Oleh Jonatan Lassa
Undana dalam Konstelasi Glokal
TULISAN ini dibuat dengan visi perubahan sistem atau inovasi sistem dapat menjadi alternatif pengembangan Universitas Nusa Cendana (Undana) yang senantiasa dibayang-bayangi keterbatasan anggaran. Penulis 'membantah' kalau Undana kekurangan tenaga pengajar berkualitas, dan berpandangan bahwa Undana merupakan institusi yang minim inovasi.
Di awal berdirinya, Undana dibayangkan menjadi knowledge hub yang darinya inovasi dan pengetahuan disebarkan ke pulau-pulau di NTT. Undana juga merupakan agen potensial dan strategis dalam proses transformasi pengetahuan di NTT, tempat di mana sebagian pemimpin masa depan NTT disiapkan.
Saat ini Undana 'terpasung' dalam inersia. Padahal Undana sebagai organisasi pendidikan non-sektarian diharapkan menjadi model berorganisasi. Undana -- telah, sedang dan akan -- dilihat sebagai tempat pembelajaran organisasi sosial moderen di NTT. Gerak-gerik pergantian rektor seharusnya berbasis seleksi (dan bukan eleksi) yang ada dalam kerangka science based.
Dengan menggunakan kalkulasi matang berbasis pengetahuan mutakhir ilmu manajemen organisasi abad 21 yang sering diucapkan di kelas kuliah dengan kalkulasi rasional yang menjadi klaim kaum teknokrat dan rasionalis bahwa manusia kampus adalah agen rasional. Dalam konstelasi global saat ini, hasil dari gerak-gerik Undana secara internal akan kembali ditimbang setiap tahun dalam susunan peringkat universitas global maupun nasional.
Lebih dari itu, dalam kontelasi arus pengetahuan glokal (global-lokal) di mana pengetahuan global (baca: sains) bisa dikonversi menjadi pengetahuan lokal dan pengetahuan lokal bisa langsung ditransformasi menjadi pengetahuan global dalam waktu yang relatif cepat, semakin membuat universitas tidak lagi menjadi pusat dari pengetahuan. Pengetahuan berbasis sains dari Undana hanyalah salah satu bentuk pengetahuan yang relevansinya bagi masyarakat dipaksa bersaing dengan berbagai pengetahuan yang tersedia di pasar, baik yang berbasis lembaga think tank yang semakin menjamur juga di Indonesia, berbasis pengetahuan lokal, tradisional, hingga berbasis jejaring universitas global.
Media ini memberitakan Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) mencari rektor baru yang mengandung kesan ketiba-tiba-an. Lima kriteria normatif yang disodorkan: beragama alias beriman dan bertakwa, batas usia 61 tahun, minimum jabatan lektor kepala dan berpendidikan magister yang bersedia dicalonan menjadi rektor. Syarat tambahan adalah sehat jasmani-rohani dan mampu berbahasa Inggris, berpengalaman sebagai ketua jurusan atau setingkat di lingkungan perguruan tinggi, memiliki program kerja yang tidak melanggar kode etik profesi (Pos Kupang Rabu, 11 Juni 2009).
Penulis memahami sepenuhnya bahwa syarat-syarat normatif tersebut adalah rule of the game yang dipatuhi seperlunya oleh organisasi pendidikan tinggi plat merah yang belum berstatus BHMN sebagaimana UI dan ITB. Namun perlu dipertimbangkan beberapa inovasi internal dalam proses seleksi calon Rektor Undana dalam konstelasi global dan lokal saat ini, konteks di mana proses seleksi seorang rektor dituntut lebih dari sekadar syarat normatif, sebagai sarang elit pengetahuan dalam mencari kepemimpinan terbaik dengan multi-kriteria yang lebih mendasar, berdasarkan pengetahuan yang kaya dalam riset-riset managemen abad 21.
Tidak Kalah
Berdasarkan direktori doktor Indonesia maupun database Dikti online 2008 yang diolah penulis, rasio pengajar berkualifikasi S3 per 1000 mahasiswa untuk universitas dan pendidikan tinggi yang setara, yang berkualifikasi doktor secara khusus beberapa universitas-universitas terkenal di Jakarta dan Surabaya menunjukkan relitas yang berbanding terbalik dengan persepsi awam. Sebagai misal, Universitas Taruma Negara Jakarta justru secara formal memiliki ratio 0.5/1000 (pengajar bergelar doktor yang resmi terdaftar per 1000 mahasiswa). Unkris Petra Surabaya 1.4/1000; Universitas Surabaya 0.35/1,000; Universitas Trisakti 0.7/1,000; Undana Kupang 4.4/1000; Unwira Kupang 2.7/1000; UKAW Kupang 2/1000. Apakah tidak bias mengggunakan pendekatan ini? Jelas bias, tetapi bisa menjadi salah satu indikator agar tidak perlu rendah diri.
Dan tentunya, indikator ini bukan indikator baku dan statistik di atas tidak dijamin akurasinya dan diperlukan validasi lanjutan. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah mengapa Undana tidak mampu melakukan kapitalisasi modal elit pengetahuan yang dimilikinya? Mengapa Undana tetap terjebak dalam paradigma etnosentrisme bahwa orang-orang kepulauan NTT tidak mampu mengelola lembaga modern bernama universitas karena terjebak dalam konflik kepentingan yang tidak mampu diputuskan secara internal dan konstruktif? Tentunya refleksi ini juga berlaku buat Unwira, UKAW yang ratio pengajar/mahasiswa di atas tidak lah kurang.
