Gembili dan Gembolo
ejak rumah bordil Yoshiwara dibuka, nagaimo menjadi laris manis. Penyebabnya, umbi itu diisukan bisa meningkatkan gairah seks.

Oleh F Rahardi, Pengamat Agribisnis
SEORANG germo mengajukan petisi ke Tokugawa Ieyasu pada tahun 1621. Isinya? Shogun pertama di era Dinasti Edo (1603-1867) itu diminta membuka kompleks pelacuran agar disukai orang banyak dan kekuasaannya langgeng. Saran aneh itu diterima. Kompleks pelacuran dibangun di rawa yang diuruk di kota Edo, yang sekarang bernama Tokyo. Komplek yang diberi nama Yoshiwara ini dibuka tahun 1625, dan baru ditutup Pemerintah Jepang tahun 1959.
Imbas dari petisi itu juga aneh, namun bermanfaat bagi petani miskin Jepang. Di negeri ini, dikenal umbi yang disebut nagaimo, yang juga sering disebut yamaimo (Chinese yam, Korean yam, Dioscorea oppositifolia). Umbi berwarna putih dengan kulit kecokelatan ini memiliki rasa manis. Nagaimo biasa disajikan dalam berbagai bentuk untuk makan malam keluarga miskin Jepang. Sejak rumah bordil Yoshiwara dibuka, nagaimo menjadi laris manis. Penyebabnya, umbi itu diisukan bisa meningkatkan gairah seks.
Laki-laki Jepang yang akan pelesiran ke Yoshiwara akan terlebih dahulu mengonsumsi nagaimo. Padahal, tak pernah ada penelitian ilmiah tentang manfaat umbi itu bagi peningkatan libido. Banyak yang menduga nagaimo laris semata-mata karena bentuknya yang mirip dengan phalus. Kendati Yoshiwara sudah ditutup, nasib nagaimo tak berubah.
Kalau sebelum Zaman Edo, nagaimo adalah makanan bagi masyarakat miskin, maka umbi itu kini disajikan di restoran dan hotel bintang. Cara mengonsumsi nagaimo beragam: direbus biasa, digoreng, untuk salad, dan diparut sebagai kuah udon atau soba. Indonesia memiliki umbi genus Dioscorea yang memiliki rasa sama seperti nagaimo. Hanya bentuknya yang berbeda.
Nama kondang umbi itu adalah gembili dan gembolo. Gembili termasuk umbi spesies Dioscorea yang dibudidayakan secara terbatas, karena rasa umbinya paling enak. Daging umbi gembili berwarna putih, bertekstur gembur ketika dimasak, dan rasanya manis. Ada dua forma gembili (Dioscorea esculenta [Lour.] Burkill). Pertama, forma kecil yang berbentuk oval yang memiliki diameter 3 cm-6 cm serta panjang 6 cm-15 cm. Forma ini yang paling banyak dibudidayakan petani.
Kedua, forma besar, yang disebut gembolo. Gembolo berbentuk gada, kecil di bagian pangkal dan membesar di bagian ujung. Diameter bagian tengah umbi gembolo 6 cm-12 cm, panjang 15 cm-40 cm. Gembolo dikelilingi duri kemarung yang keras dan tajam. Warna, tekstur, dan rasa gembolo persis gembili. Yang membedakan, gembili berkadar pati lebih tinggi, sedang gembolo memiliki kadar gula lebih tinggi.
Gembolo pun terasa lebih manis daripada gembili, namun kurang gembur, karena kadar pati lebih rendah. Umbi gembolo di Indonesia nyaris punah. Petani malas membudidayakan gembolo, karena duri kemarungnya yang sulit lapuk, meskipun sudah terkubur dalam tanah sampai bertahun-tahun. Yang pasti bukan duri yang menyebabkan gembili maupun gembolo tidak pernah naik kelas menjadi makanan kaum elite. Seenak apa pun bahan pangan, jika sudah identik dengan masyarakat kelas bawah, lama kelamaan akan terlupakan dan punah.
Masyarakat mana pun di dunia, termasuk di Indonesia, tak akan mau diberi predikat berkelas rendah. Tren makanan pokok di sini pun bukan bergeser dari beras ke umbi-umbian; tapi dari beras ke gandum, dalam bentuk mi dan roti. Dampak tren itu adalah impor gandum yang terus meningkat. Di tahun 2012 saja, impor gandum dalam berbagai jenis dan bentuk mencapai 6,2 juta ton, senilai Rp 2,1 triliun.
Impor gandum bisa terkurangi jika kita serius mengembangkan umbi-umbian untuk ditepungkan. Nah, gembili punya potensi sebagai penghasil tepung dan pati, pengganti gandum. Tepung gembili bisa menjadi bahan muffin, dengan rasa yang sangat khas. Belakangan ini, muffin naik daun, dan mampu mengimbangi popularitas burger, donat, dan piza. Pengolahan gembili menjadi tepung dimulai dengan tahap pengupasan. Lalu, pengirisan menjadi keripik, penjemuran sampai kering, penggilingan atau penumbukan, dan pengayakan.
Pengolahan umbi gembili menjadi pati lebih rumit, sebab ketika umbi segar diparut atau digiling, akan terjadi oksidasi hingga material berwarna coklat. Selain itu, daging umbi gembili benar-benar berlendir hingga menyulitkan proses penyaringan. Untuk mencegah oksidasi dan menetralkan lendir, parutan atau gilingan umbi gembili diberi kapur sirih. Namun itu masalah teknis yang mudah diatasi saat agroindustri tepung gembili benar-benar berjalan.
Agroindustri tepung atau pati gembili baru bisa bergulir jika ada sentra penanaman umbi gembili yang memproduksi sesuai kebutuhan pabrik. Bisa pula agroindustri tepung atau pati gembili dikerjakan rumah tangga. Asal, ada sentra penanaman massal. Saat ini, memang masih ada petani yang membudidayakan gembili, meski volumenya terbatas. Mereka memasarkan gembili yang sudah dikukus di beberapa tempat di Ibukota, seperti Jatinegara, Pasar Baru, dan Kota. Harga gembili masak ini lebih tinggi daripada harga talas, ubi jalar, keladi, apalagi singkong. Tetapi, nasib gembili sebagai komoditas pangan tak akan beranjak naik, tanpa ada campur tangan politik dan kultural, seperti halnya di Jepang. *