Melintasi Trans Selatan Pulau Timor
Terima Kasih Warga Sahan
Sebelumnya Pak Stef Bria Seran, bupati terpilih Kabupaten Malaka dan Bung Bernando Seran memberikan kami "kompas."
POS KUPANG.COM - MOBIL Ertiga yang kami tumpangi meninggalkan Besikama, Malaka, Selasa (16/12/2015) pukul 17.30 Wita. Mentari perlahan tenggelam di balik cakrawala ketika kami tiba di Desa Weoe, perbatasan Kabupaten Malaka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Dalam hitungan menit kami memasuki Desa Skinu di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Sebagai "muka baru" tentu saja tak luput dari pertanyaan ke mana kami harus berjalan. Biar cukup sampai di Kolbano, tepi pantai yang eksotik di TTS itu. Kalau sudah tiba di pantai dengan hiasan batu berwarna ini hati akan menjadi tenang. Perasaan tak galau lagi.
Sebelumnya Pak Stef Bria Seran, bupati terpilih Kabupaten Malaka dan Bung Bernando Seran memberikan kami "kompas."
Gambaran perjalanan cukup konkrit dari Bung Bernando, mantan wartawan Pos Kupang ini.
Misalnya, ketika meninggalkan Desa Weoe, belok ke arah kiri. Pokoknya dia bilang selalu ke arah kiri atau arah selatan. Jangan ambil jalan tengah atau ke utara. "Nanti kamu tersesat," kata Bernando ketika kami rehat di kediamannya di Besikama.
Juga beberapa jalan yang rusak atau tikungan yang terjal selalu ia ingatkan untuk berhati-hati.
Pak Stef Bria Seran mengatakan, bila mengalami kesulitan segera kontak. Begitu kata beliau saat pamit di kediamannya Desa Haitimuk. Sedangkan Bung Bernando Seran selalu memantau perjalanan kami melalui handphone. Doktor hukum internasional jebolan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, ini selalu menuntun kami selama perjalanan terutama melewati ruas jalan yang belum beraspal dan tikungan terjal tadi.
Pertanyaan dia apakah kami sudah melewati tanjakan terjal itu? Saya menjawab seadanya dan sekenanya saja bahwa kami sudah atau sedang melewati karena begitu banyak ruas jalan pendakian dan penurunan yang terjal. Yang dia maksud tanjakan terjal yang mana, saya tak tahu.
Mengapa kami berempat, yakni Ibu Marina Napitupulu (Wakil Pemimpin Perusahaan PT Timor Media Grafika), Ibu Mariana Dohu (Manajer Iklan), Pak Hans Pah (Manajer Sirkulasi) dan saya memilih mengikuti "jalan pintas" ini karena dikabarkan jarak tempuh hanya sekitar 3,5 jam akan sampai di Batu Putih atau Jembatan Noelmina dibanding dari Malaka melewati wilayah Belu dan TTU yang memakan waktu yang relatif lebih lama dan berputar-putar.
Bagi kami berempat, tawaran itu sebagai tantangan luar biasa. Saya sudah membayangkan akan mengalami kesulitan ketika melewatinya karena saya cukup punya gambaran ketika dulu bertugas di Kabupaten TTS. Tapi, karena ketekatan dan sebagai uji nyali itu kami sepakat menyusur ruas jalan yang masih banyak off the road itu.
Daerah Rawan
Saya menyadari bahwa perjalanan ini penuh dengan tantangan bahkan berisiko. Pertama, karena ruas jalan itu belum kami kuasai. Kedua, waktu yang kami pilih kurang pas atau kurang beruntung karena jelang malam hari.
Padahal jika siang hari kami akan menyaksikan panorama alam nan indah sejauh mata memandang atau keindahan itu dapat kami temui sepanjang perjalanan ini. Mobil akan meliuk-liuk di bawah bukit di tepi pantai itu ditemani sepoi laut yang manja.
Atau mendengarkan "nyanyian" cemara yang berdiri kokoh di sepanjang perbukitan savana itu. Tubuh akan lebih segar dan mata akan dimanja dengan panorama laut biru selatan Pulau Timor. Konon, dalam situasi tertentu kita bisa menyaksikan samar-samar Benua Kanguru di kaki langit sana.
