DPD Bisa Dilebur ke Dalam DPR

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menilai keterwakilan masyarakat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Editor: Rosalina Woso
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Petugas keamanan mencegah salah satu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang hendak maju ke meja pimpinan DPD untuk melakukan interupsi dalam Sidang Paripurna DPD di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (11/4). Kericuhan itu terkait agenda tambahan sidang paripurna berupa pembacaan surat dari sejumlah anggota DPD. 

POS KUPANG.COM, JAKARTA -- Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menilai keterwakilan masyarakat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) perlu dikaji kembali. Sebab, peran DPD hingga saat ini belum optimal.

Keberadaannya tetap diperlukan sebagai perwakilan daerah, sesuai konstitusi yang diatur dalam Pasal 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

"Kalau DPD dipertahankan, selama ini DPD tidak bisa menjalankan fungsi sebagaimana DPR dalam memutuskan undang-undang atau kebijakan nasional," ujar Direktur SPD, August Mellaz, dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (18/9/2016).

Sebagai alternatif atas kondisi itu, August berpendapat DPD bisa saja dileburkan ke dalam DPR.

"Kalau misalnya sebagai alternatif tanpa membubarkan DPD yang empat kursi per setiap provinsi tanpa memperhatikan populasi, masuk saja jadi DPR, jadi DPR-nya nambah," kata dia.

Jika menerapkan langkah alternatif ini, lanjut August, maka konsekuensinya adalah bertambahnya jumlah anggota DPR.

Kemudian, guna menjawab problem-problem keterwakilan daerah, kata dia, maka alokasi kursi DPR harus diatur ulang berdasarkan prinsip yang setara dan proporsional. Hal itu agar keterwakilan daerah tidak hilang.

Alternatif lainnya, kata August, yakni menambah kewenangan DPD dengan mengoptimalkan fungsinya sebagai pintu kedua penyusunan UU atau kebijakan yang sifatnya nasional.

Namun, hal itu membutuhkan amandemen UUD 1945. Langkah ini, merupakan langkah yang panjang.

"Jadi harus amandemen UU, kalau urusannya teknis karena di UU pemilu, gampang itu. Ini urusannya konstrain (akar masalah) yang memang tinggi itu (di UUD), sebagai alternatif, ya harus segera dilakukan, wacana itu bisa didesign ke sana jika pemahamannya (Pemerintah dan DPR) sama, tinggal suatu saat kapan dilakukan," ujarnya. (Kompas.Com)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved