pemerintah pusat malah kian memiskinkan pengungsi. Sepanjang 1999 hingga 2002, UNHCR memfasilitasi repatriasi warga kembali ke tanah asal. Bahkan pada akhir 2002, UNHCR mengeluarkan pernyataan penghentian status sebagai pengungsi bagi warga Timor Timur di Timor Barat. Sejak 1 Januari 2002 pemerintah Indonesia menghentikan pemberian bantuan bagi pengungsi. Dua lembaga ini melihat seolah-olah persoalan sosial pengungsi berakhir seiring tercabutnya status pengungsi dan terhentinya bantuan. Pihak kementerian lupa dan tidak memedulikan ketimpangan struktur kepemilikan lahan di Timor Barat yang menjadi cikal bakal kemiskinan dan ketimpangan sosial bagi eks pengungsi.

Bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat pun berorientasi teknis-prosedural. Sebab, dana yang telah dialokasikan tersebut dibatasi oleh alokasi waktu. Di saat durasi waktu serapan dana berakhir, sementara dana tersebut belum terserap pada program-program bagi para pengungsi, maka dana tersebut dikembalikan ke pusat. Hal seperti inilah yang memberi ruang bagi pengabaian terhadap proses sosial kemasyarakatan. Padahal, proses sosial untuk mendapatkan lahan warga yang kemudian disumbangkan bagi eks pengungsi Timor Timur membutuhkan waktu yang lama, berbelit-belit dan melibatkan banyak aktor. Pengabaian proses sosial membuat eks pengungsi terpaksa tetap bertahan di kamp-kamp pengungsian di atas lahan yang bukan miliknya.

Pengungsi sebagai Komoditas
Saban hari pengungsi merupakan korban dari sebuah pembangunan ekonomi politik. Eks pengungsi cenderung dijadikan proyek oleh pemerintah dan elite swasta agar mereka memperoleh akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik, khususnya tanah. Namun, ketika tanah telah diserahkan oleh suku-suku, tanah tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi. Di Belu, misalnya, terdapat tanah seluas 54 hektar diusahakan sendiri oleh eks pengungsi, melalui pendekatan dan negosiasi dengan penduduk lokal. Dari total luas lahan ini, 12 hektar telah didirikan hunian bagi eks pengungsi, dan sisanya sebesar 42 hektar diklaim sebagai milik pribadi Armindo Mariano Soares, tokoh politik asal Timor Timur yang menjadi anggota DPRD Provinsi NTT tahun 2009-2014 (Fahik, 2015).

Di saat eksistensi eks pengungsi dijadikan proyek, maka yang mendapat profit dari proyek tersebut adalah para elite pemerintah dan sejumlah LSM. Bantuan kemanusiaan lantas menyejahterakan sejumlah pejabat di daerah sambil memiskinkan mayoritas pengungsi.

Sementara itu, eks pengungsi yang berusaha keluar dari kemiskinan, menggunakan kerja-kerja serabutan, untuk sekedar bertahan hidup. Sebagian warga memilih menjadi buruh bangunan, penjual garam, dan buruh tani. Apa pun pekerjaan mereka, mereka masih dikategorikan sebagai pekerja rentan dalam alam pasar bebas.

Untuk keluar dari kemelut sosial yang menimpa eks pengungsi Timor Timur [meski istilah ini telah bergeser menjadi warga baru], model pendekatan keamanan, kebijakan top-down, serta menjadikan pengungsi sebagai komoditas harus diganti dengan model pendekatan lain yang melacak basis historis penyebaran pengungsi, melibatkan proses-proses sosial dalam memperjuangkan hak kepemilikan lahan, serta menangkal pengungsi sebagai komoditas.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved