Stagnasi dan Perkembagan Industri Pengolahan di NTT

Perkembangan industri menengah dan besar di NTT mengalami stagnasi, bahkan menurun secara jangka panjang

Editor: Agustinus Sape

Oleh Jonatan A Lassa dan Randy Banunaek
Peneliti di IRGSC Kupang

PERKEMBANGAN industri menengah dan besar di NTT mengalami stagnasi, bahkan menurun secara jangka panjang. Yang bertambah adalah industri-industri kecil dengan sektor yang tidak imbang. Sayangnya dalam kaca mata yang lain, dapat dikatakan bahwa industri-industri skala kecil tidak naik kelas ke level menengah-atas. Ibarat murid yang tahan kelas selama 30 tahun tertinggal di SD. Sedangkan kelas menengah atas sebagian besar mengalami drop out.

Membicarakan industri di NTT jelas menjadi sesuatu yang menarik secara historis. Salah satu contoh adalah industri pertanian kapas di Sikka (Nangahale dan Lela) pernah dikelola sebuah perusahaan bernama Syndicaat ter Bevordering van de Katoencultuur op Flores yang didirikan tahun 1912. Setelah harga saham di Bursa Efek Liverpool (Inggris) mengalami kenaikan drastis di paruh kedua dekade kedua abad ke-20, sindikat perusahaan tersebut meminjam uang untuk ekspansi usaha kapas di Sikka. Sayangnya kemudian harga jatuh bebas dan sindikat usaha di atas mengalami menghindari kebangkrutan. Berbagai upaya dilakukan tetapi kemudian dukungan pemerintah kolonial melemah. Kebangkrutan pun terjadi di tahun 1924 (Metzner 1982).

Menarik untuk melihat narasi tentang jatuh bangun industri di NTT dengan melihat data-data ke belakang. Tanpa membaca data dengan analisis tren jangka panjang, kita tidak bisa tahu persis apakah kita maju atau mundur. Sebagai misal, bila Anda membaca draft RPJMD NTT 2013-2018, bisa dilihat bahwa target penguatan industri kecil untuk naik kelas ke industri menengah/besar adalah 1 per tahun. Baselinenya adalah angka 25 perusahaan menengah dan besar di tahun 2012. Jadi, bila di akhir masa jabatan Frenly, terdapat 30-32 unit industri kelas menegah-besar, maka Frenly dinyatakan berprestasi. Itu lumrah. Masalahnya adalah persoalan industri di NTT tidak seperti yang ada bayangkan.

Berikut adalah hasil analisis awal sebagai proses yang 'kebetulan' terutama ketika kami melihat data-set hasil digitasi data-data pembangunan NTT selama 30 tahun terakhir sejak Juni 2013.

Industri Pengolahan Skala Menengah Besar di NTT
Di tahun 1985, terdapat 24 perusahaan menengah dan besar (dengan indikasi 20-100 atau lebih karyawan). Terdapat pertumbuhan terjadi secara berarti di dalam kurun waktu 1995-1999 di mana lebih dari 40an industri menengah-besar sempat bertahan di NTT. Imbas krisis ekonomi di tahun 1998, banyak industri menengah dan besar yang gulung tikar. Butuh waktu 10 tahun untuk bangkit di tahun 2009 di mana terdapat 43 perusahaan menengah-besar atau mencapai level tahun 1995. Namun di tahun 2010, industri-industri skala menengah dan besar jatuh bebas ke angka 28.

Secara umum, ukuran industri pengolahan menengah-atas NTT di tahun 1985 adalah 57 karyawan/unit industri pengolahan. Sedangkan di tahun 2011, ukurannya turn menjadi 55. Terlihat sedikit kenaikan di tahun 1990-an, namun secara umum ada kecenderungan menurun dari sisi ukuran. Tren serupa terjadi di Kabupaten Sikka di mana tahun 1985, industri serupa memiliki rata-rata 67 pekerja per unit perusahaan, sedangkan di tahun 2011, turun menjadi 60.

Industri kelas menengah-atas antara mengalami kemunduran atau stagnasi yang ditunjukan oleh pertumbuhan negatif dan fluktuatif selama hampir 30 tahun. Menarik dicermati bahwa NTT mungkin tidak terlalu kondusif bagi industri menengah-besar karena berbagai faktor (infrastruktur, energi, ekonomi biaya tinggi dan sebagainya).

Industri Pengolahan Skala Kecil di NTT
Untuk industri skala kecil (ukuran 4 tenaga kerja per unit industri pengolahan/perusahaan) ditingkat propinsi belum tersedia data yang memadai. Sedangkan di tingkat kabupaten, dapat kita pelajari dari Kabupaten Sikka, di mana data 30-40 tahun menunjukkan masa-masa suram di tahun 2000-2007.  Momentum 'bersejarah' terjadi ketika industri skala kecil di Sikka yang biasanya hanya berjumlah 1100an di tahun 2005-2007 meningkat 10 kalilipat di tahun 2008 (atau meroket dari total 1132 unit di tahun 2006/2007 menjadi 6255  di tahun 2008. Tahun 2011/2012, total industri skala kecil di Sikka mencapai 7285 unit usaha (Jumlah kombinasi formal dan informal).

