Opini Pos Kupang

Epistemologi Blusukan

Blusukan adalah cara kerja seorang operator mesin yang melihat apakah mesin-mesin birokrasi berfungsi dan berjalan dalam melayani rakyat.

Editor: Benny Dasman
POS KUPANG/JULIANUS AKOIT
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, berjabatan tangan dengan para ibu dan remaja putri di Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur. 

Oleh Jonatan A Lassa

BLUSUKAN bagi pihak opponent (kelompok yang sinis) direduksi sekadar sebuah "tindakan turun bawah" yang menjadi lakon Soeharto selama Orde Baru atau bahkan Soekarno.

Bagi kelompok ini, blusukan adalah peristiwa seorang penguasa turun dari singasana dan mengunjungi rakyatnya di "bawah sana". Posisi atas dan bawah adalah paradigma "yang menguasai dan yang dikuasai." Rakyat yang dikuasai oleh penguasa coba dipahami dengan tindakan "turun bawah."

Dalam paradigma ini, rakyat ada di bawah, penguasa dan para pemimpin ada di atas. Jadi, ketika seorang kepala dinas "turun bawah" itu bisa dipahami sebagai "penguasa-penguasa sekunder" turut turun ke bawah. Model penjelasan ini sedikit banyak mewakili paradigma soal pemimpin yang terkonstruksikan secara sosial sebagai `penguasa' yang dipertuan/diperputri agung.

Karena itu ketika blusukan ala Jokowi menjadi sebuah gairah bagi media seantero dunia, orang-orang kebingungan menjelaskan kerangka teoritis dan kedalaman pengetahuan di balik aksi blusukan. Para proponent (kelompok pendukung), blusukan kemudian dilihat sebagai sebuah hal yang positif dan menguntungkan (partai pendukung) tanpa penjelasan yang memadai.

Bagi kelompok netral yang berada di tengah mereka secara pragmatis melihat blusukan sebagai model dan keunikan Jokowi dan benar atau salahnya blusukan dinilai secara kritis dari hasil (output) ataupun capaian-capaian (outcomes) yang menyertainya. Dukungan kelompok netral biasanya muncul ketika hasil-hasil seperti perubahan kualitas waduk Pluit dan Ria Rio, meningkatnya pendapatan pajak dari DKI Jakarta naik menjadi Rp 31 triliun. Model transparan total APBD DKI Jakarta dan dikomunikasikan di setiap kelurahan memberikan ruang kontrol masyarakat atas kebijakan penganggaran.

Anatomi Blusukan
Blusukan dalam bahasa logistik adalah tiga proses sederhana. Pertama, si pem-blusuk - yakni Jokowi dan agenda kerja lapangan (input). Kedua, alat yang digunakan si pem-blusuk yakni kendaraan (mobil yang ditumpangi) menuju pada target wilayah kunjungan (throughput).

Ketiga, target yang diblusuki yakni daerah dan pihak yang ditarget (diagendakan) Jokowi terkunjungi (terblusuki). Tiga tahapan logistik ini bisa ditiru siapa saja. Dalam model kunjungan Soeharto, Soekarno ataupun pejabat-pejabat negara lainnya, model dasar logistik ini yang sering kali dilihat.

Yang jarang dipahami adalah kualitas dari ribuan interaksi yang tercipta antara Jokowi dan pihak-pihak ataupun tempat-tempat yang dikunjungi. Yang secara telak gagal dipahami adalah Jokowi dan fakta determinasi tinggi untuk penyelesaian masalah hingga visi membangun Indonesia Hebat berbasis meritokrasi.

Dalam tingkatan pemahaman yang lebih tinggi, blusukan adalah sebuah cara menyatakan negara hadir dalam memahami masalah-masalah yang dihadapi rakyat bertahun-tahun. Blusukan adalah cara menyatakan negara berkomitmen menyelesaikan masalah yang bertahun-tahun tidak mampu diselesaikan.

Blusukan adalah cara kerja seorang operator mesin yang melihat apakah mesin-mesin birokrasi berfungsi dan berjalan dalam melayani rakyat atau sebaliknya menjadi mesin penghisap rakyat.

Blusukan Sebagai "Way of Knowing"
Blusukan adalah cara memahami (way of knowing) realitas kemiskinan dan persoalan rakyat. Blusukan adalah instrumen dalam memahami realitas demi mendapatkan informasi tindakan yang perlu. Blusukan tentu bukan sekadar "way of knowing" - di mana subyek yang mem-blusuk memahami yang di-blusuki - sebaliknya juga yang diblusuki diharapkan dapat memahami kehendak baik pemblusuk.

Berkali-kali Jokowi mengutarakan bahwa blusukan adalah sebuah langkah olah pikir pemimpin (memahami- knowing) tetapi sekaligus sebuah proses olah rasa olah rasa batin yang dikatakannya sebagai proses mengasah "nilai rasa batin".

Blusukan sebagai "cara membagi kepedulian/kepahitan hidup" - lebih dari sekadar empati. Bau sampah dan kekumuhan sebagai pengatahuan dan bau sampah sebagai sebuah proses merasakan secara langsung kekumuhan adalah dua hal berbeda. Proses ini membakar jiwa si pem-blusuk untuk secara, untuk terus membuka mata atas realitas kualitas hidup rakyat serta memberikan energi yang besar untuk melawan sistem birokrasi yang mandek.

Oleh Jokowi, proses-proses ini disertai dengan energi yang lebih tinggi dan spirit yang lebih intim dan saling terlibat - di mana Jokowi dan rakyat yang dikunjungi membangun komunikasi dan rasa saling merasa dan rasa saling percaya. Intim tidak selalu berarti indah. Dalam konteks blusukan birokrat kelurahan dan kecamatan, ada komunikasi yang bersifat komando dan proses, yang menimbukan gesekan ego.

Blusukan Sebagai Instrumen Monitoring Evaluasi
Blusukan menjadi instrumen monitoring dan evaluasi yang dalam tradisi kelembagaan administrasi pembangunan begitu formal dan berjarak serta dilakukan tahunan dan lima tahunan. Ada rantai yang panjang antara planning (rencana), do (kerja), check (kontrol) dan evaluasi yang memperbaharui planning dan doing. Blusukan memperpendek rantai ini sebisa mungkin.

Blusukan kemudian menjadi sangat instrumental dalam mengurai jutaan missing links antara kebutuhan rakyat dan intervensi pemerintah. Kebutuhan rakyat dan pengadaan ratusan ribu proyek-proyek yang dengan gampang diputuskan oleh birokrat yang korup. Blusukan kemudian menjadi populer karena ia menawarkan sesuatu yang sebelumnya hilang dari Republik. Blusukan juga menjadi instrumen pengawalan menuju pada hasil-hasil pembangunan untuk rakyat.

Rasionalitas Blusukan dan Demokrasi Substansi
Blusukan adalah sebuah counter-culture dan model dalam melawan status quo model pengelolaan pemerintahan yang tidak secara sistimatis dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat oleh yang memimpin. Sebagai pemimpin yang terpilih lewat proses demokrasi prosedural, Jokowi kemudian menawarkan sesuatu yang lebih substantif yakni bahwa demokrasi harus melayani cita-cita republik yakni kesejahteraan dan kemakmuran sepenuhnya untuk rakyat.

Adalah rasional bila blusukan oleh Jokowi digunakan sebagai instrumen utama dalam memahami kompleksitas Jakarta. Tetapi blusukan bukan sekadar instrumen input, proses antara (throughput) dan hasil (output) dalam membangun Kota Solo maupun Jakarta secara lebih baik. Blusukan menjadi sebuah alat perekat antara penguasa dan rakyat yang sekian lama terputus akibat tidak bekerjanya sistim administrasi publik dan birokrasi Republik.

Jokowi Governmentality
Blusukan adalah sebuah governmentality (Foucault, filsuf Perancis) ala Jokowi. Governmentality adalah gabungan dua konsep besar yakni government (pemerintah) dan mentalitas (mentality). Governmentality adalah soal seni mengelolah pemerintahan atau cara di mana pemerintah menghasilkan/mendapatkan dukungan rakyat melalui kebijakan yang dibuat ataupun sebuah proses terorganisir di mana rakyat di atur dalam dalam kerangka infrastruktur mental ataupun rasionalitas tertentu.