Inovasi Sistim
Istilah inovasi sistem, sebagai pembeda atas inovasi teknologi, biasanya dipahami bahwa arus teknologi dan informasi antara manusia, organisasi serta kelembagaan adalah inti proses inovasi, yakni dengan interaksi multi-aktor serta interaksi jaringan kelembagaan. Inovasi sistem yang lebih bersifat informal merupakan kunci manajemen universitas abad 21. Ini kontras dengan pendekatan tunggal inovasi teknologi yang biasanya membutuhkan modal besar.
Undana perlu melakukan inovasi secara sistemik di semua aras (eksternal/internal) di mana secara jeli melakukan kapitalisasi dengan memaksimalkan modal sosial, ekonomi, jaringan, alumni, kualifikasi pengajar yang ada, bahkan input mahasiswa sebagai stakeholder utama dsb. Ini perlu dilakukan demi output pengetahuan dan kualitas sivitas akademika. Tanpa harus selalu berapologi tentang kualitas pendidikan Undana di balik keterbatasan anggaran, kurangnya pengadaan teknologi sebagaimana dimiliki universitas-universitas di Pulau Jawa apalagi harus dipaksakan setara dengan universitas-universitas di Eropa Barat, USA, ataupun Asia Timur.
Penulis mengajukan empat catatan bagi siapapun yang menjadi Rektor Undana dalam kepemimpinan yang baru. Pertama, sosial remittance alumni. Alumni adalah sosial kapital universitas. Ini pengetahuan lama tapi tidak dimaksimalkan. Konon, mitos bahwa universitas adalah lembaga yang rasional, namun dalam kenyataannya hanya sedikit universitas di Indonesia yang mampu memanfaatkan modal sosial alumninya. Dalam konteks kekinian di mana jarak geografis bukan lagi menjadi penghalang, transaksi pengetahuan terjadi dalam hitungan detik. Terbitnya journal internasional bidang teknik sipil dan bidang apa pun dengan rangking nomor wahid yang terbit detik ini oleh Cambridge University Press ataupun Harvard University Press, bisa langsung di-download oleh teman saya yang riset di pelosok Flores dan Rote berkat surat elektronik yang saya kirimkan. Sedangkan rekan-rekan di Undana mungkin saja baru secara kebetulan membaca paper dimaksud sepuluh tahun kemudian.
Kedua, rektor harus paham network society. Pengalaman penulis, pimpinan organisasi biasanya mengaku paham tentang network society sebagaimana dipopulerkan Manuel Castle, tapi dalam prakteknya berbanding terbalik. Ini tidak berarti penulis mengatakan bahwa Rektor Undana yang baru harus memiliki Facebook seperti Presiden Obama, tetapi minimal melek e-mail dan melek pengetahuan berbasis platform elektronik serta mampu menggunakan jaringan sosial masyarakat NTT berbasis internet untuk pengembangan perpustakaan Undana dan sebaliknya sebagai media komunikasi dan transmisi pengetahuan hasil produksi internal.
Ketiga, visi policy entrepreneur. Dalam konstelasi glokal saat ini yang dicirikan oleh ketidakpastian dalam aras yang lebih besar dan variabel yang bertambah, calon rektor harus dituntut memainkan peran policy entrepreuner yang dicirikan dalam beberapa empat hal Simon Maxwell. Pertama, mampu menjadi story teller, yang menjelaskan pengetahuan yang rumit dalam bahasa rakyat. Kedua, akademisi (peneliti/pengajar) yang berparadigma jejaring dan pembaut jejaring (networker) yang menghubungkan pemerintah, LSM, swasta, masyarakat dan mahasiswa dan bukan terisolasi dalam menara gading. Ketiga, akademisi Undana perlu menjadi insinyur, yang bekerja di 'jalanan' dan terlibat diskusi debat-debat 'jalananan', bergaul dengan 'gang jalanan' - yang tahu tentang kerja-kerja dunia nyata, apa yang bisa dikerjakan dan apa yang tidak. Keempat, akademisi Undana perlu menjadi tukang, yang mampu melalukan perbaikan in situ tanpa menjadi akademisi teks book yang gagap menghadapi kompleksitas dunia nyata.
Keempat, pendekatan jemput bola. Seorang teman asal Universitas Beijing yang mengajar American Politics di New York berujar pada penulis dalam sebuah pertemuan minggu lalu di Brussels mengapa dia memilih kerja New York? Jawabnya 'karena sistem jemput bola'. Bukan rahasia lagi bahwa salah satu yang membuat universitas-universitas di Eropa maupun di USA dan Australia maju adalah karena sistem jemput bola, baik secara eksternal (mencari yang terbaik di luar sana) maupun secara internal (membuka kesempatan yang terbaik di dalam lembaga untuk berkembang) demi masa depan universitas.
Undana membutuhkan rektor yang mampu break the rules dan menciptakan new rules of the game secara inovatif dalam otonomi yang dimilikinya. Riset-riset tentang suksesnya pemimpin organisasi bisnis dalam buku-buku best sellers tentang manajemen dan kepemimpinan sering tiba pada fakta empirik bahwa pemimpin yang berhasil adalah yang secara cerdas mampu mem-break the rules sebagai prinsip sukses No 1. Ini jelas bertentangan dengan kriteria normatif tambahan di atas. Dan amat disayangkan karena debat tentang teori-teori tentang organisasi sosial khususnya soal dialektika agents dan rules of the game tidak terjadi di Undana.
Sebagai tambahan bahwa kriteria senioritas biasanya menjadi hukum tidak tertulis yang mengebiri universitas serta memberi perlindungan bagi kandidat medioker yang secara amoral dan immoral memanfaatkan kapital simbolik (suku, agama, ras, umur) sebagai alat manuver dalam pemilihan rektor. Undana secara eksternal mengalami krisis legitimasi pengetahuan dan krisis legitimasi sains dalam banyak kesempatan. *
Kandidat Doktor di Universitas Bonn, Germany, Anggota Forum Academia NTT