Entah baik atau buruk, perkembangan industri kecil di Sikka mengalami ketidakseimbangan yang ekstrem. Di tahun 2008, 89% industri kecil di Sikka datang dari kelompok sandang terutama tenun ikat dan benang celup. Jadi di tahun tersebut, 5563 dari total 6255 industri kecil yang terdata di Sikka adalah kelompok Sandang (tenun ikat dan benang celup). Di tahun 2011/2012, dari total 7285 industri kecil di Sikka, 5929 adalah industri Sandang yang sama. (Figure 5) Angka ini termasuk industri penjual pakaian jadi yang jumlahnya dapat diabaikan dalam kasus ini.

Jadi tingkat pertumbuhan industri di Sikka disebabkan oleh meningkatnya industri Sandang di Sikka dalam 5 tahun terakhir. Kita tahu bahwa pasar tenun ikatlah yang mendorong bisnis benang celup. Karena itu, bila data industri sandang di keluarkan, maka yang terjadi di Sikka selama kurun waktu 2008-2011 adalah rata-rata 889 industri atau jauh berada dari rata-rata periode 1994-1996 yakni 1195 unit industri kecil/menengah. Sedangkan dalam 25 tahun terakhir, puncak kenaikan industri kecil non-sandang justru terjadi di tahun 1996/1996 dan bukan saat ini. Kecuali industri makanan dan sandang (Figure 4), jenis industri lainnya seperti industri keatif (kerajinan) skala kecil semakin merosot dalam 15 tahun terakhir dengan sedikit perbaikan di tahun 2011/2012. Walau dalam skala 20 tahun, rata-rata industri kreatif (kerajinan) di lima tahun terakhir hanya 89 unit atau kalah dibanding tahun 1994-1996 yakni 124 unit.

Sayangnya, kinerja ini mungkin bersifat jangka pendek dan bertahan selama insentif dipertahankan. Bila terjadi kejutan negatif pada permintaan (demand), maka secara otomatis  permintaan tenun ikat menurun dan dengan sendirinya industri benang celup menghilang

Sedikitnya dua teori bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Teori pertama adalah bahwa meningkatnya industri kecil yang hanya bertumpu pada insentif-insentif jangka pendek yang bersifat sementara. Meningkatnya alokasi dan transfer finansial ke desa-desa dan munculnya intervensi serempak di desa-desa termasuk Anggur Merah dan program-program pemberdayaan yang menargetkan kelompok perempuan, cenderung untuk mendorong industri tenun ikat. Terkadang, proyek-proyek pemberdayaan perempuan dan pembangunan pedesaan direduksi menjadi pembuatan tenun ikat semata.

Kedua, mungkin saja karena Dinas Perindustrian lebih sensistif dalam pendataan pada kelompok-kelompok Sandang sehingga data yang diperoleh BPS merupakan data yang 'bias' terhadap kelompok Sandang?

Sedikit ganjil bila pemberdayaan ekonomi desa maupun ide tentang penanggulangan bencana serta pemberdayaan masyarakat (perempuan) di berbagai tempat di NTT, baik lewat proses top down ataupun bottom up, berakhir pada ide tenun ikat. Mengapa tidak? Benar. Tetapi juga mungkin saja ini indikasi stagnasi ide dan ketiadaan invasi.

Melihat semakin bangkitnya sektor pariwisata di Flores terutama setelah tertatih lebih dari 20 tahun akibat tsunami dan gempa Flores, seharusnya di jadikan momentum yang diarahkan untuk mempertahankan tren industri tenun ikat karena ancaman pada industri ini semakin terliht terutama ketika produk garmet dengan sistim teknologi printing motif-motif daerah juga telah membanjiri kota-kota di NTT (Lihat data yang lebih detail di www.irgsc.org/pubs/pb/NTT-industries-time-series-data.pdf).

Sulit memprediksikan keberlanjutan model pengembangan industri kecil yang berat sebelah dan tidak seimbang seperti ini. Yang pasti, pembangunan pedesaan lewat sektor industri kecil maupun pemberdayaan perempuan, tidak harus direduksikan dengan pengembangan industri tenun ikat semata.
Karena itu, studi lanjutan terkait konteks makro dan mikro terkait industri pengolahan di NTT diperlukan.

Ditambahkan bahwa studi tentang pentingnya struktur insentif dan dimensi kelembagaan terkait industri pengolahan di NTT perlu dikembangkan. Kita juga belum memahami secara memadai tentang bagaimana industri-industri kelas menengah atas bertahan terhadap tantangan dan risiko-risiko external.

Yang pasti, industri-industri skala kecil perlu naik kelas ke level menengah-atas, jangan lagi tahan kelas di SD selama 30 tahun. Sedangkan industri kelas menengah-atas, juga perlu lebih berdaya lenting terhadap berbagai kejutan dan risiko. *

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved