LIPSUS
Kapal Pengawas Napoleon 024 Rusak
Tim Satker Pengawasan Sumber Daya (PSD) Kelautan dan Perikanan Kupang (DKP) Provinsi NTT, rutin melakukan pengawasan di Perairan NTT.
Penulis: omdsmy_novemy_leo | Editor: omdsmy_novemy_leo
Laporan Wartawan Pos-Kupang.com, Novemy Leo
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Kepala Satker Pengawasan Sumber Daya (PSD) Kelautan dan Perikanan Kupang (DKP) Provinsi NTT, Robertus Eddy Surya, S.Pi MP mengaku rutin melakukan operasi penertiban di laut.
Kegiatan itu melibatkan sejumlah pihak terkait seperti DKP NTT, Badan Keamanan Laut Provinsi NTT, Pol Airut dan Lantamal VII Kupang dengan menggunakan kapal pengawas Napoleon 024 milik DKP NTT.
Biasanya operasi dilakukan empat kali setahun baik secara bersama maupun mandiri. Operasi dilakukan di daerah rawan tindak pidana perikanan (TPP).
"Namun kapal Napoleon 024 beberapa bulan terakhir ini rusak. Semoga bisa segera diperbaiki agar kegiatan operasi penertiban bisa kembali dilakukan," kata Eddy, akhir Juni lalu.
Menurut Eddy, pihaknya sudah meminta kapal pengawas baru ke UPT Pangkalan Pengawas SDKP Jakarta. "Semoga usul diterima agar NTT bisa memiliki kapal pengawas yang lebih layak sehingga bisa melakukan operasi penertiban hingga ke Sumba," kata Eddy.
Menurut Eddy, TPP yang terjadi di NTT antara lain bom ikan, penggunaan bahan kimia berbahaya, kapal-kapal yang tidak laik operasi juga penertiban rumpon tak berizin. Bom ikan biasa terjadi di Kabupaten Rote Ndao, Sabu Raijua, TTU, Belu, Larantuka, Ende, SBD, Sumba Barat, Manggarai Barat dan Alor.
"Setidaknya dari tahun 2015-2016 ada sekitar 10 kali laporan masyarakat. Namun belum bisa ditindaklanjuti karena barang buktinya tak ada dan sarana prasarana juga belum memadai," kata Eddy.
Apalagi para pelaku memiliki sarana yang baik, termasuk memiliki senjata. Jika petugas melakukan penertiban dengan tangan kosong hal ini tentu membahayakan nyawa petugas.
Ke depan pihaknya akan membangun koordinasi yang lebih baik. "Kami ada rencana membuat call center. Juga mengaktifkan kembali forum koordinasi penegakan hukum di bidang DKP yang selama ini belum berjalan maksimal," aku Eddy.
Menurut informasi dari masyarakat, demikian Eddy, rumpon yang dipasang di perairan NTT bagian selatan itu antara lain di Kolbano, selatan Rote Ndao, perairan selatan Sabu Raijua dan selatan Sumba.
"Prediksi ada 500-an rumpon ilegal di selatan NTT karena di wilayah itu minim pengawasan. Rumpon itu diduga milik nelayan dari Bali, NTB, Jawa Timur khususnya Probolinggo dan sejumlah nelayan lokal," katanya.
Untuk perairan Kolbano di Pulau Timor bagian selatan, Eddy mengaku sulit menertibkan karena biasanya pelaku lari ke wilayah Timor Leste.
"Kami tidak bisa kejar sampai ke perairan Timor Leste karena hingga saat ini belum ada MoU antara Indonesia (NTT) dengan Negara Timor Leste," jelasnya.
Eddy menambahkan, akhir Juni 2016 lalu, dilakukan operasi penertiban di laut oleh kapal ORCA 04 yang melibatkan tim terpadu. Operasi itu berhasil memusnahkan empat rumpon ilegal milik nelayan luar NTT.
Mengenai penggunaan alat tangkap ramah lingkungan oleh nelayan di rumpon, kata Eddy, selama ini nelayan NTT menggunakan tangkap yang sederhana.
Misalnya pancing tonda, pacing ulur, rawe dasar, pole and line yang menggunakan mata kail. Namun, nelayan luar NTT yang punya kapal besar, sering kali menggunakan alat tangkap purse seine (pukat cincin). (vel)