Tetapi, keinginan menyaksikan panorama selatan Timor itu tak satu pun kami rasakan karena hari sudah malam. Yang ada adalah sedikit rasa galau. Rasa khawatir. Saya menyadari bahwa wilayah yang kami lewati itu rawan Kamtibmas. Wilayah itu menjadi sarang pencurian dan perampokan para teku. Teku adalah kawanan perampok kampung sadis yang kerap beroperasi di wilayah itu.
Tetapi, saya tak menceritakan kondisi ini. Ketika melewati Desa Sahan barulah saya berkisah. Itu karena saya merasa sedikit aman. Yang membuat hati sedikit tenang karena selama perjalanan itu banyak buruh yang mengerjakan proyek. Mereka membangun tenda sepanjang jalan itu.
Sedikitnya empat atau lima jembatan sepanjang jembatan Noelmina yang kami lewati. Tentu saja nilai proyek ini miliaran rupiah. Kesimpulannya pemerintah memberi perhatian tak kecil untuk trans selatan ini.
Mobil Terseok-seok
Mobil mulai "terseok-seok" karena "lumpur debu." Tapi, Bung Hans yang sudah berpengalaman itu mampu mengendalikan dengan baik. Ada sekitar 12 atau 13 kilometer jalan yang belum diaspal lepas Boking yang digadang-gadang sebagai Ibukota Kabupaten Amanatun sampai ke Desa Sahan. Dari Sahan sampai ke Batu Putih jalan hotmix.
Tanjakan yang sungguh membahayakan ketika mobil yang kami tumpangi meninggalkan Desa Sahan. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari kampung itu. Tanjakan itu sekitar 80 derajat sejauh kira-kira 40 meter. Dari kaki tanjakan, driver Hans sudah tendes gas dan berlari cikar ke kiri dan kanan karena "lumpur debu" yang tebal.
Ketika mencapai puncak tanjakan tersisa sekitar 10 meter, mobil kandas. Kami turun dari mobil dan tersisa Bung Hans. Semua cara ia lakukan termasuk mengganjal mobil ini agar jangan terpeleset. Saya pun membantu mengganjal mobil itu.
Waktu menunjukkan pukul 21.00 Wita. Malam yang gulita di bawah gemunung bukit Sahan. Rasanya tak aman. "Kita pulang saja ke Sahan untuk minta truk menarik mobil ini," kata Hans yang tampak tenang memberi motivasi kepada kami bertiga.
Benar, puluhan warga Sahan dan para tukang di bawah pimpinan Bung Erwin Banunaek membantu kami. Bung Erwin mengambil alih kendali mobil meski Bung Hans Pah sedikit keberatan mengover kemudi mobil. Hans enggan memberikan karena dalam mobil itu ada Mbak Ina Napitupulu, pimpinan kami dan Ibu Mery. Kekhawatiran Hans jangan sampai mobil menjadi apalah begitu. Tapi, Erwin mengatakan mobil bisa naik tanjakan.
Truk yang kami bawa dari Desa Sahan hanya stand by. Warga dan para buruh jalan membantu dengan mendorong mobil Ertiga. Dengan pelan tapi pasti mobil Ertiga mencapai puncak bukit itu. Karena masih beberapa tanjakan serupa meski sudah hotmix, Bung Erwin dan warga Desa Sahan menggunakan truk menemani kami hingga ke dataran di balik bebukitan.
Hanya kata terima kasih kami sampaikan kepada Bung Erwin dan warga Desa Sahan. Tanpa mereka kami tak mungkin melewati medan teramat berat itu. Tak mungkin pula kami kembali ke Malaka karena penuh dengan perhitungan. Atau paling jelek kami bermalam di Sahan menunggu pagi.
Pun rasa syukur kepada Dia yang telah melindungi perjalanan kami hingga tiba di Kupang pukul 2.00 dinihari. Ternyata ekspektasi kami tak kesampaian. Rencana tiga setengah jam tiba di cabang Batu Putih bergeser. Jarum jam menunjukkan pukul 24.00 ketika kami tiba di Batu Putih. Butuh waktu dua jam lagi tiba di Kupang.
Yang pasti bahwa Trans Selatan Timor sungguh berprospek. Ketika seluruh ruas jalan itu sudah hotmix maka kecenderungan perjalanan darat ke Kupang dari Timor Leste, Belu dan Malaka akan melewati jalur ini. Sebaliknya dari Kupang demikian bila tak ada urusan di TTS dan TTU. (paul burin)