LIPSUS
Segera Sahkan RUU PKS
Para aktivis perempuan, LSM, akademisi dan unsur pemerintah daerah NTT berharap agar Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)
Penulis: omdsmy_novemy_leo | Editor: omdsmy_novemy_leo
Laporan Wartawan Pos-Kupang.com, Novemy Leo
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Para aktivis perempuan, LSM, akademisi dan unsur pemerintah daerah NTT berharap agar Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sudah masuk Proleknas sejak tahun 2015 segera dibahas dan tiga bulan mendatang disahkan menjadi UU.
Direktris Rumah Perempuan, Liby Sinlaloe mengatakan, isu kekerasan seksual makin hangat sejak munculnya kasus Yuyun yang diperkosa oleh 14 pemuda di Bengkulu pekan lalu. Kasus kekerasan seksual di Kota Kupang tidak sedikit.
Data Rumah Perempuan ada 567 kasus, di antaranya 466 korban adalah anak-anak dan hanya 61 kasus yang korbannya orang dewasa.
"Maraknya kasus perkosaan yang terjadi akhir-akhir ini sungguh memrihatinkan. Kebanyakan pelakunya adalah orang terdekat, rumah yang dulu adalah tempat tinggal yang aman kini menjadi tempat yang tidak aman lagi bagi anak-anak. Karenanya perlu didorong pembentukan UU PKS secepatnya," kata Liby.
Tim ahli RUU dari DPD, Emma Mukarromah berharap agar RUU PKS yang akan dijadikan UU itu benar-benar bisa melayani hak korban dan juga pelaku.
Sementara drg. Iin Indrayati mengusulkan agar ditetapkan definisi baku soal kekerasan seksual. Pelaku juga hendaknya dihukum seberat-beratnya dan korban mendapat pemulihan psikologis.
"Dalam beberapa kasus, sebenarnya pelaku juga bisa menjadi korban karena mungkin ada kelainan jiwa, punya libido yang tidak normal. Jika pelaku yang punya kelainan itu, maka perlu perawatan," kata Indrayati. Ia juga berharap perlu sosialisasi tentang produk perundangan dan peningkatan koordinasi lintas sektor.
Peserta lainnya, Stefanus menyarankan agar dalam pembahasan RUU PKS didalami kekerasan seksual dalam rumah tangga. Wati Wabang berharap pemerintah dan DPR memikirkan penyelesaian alternatif kasus kekerasan seksual, seperti ganti rugi bagi korban.
"Karena dalam teori, ganti rugi sudah diatur, namun dalam praktek selama ini eksekusinya tidak berjalan. Harus ada jenjang waktu juga untuk eksekusi ganti rugi," tegas Wati dibenarkan Heny Markus dari P2TP2A.
Wati pun berharap adanya mekanisme komplain yang ditempuh korban dan saksi ketika mengalami problem saat menempuh proses hukum. "Jika ada hal tidak diinginkan, mereka para korban dan saksi atau pelaku, harus komplain ke mana? Harus dibahas juga mengenai visum psikiatrum bagi korban," usul Wati.
Direktris LBH APIK NTT, Ansi D Rihi Dara, S.H mengatakan, pembahasan hingga pengesahan RUU PKS ini merupakan momentum untuk memperbaiki semua proses regulasi yang selama ini menggunakan pemahaman laki-laki lalu ditarik dalam bahasa pemahamaman perempuan.
"Ketidakmampuan membahasakan menjadi problem dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Karena itu, butuh pemahaman yang sama tentang konsep kekerasan seksual," kata Ansi.
Ia berharap dalam RRU PKS itu kasus ingkar janji menikah (IJM) yang selama ini tidak diakomodir KUHP dan UU lainnya, hendaknya dibahas dan masuk menjadi salah satu pasal dalam UU PKS sehingga para pelaku IJM dijerat hukum.
Pengacara praktek, Fridom Raja menyarankan perlu adaa tim khusus untuk membahas RUU PKS, mengingat banyak hal yang harus diakomodir dalam RUU PKS, dan ada saksi berat bagi pelaku yang merupakan keluarga dekat korban.
Kepala Dinas Sosial Kota Kupang, dr. Joice Kansil, mengusulkan tambahan pekerja sosial untuk membantu upaya pencegahan tindak kekerasan seksual.
Prof. Dr. Mien Ratoe Oedjoe dari Universitas Nusa Cendana Kupang berharap ada kajian kembali mengenai golongan usia anak-anak.
Apakah kategori anak-anak itu usianya hingga 18 tahun atau hanya sampai 15 tahun. (vel)