Sebagai govermentality ala Jokowi, blusukan adalah sebuah sebuah framework sekaligus model operasi pemerintahan yang sengaja diciptakan untuk mengembalikan kepemerintahan (government) yang bermentalitas melayani (servant-hood mentality) dan menjawab kebutuhan rakyat.

Sebagai metode, blusukan tidak akan efektif sebagai alat pencitraan bila tidak ada hasil cepat yang mampu ditunjukan oleh Jokowi. Ketegasan dalam membersihkan birokrasi dan membangun sistem birokrasi berbasis meritokrasi merupakan hal-hal positif yang menambah amplifikasi citra Jokowi.

Efektifitas model governmentality ini bisa terlihat pada bagaimana rakyat tidak melakukan protes dalam konteks pemindahan pedagang di Kota Solo. Ada legitimasi yang kuat dan dibangun dalam interaksi-interaksi blusukan. Dapat disimpulkan bahwa blusukan sebagai metode komunikasi, sebuah model dalam trust building antara rakyat dan pemerintah.

Blusukan sebagai alat monitoring evaluasi - dalam pemahamannya "pemimpin harus berada di lapangan" sebagaimana didemonstrasikan dalam kunjungan mendadak berulang kali di tengah malam di Tanah Abang.

Batasan Blusukan
Blusukan sebagai metode tidak gampang diadopsi oleh pejabat negara termasuk sekelas Ahok. Tentu, blusukan hanya salah satu metode dalam mengolah pemerintahan yang melayani rakyat. Oleh Ahok, dikatakan bahwa membaca koran juga sebuah `blusukan'. Walau dalam nada canda, tetapi ada yang kurang dipahami oleh Ahok, yakni bahwa input media ada dalam frame media (data sekunder), sedangkan blusukan adalah data primer yang diproses si pemblusuk dan yang diblusuki.

Kelemahan blusukan adalah bahwa sangat memakan waktu secara jangka pendek. Secara jangka panjang mungkin akan mengurangi biaya transaksi dan konflik akibat informasi yang tidak simetris maupun kurangnya interaksi hangat dengan masyarakat sebagai dasar saling percaya.  Tanpa dukungan media serta kesediaan mengkomunikasikan temuan, temuan-temuan hanya akan dipahami si-pemblusuk.


Dalam konteks DKI Jakarta, blusukan Jokowi menjadi efektif dengan diimbangi kualitas wagub yang lebih dari memadai sebagaimana dilakoni Ahok sejak akhir 2012 silam serta gairah dan rasa penasaran media yang menyertainya.

Blusukan tidak gampang diadopsi. Dan, kalaupun bisa diadopsi, karakter dan reputasi pemblusuk sangat menentukan keberhasilan dalam membangun interaksi yang berkualitas baik dengan masyarakat maupun dengan birokrat yang berhadapan langsung dengan rakyat.

Legitimasi Jokowi mengalami amplifikasi dan selebrasi sebagian rakyat karena beberapa intervensinya berhasil baik dari pembenahan Waduk Pluit, Ria Rio yang dikombinasikan dengan penciptaan ruang untuk rekreasi masyarakat, hingga pembangunan rusunawa bagi kaum papa, penertiban pasar Tanah Abang yang dalam 30 tahun tidak diselesaikan. Ia juga membangun tradisi meritokrasi di tengah sistem birokrasi Indonesia yang bobrok, berbelit-belit serta krisis intelektual administrasi publik bangsa ini karena nepotisme yang menggerogotinya.

Blusukan hanya metode yang bisa bersifat instrumental tetapi ia tidak bisa berdiri sendiri. Ia menjadi begitu mencolok karena Indonesia sudah lama mengalami kelumpuhan kelembagaan di mana apa yang tertulis dalam strategi pembangunan bukanlah apa yang dibutuhkan rakyat.

Karenanya, popularitas blusukan hanya bisa dipahami dalam sejarah panjang dan kelam soal mandeknya dan tidak berfungsinya birokrasi Indonesia dalam menjadi saluran kesejahteraan rakyat. (Co-founder IRGSC)

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved