Perempuan dan Tenun, Dalam Balutan Syukuran Pasca Panen Fatukoto di Kabupaten TTS

Keberadaan 20 wanita ini untuk meramaikan festival syukuran pasca panen yang digelar oleh kelompok adat Apanola Atolan Pah Mollo.

Penulis: Dion Kota | Editor: Rosalina Woso
POS KUPANG/DION KOTA
Nampak suasana menenun massal yang digelar dalam festival syukuran pasca panen di Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara 

Perempuan dan Tenun, Dalam Balutan Syukuran Pasca Panen Fatukoto di Kabupaten TTS

POS-KUPANG.COM|SOE -- Ada yang menarik dari syukuran pasca panen yang digelar di Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Sabtu (13/7/2019) siang di Depan Danau Fonda'e Nausus.

Sekitar 20 wanita paruh baya dari enam desa di antaranya, Desa Tune, Fatumnasi, Ajobaki, Nefokoko, Lelobatan dan Desa Fatukoto duduk sejajar lengkap dengan benang dan peralatan tenunannya. Semuanya kompak menggunakan sarung tenun sebagai pengganti celana.

Keberadaan 20 wanita ini untuk meramaikan festival syukuran pasca panen yang digelar oleh kelompok adat Apanola Atolan Pah Mollo.

Berlantaikan rerumputan dan beratapkan langit, ke-20 wanita paruh baya ini nampak asyik menenun di alam bebas. Sambil sesekali tersenyum, para kaum ibu ini nampak begitu lincah memainkan alat tenun untuk memintal helaian benang menjadi selembar kain tenun nan cantik dengan motif khas daerah Mollo.

Kepada PO-KUPANG.COM, para wanita ini mengaku, sejak beranjak remaja mereka sudah diajarkan untuk menenun oleh ibu mereka. Bukan tanpa alasan mereka harus diajarkan menenun saat beranjak remaja.

Keterampilan menenun menjadi syarat utama bagi mereka untuk bisa menikah. Para kaum perempuan diwajibkan untuk bisa menenun selembar kain tenun agar mendapatkan restu atau ijin untuk membangun biduk rumah tangga.

Jika belum bisa menenun, maka restu untuk menikah pun belum bisa diberikan orang tua mereka.

" Dulu, kalau sudah masuk remaja wajib setiap hari belajar menenun mama yang ajarkan langsung. Sambil belajar menenun, mama biasanya langsung pesan, kalau mau menikah harus bisa menenun dulu. Kalau belum menenun, jangan dulu nikah," ungkap Sifra Baun Fallo (35), penenun dari Desa Ajobaki.

Diumur 17 tahun, dirinya berhasil menenun selembar kain. Restu menikah pun turun dari kedua orang tuanya. Tak lama berselang, di usia 19 tahun Sifra Baun pun menikah.

Hal senada diungkapkan oleh Ferderika Tua (32), penenun asal Desa Fatukoto. Ia mengaku, keterampilan menenun diajarkan langsung oleh sang ibu.

Keterampilan menenun menjadi syarat utama untuknya agar bisa menikah. Di usia 15 tahun dirinya mulai bisa menenun. Dan saat umurnya memasuki 22 tahun, Ferderika sudah diijinkam menikah.

" Dulu masih remaja mama sudah bilang, kalau mau nikah harus bisa menenun. Mau jadi seorang ibu harus bisa membuat kain untuk suami dan anak-anak. Makanya, kalau belum bisa menenun orang tua dulu tidak akan kasih ijin kita untuk nikah," tutur Ferderika.

Praktek menenun masih terus menjadi bagian keseharian kedua wanita ini. Menenun menjadi usaha rumahan kaum ibu untuk menambah penghasilan keluarga. Dalam sebulan, keduanya mengaku bisa melahirkan satu lembar kain tenun dengan kisaran harga 700 ribu sampai 1 juta tergantung jenisnya.

" Satu bulan biasanya bisa menghasilkan satu jenis kain lotis atau kain jenis pauf. Kalau lotis kita jual dengan harga 700 ribu. Kalaj jenis pauf karena dia lebih besar kita jual dengan harga 1 juta. Hitung-hitung tambah penghasilan keluarga untuk membiayai kebutuhan anak sekolah," ujar keduanya.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved