Kuncinya adalah Profesionalisme
Catatan dari Lokakarya Para Redaktur
WARTAWAN harus profesional (Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik), baik dalam mengumpulkan data dan informasi serta menulis dan mempublikasinya. Namun wartawan adalah manusia biasa yang bisa saja salah atau keliru dalam melaksanakan tugasnya itu. Wartawan bisa saja keliru merumuskan data dan fakta sehingga substansinya menjadi berbeda sama sekali dengan fakta yang sebenarnya.
WARTAWAN harus profesional (Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik), baik dalam mengumpulkan data dan informasi serta menulis dan mempublikasinya. Namun wartawan adalah manusia biasa yang bisa saja salah atau keliru dalam melaksanakan tugasnya itu. Wartawan bisa saja keliru merumuskan data dan fakta sehingga substansinya menjadi berbeda sama sekali dengan fakta yang sebenarnya.
TD Asmadi dari Lembaga Pers Dr. Sutomo, mengingatkan bahwa dalam mempublikasikan suatu peristiwa menjadi karya jurnalistik, wartawan harus menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Wartawan harus bisa memilih kata yang tepat (diksi) untuk menggambarkan fakta dan data agar tidak disalahtafsir oleh publik (pembaca/pemirsa/pendengar).
"Bahasa yang dituliskan wartawan juga harus independen. Artinya wartawan tidak boleh mengikuti saja apa yang dikatakan narasumber," kata Asmadi.
Kekeliruan bahasa dalam karya jusnalistik bisa membuat pihak-pihak terkait tersinggung, bahkan marah. Wartawan dan medianya bisa diproses hukum, bahkan bisa diancam dan dipukul. Sudah banyak kasus menyeret wartawan ke proses hukum, bahkan menjadi korban pemukulan, bahkan pembunuhan akibat kesalahan pemberitaan. Padahal, UU Pers memberi ruang dan mewajibkan wartawan (media massa) mengoreksi beritanya jika ada kesalahan.
Menurut Hendrayana (dari LBH Pers), penyelesaikan sengketa menyangkut pemberitaan antara masyarakat dengan media massa melalui dua cara. Pertama, melalui jalur luar pengadilan (non litigasi) dan kedua, melalui jalur pengadilan (litigasi).
Untuk jalur non litigasi, berpedoman pada Pasal 5 UU Pers Nomor 40/1999, bahwa penyelesaian sengketa pemberitaan melalui hak jawab, hak koreksi dan atau pengaduan ke organisasi profesi dan pengaduan ke Dewan Pers.
Sedangkan jalur litigasi, pihak bersangkutan bisa menyelesaikan masalah di peradilan umum, setelah mengikuti apa yang telah diatur dalam Peraturan MA (PERMA) No 2/2003 Jo PERMA 1/2008, tentang prosedur mediasi di pengadilan. Mediasi merupakan proses yang harus dilalui dalam penyelesaian kasus gugatan perdata.
Untuk itu, mediator pengadilan dan mediator di luar pengadilan, hendaknya adalah mediator hakim yang benar-benar mengerti tentang pers atau mediator non hakim yang menguasai permasalahan pers (SEMA Nomor 13/2003).
Hingga saat ini, masih banyak aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan pegacara) belum menguasai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sehingga banyak proses hukum dan putusan hukum yang dijatuhkan sangat merugikan insan pers.
Selain UU Pers (pasal 5), hak jawab juga ditegaskan dalam KEJ (pasal 11), yakni wartawan Indonesia wajib melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Yang dimaksud di sini adalah apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan mennggunakan hak jawab dan hak koreksinya, maka pers wajib melayaninya.
Namun media massa yang profesional dan bertanggung jawab segera meralat kesalahan pemberitaan tanpa harus menunggu orang menggunakan hak jawab atau hak koreksi. Justeru ralat atas inisiatif sendiri itu membuktikan profesionalisme wartawan (media) yang secara jantan mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada pembaca/pemirsa (Pasal 10 KEJ).
Perusahaan pers yang tidak melayani hak jawab dan koreksi bisa dipidana dengan denda paling banyak Rp 50 juta (Pasal 18 ayat 2 UU Pers). Untuk hak koreksi tidak ada sanksi pidana karena hanya menyangkut kesalahan kecil.
Bambang Harymurty, Chef Editor Groups Tempo, mengatakan, pemuatan hak jawab dan hak koreksi itu merupakan hak prerogatif dari redaksi media pers. Redaksi berhak untuk tidak memuat hak jawab yang diajukan nara sumber atau pihak lain, apabila hak jawab itu dapat mengakibatkan tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap wartawan atau media tersebut. Hak jawab dapat diabaikan jika terlalu panjang, tidak fokus dan melebihi karya jurnalistik yang dipersoalkan, atau karena bahasanya sulit dimengerti, tidak etis dan memuat hal yang tidak terkait berita yang dipersoalkan.
Wina Armada Sukardi, Sekjen PWI pusat yang juga anggota Dewan Pers, mengatakan, mekanisme hak jawab diajukan langsung kepada media yang bersangkutan dengan tembusan kepada Dewan Pers.
Media massa, katanya, bisa mengedit materi hak jawab sesuai prinsip pemberitaan atau karya jurnalistik, asal tidak mengubah substansi atau makna.
Sengketa mengenai pelaksanaan hak jawab diselesaikan di Dewan Pers. Ini merupakan salah satu fungsi Dewan pers dalam mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupuan pers nasional. Dewan pers melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, mengkaji pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan KEJ, memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
DP juga bertugas mengembangkan komunikasi antar pers, masyarakat dan pemerintah, memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers, meningkatkan kualitas profesi wartawan, serta mendata perusahaan pers.
Bambang Harymurty, Chef Editor Group Tempo, mengatakan, setiap saat Dewan Pers menerima pengaduan terhadap wartawan dan atau medianya dari perseorangan maupun perusahaan. Pengaduan tersebut umumnya menyangkut berita yang disajikan tidak berimbang, faktanya keliru, sumber tidak jelas, pertanggungjawabannya tidak jelas, pemuatan identitas pelaku/ korban yang belum dewasa, pemuatan foto sadis, cabul dan juga karena pemerasan (kriminal).
Setiap tahun, jumlah pengaduan makin banyak dan sebagian besar diselesaikan di Dewan Pers.
Banyaknya pengaduan masyarakat terkait pemberitaan ini membuktikan bahwa masyarakat sudah "sadar pers". Masyarakat sudah mengerti menggunakan haknya yang diabaikan pers melalui mekanisme yang diatur UU Pers.
Namun tak bisa juga dipungkiri adalah bahwa makin banyaknya pengaduan itu membuktikan kekurangcermatan wartawan (media massa) dalam melayanai kebutuhan informasi bagi masyarakat. Kata kuncinya adalah peningkatan profesionalisme wartawan. (novemy leo/habis)