Mitos Jenitri
Sejak zaman dulu biji jenitri, yang juga disebut rudraksha, digunakan sebagai bahan tasbih oleh umat Hindu di India.
Oleh F Rahardi
Anggota Dewan Pakar Masyarakat Agribisnis Indonesia
JENITRI merupakan biji dari tanaman yang bernama sama. Kulit biji berdiameter 0,5 cm ini sangat keras, dengan lekukan dan tonjolan membentuk alur. Sejak zaman dulu biji jenitri, yang juga disebut rudraksha, digunakan sebagai bahan tasbih oleh umat Hindu di India. Hanya sebagai bahan tasbih pun, peluang pasar jenitri cukup besar. Jangan lupa, populasi umat Hindu di India mencapai 800 juta jiwa.
Padahal, biji jenitri juga berpeluang untuk bahan tasbih bagi umat Hindu Bali, dan umat Islam. Belum lagi peluangnya sebagai bahan kerajinan seperti kalung, gelang, topi dan tas, untuk dijual ke pasar umum.
Tetapi menangkap peluang itu membutuhkan strategi pemasaran yang baik, mengingat biji tasbih bisa dibuat dari bahan sintetis, seperti akrilik. Ada juga pesaing dari bahan yang eksklusif, seperti dari kayu hitam, kayu cendana, dan batu alam, bahkan batu mulia. Tanaman jenitri tak memerlukan perawatan intensif dengan biaya tinggi. Karena termasuk tanaman keras, jenitri bisa dipanen terus-menerus.
Semakin tua umur pohon, semakin besar volume panen. Karena itu, nilai biji jenitri sebenarnya hanya upah tenaga saat panen. Namun, pada saat harga biji jenitri jatuh Rp 10 per butir, para petani malas memanen dan membiarkan butiran biji itu jatuh tak terurus. Sebab sebelumnya, harga biji jenitri pernah mencapai Rp 150 per butir. Hukum pasar berlaku, pasokan lebih tinggi daripada permintaan, harga akan jatuh. Demikian juga sebaliknya. Selama ini, Indonesia merupakan salah satu pemasok biji jenitri di pasar dunia. Sentra jenitri di sini berada di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Belakangan, hasil kerajinan berbahan baku biji jenitri sudah mulai diproduksi untuk dipasarkan di dalam negeri.
Kawasan wisata seperti Candi Borobudur, Prambanan, dan Kota Yogyakarta merupakan pasar potensial untuk kerajinan berbahan baku biji jenitri. Pasar ekspor, maupun tempat wisata dalam negeri, menuntut harga semurah mungkin. Berarti, untuk meraih laba besar, diperlukan produksi dan penjualan massal dengan volume besar. Asal India Itulah realitas pasar biji jenitri. Realitas tak selalu menyenangkan, karena tak ada unsur luarbiasa. Padahal, banyak masyarakat haus akan hal-hal yang luarbiasa.
Terciptalah mitologi, seperti jenitri berasal dari India, dan merupakan air mata Dewa Syiwa. Nama rudraksha berasal dari kata rudra, yang bermakna dua, yaitu nama
Dewa Syiwa, dan air mata. Sedang aksa berarti jauh. Kisah kelahiran Rudra sebagai Hyang
Syiwa ini terdapat dalam dua kitab, yakni Weda Samhita dan kitab Wisnu-Purana.
Tujuan mengaitkan biji jenitri dengan mitologi Hindu sangat jelas, yaitu mengangkat komoditas ini menjadi benda keramat, hingga harganya naik. Kaitan harga biji jenitri dengan ritual keagamaan, kemudian juga menyangkut kualitas fisik. Selain ukuran dan bentuk (bulan lonjong), kualitas biji jenitri juga ditentukan oleh jumlah alur (lekukan dan tonjolan) biji tersebut. Alur dalam biji jenitri disebut mukhis. Kualitas mukhis ditentukan oleh kedalaman dan jumlah alur. Semakin dalam dan semakin banyak alur, semakin tinggi kualitas jenitri.Jumlah mukhis dihitung mulai di bawah delapan hingga 30.
Trik pemasaran jenitri yang lain adalah mengklaim biji itu berfungsi menyembuhkan penyakit. Untuk membuat strategi itu kian meyakinkan, klaim manfaat jenitri sebagai media penyembuhan dan pencegahan penyakit didukung oleh penelitian ilmiah seorang doktor dari perguruan tinggi ternama di India dan di Indonesia. Penyakit-penyakit berat, seperti darah tinggi, diabetes, jantung, bisa disembuhkan atau dicegah biji jenitri. Caranya, biji jenitri dijadikan kalung, gelang, ikat pinggang, topi. Termasuk, direbus dan airnya diminum. Biji jenitri, utuh maupun zat aktif yang terkandung di dalamnya, baik tunggal maupun dicampur dengan bahan lain, bisa saja digunakan sebagai obat.
Namun, ini semua baru bisa dilakukan apabila telah melalui serangkaian proses ujicoba dan registrasi di Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Jenitri dikenal dengan beberapa nama daerah, mulai ganitri, genitri, rudraksa, sambung susu, mendang, kemesu (Jawa), klitri (Madura), biji mala (Bali), biji sima (Bugis, Makassar), katulampa, hahauwa, mata dewa, mata siwa (Sunda). Nama Latin yang selama ini paling banyak digunakan untuk menyebut jenitri adalah Elaeocarpus ganitrus. Menurut International Plant Names Index (IPNI), Elaeocarpus ganitrus merupakan sinonim dari Elaeocarpus serratus L dengan bentuk buah lonjong, dan bentuk daun jorong.
Menurut IPNI, nama Latin jenitri adalah Elaeocarpus angustifolius. Elaeocarpus serratus yang berbentuk lonjong maupun Elaeocarpus angustifolius yang bulat sama-sama digunakan sebagai bahan tasbih dan kerajinan lain. Melihat bentuk daun, bunga, dan buah; jenitri yang dibudidayakan di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, merupakan jenitri Elaeocarpus angustifolius.
Mitos yang beredar di Kebumen, jenitri biji bulat, sekitar 150 tahun lalu, dibawa seorang warga asal India, agar dibudidayakan oleh masyarakat lokal. Warga India itu berjanji membeli biji jenitri hasil budi daya petani, dengan harga tinggi. Padahal, jenitri Elaeocarpus angustifolius berhabitat asli mulai India, Asia Tenggara, bagian utara Australia, sampai ke Kaledonia Baru di Pasifik Barat. Jenitri liar dijumpai di hutan primer Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Jenitri sudah sulit diketemukan di hutan primer di Jawa, bukan karena tumbuhan ini asli India, melainkan karena hutan di Jawa sudah banyak yang rusak.