LIPSUS

Benahi Sistem Pendidikan

Sejak beberapa tahun terakhir, ada dua kurikulum yang berlaku di negeri ini, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dan Kurikulum 2013

Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: omdsmy_novemy_leo
zoom-inlihat foto Benahi Sistem Pendidikan
PK/IRA
Feliks Tans

NEWS ANALYSIS
Feliks Tans (Guru Besar FKIP Undana Kupang)

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Sejak beberapa tahun terakhir, ada dua kurikulum yang berlaku di negeri ini, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dan Kurikulum 2013 (K-13).

Dilihat sepintas, keduanya tampak berbeda, namun bila dikaji lebih mendalam, secara substansial keduanya sama.

Menurut saya, baik KTSP maupun K-13 bertujuan menumbuhkembangkan dalam diri siswa sikap (spiritual, individual, dan sosial), pengetahuan dan keterampilan yang memadai yang sesuai dengan perkembangan diri peserta didik mulai dari kelas I SD sampai kelas III SMA/SMK atau kelas XII.

Untuk mencapai tujuan tersebut, disusunlah sejumlah standar kompetensi (KTSP) atau kompetensi inti (K-2013) dengan kompetensi dasar (KD) masing-masing mata pelajaran/tema yang akan digapai para murid melalui sejumlah materi yang diajarkan para guru dengan menggunakan model pembelajaran, media dan penilaian tertentu.

Mata pelajaran itulah yang dipelajari murid. Ini saya kira, berlaku universal. Artinya, apapun kurikulumnya, materi pelajaran harus selalu sesuai dengan tingkat pertumbuhan murid. Karena itu, misalnya, materi ajar dan belajar kelas I SD berbeda dengan kelas II, kelas II berbeda dengan kelas III dan seterusnya.

Dalam pentahapan itu, kehadiran guru dengan kompetensi profesional, pedagogis, sosial dan individual yang memadai sangat dibutuhkan. Ini suatu keharusan pada setiap level pendidikan dan apapun kurikulumnya.

Kompetensi guru tersebut harus terlihat, antara lain, dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang berpusat pada potensi siswa (KTSP) dengan model pembelajaran yang berbasis masalah dan berbasis tugas/proyek.

Serta discovery learning (siswa berusaha sendiri untuk menemukan jawaban atas persoalan yang dihadapinya). Bagi saya, model pembelajaran tersebut wajib hukumnya dalam K-13 yang sifatnya eksplisit.

Sedangkan dalam KTSP, model tersebut, sejatinya, juga diterapkan terutama oleh guru yang kreatif karena sesuai prinsip KTSP. Beberapa prinsip KTSP sebagai berikut, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan serta kepentingan peserta didik dan lingkungannya.

Dan juga beragam serta terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, relevan dengan kebutuhan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan. Hal lain yang masih berkaitan dengan itu antara lain, belajar sepanjang hayat dan keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

(Hal ini tertuang dalam Penyusunan Program Pengawasan Sekolah Direktorat Tenaga Kependidikan, Dirjen Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008, halaman 15).

Karena itu, menurut saya yang menjadi persoalan, bukan KTSP atau K-13, tetapi pada sistem pendidikan yang salah yang berakibat, antara lain, pada penerapan kedua kurikulum itu atau sesungguhnya, kurikulum apapun, yang tidak efektif di sekolah dengan dua alasan berikut.

Pertama, pemerintah pusat dan daerah, belum taat pada azas dengan prinsip pembelajaran yang berpusat pada potensi, bakat dan talenta murid.

Ketidaktaatan pada azas itu terlihat, misalnya, pada murid yang belajar begitu banyak mata pelajaran sehingga mereka kehilangan fokus. Saya melihat yang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia, termasuk di NTT justru pembelajaran berbagai mata pelajaran yang ada membuat para murid kecewa karena mereka diharuskan menguasai semua mata pelajaran tersebut pada saat mereka hanya tertarik pada satu atau dua mata pelajaran sesuai potensinya. Tidak heran kalau mereka gagal.

Kedua, sistem pendidikan yang mengharuskan murid belajar semua dan harus bisa semua, seperti yang diuraikan di atas, menyulitkan seorang guru dalam mengajar.

Dia mau tidak mau berhadapan dengan murid yang pasif dalam belajar bukan karena mereka malas, tetapi karena mereka belajar hal-hal yang tidak sesuai dengan potensinya.

Itu, kurang lebih, sama seperti mengharuskan Pep Gurdiola, seorang pelatih bolakaki top dunia, menjuarai piala dunia antara klub bolakaki yang pemainnya tidak punya bakat bermain bolakaki sama sekali. Dalam konteks itu, pelatih maha hebatpun akan gagal. Itu, saya kira, yang terjadi dalam dunia pendidikan kita.

Untuk mencegah kegagalan tersebut, saya sarankan beberapa hal berikut. Pertama, sistem pendidikan dibenahi. Murid boleh belajar banyak hal tetapi fokus hanya pada mata pelajaran yang sesuai dengan potensinya.

Kedua, ketentuan pemerintah pusat bahwa ujian nasional (UN) tidak lagi menentukan kelulusan harus disambut para guru dan kepala sekolah sebagai kesempatan emas untuk menentukan kelulusan murid hanya berdasarkan potensi murid dan, tentu, karakternya.

Artinya, kalau seorang murid yang kecerdasan matematikanya lemah dan itu tergambar, misalnya, pada hasil UN matematika dengan nilai, misalnya, nol atau satu dari rentangan 1-100, dia harus lulus kalau gurunya melihat bahwa dia, misalnya, berbakat musik yang luar biasa yang secara potensial membuatnya menjadi seorang musisi dunia bila, pada saatnya nanti, dia mampu mengaktualisasikannya.

Ketiga, dalam kaitan dengan hal tersebut, pemangku kepentingan pendidikan harus juga menyesuaikan diri dalam terang kecerdasan ganda yang disinggung di atas.

Oleh karena itu, jurusan musik di sebuah perguruan tinggi, misalnya, harus menerima seorang calon mahasiswa yang punya kecerdasan musik potensial yang besar pada jurusannya, walaupun, misalnya, hasil UN matematikanya atau mata pelajaran lainnya jelek.

Jika itu dilakukan, saya yakin, mutu pendidikan kita akan membaik, para tamatan lembaga pendidikan akan mampu mandiri. Tidak menganggur. (yel)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved