Ramadhan 2019
Perjalanan Mudik Lebaran, Sebaiknya Tetap Puasa atau Tidak? Ini Penjelasan Buya Yahya
Perjalanan Mudik Lebaran, Sebaiknya Tetap Puasa atau Tidak? Ini Penjelasan Buya Yahya
Penulis: Bebet I Hidayat | Editor: Bebet I Hidayat
Adalah kemurahan dari Allah kalau kita ada dalam perjalanan untuk meng-qadhanya dengan catatan
"Mana yang lebih bagus, berpuasa atau tidak? Mana yang paling enak buat dia. Kalau merasa nyaman berpuasa, ya berpuasa.
Kecuali yang jatuh sakit, pingsan, maka memaksa puasa malah dosa," begitu kata Buya Yahya.
• Tata Cara Itikaf, Niat dan Amalan 10 Hari Terakhir Ramadhan 2019, Mendapatkan Malam Lailatul Qadar
• Zakat Fitrah - Besaran, Waktu dan Bacaan Niat Zakat Fitrah, Bolehkah Diganti Uang?
• Ini Bacaan Niat Puasa, Doa Buka Puasa, Niat Sholat Sunnah Tarawih & Salat Sunnah Witir
Menurut KH Fadlullah Turmudzi, Pengasuh Pondok Pesantren APIK Kaliwungu Kendal, pada dasarnya puasa boleh dibatalkan dan mengganti (qadha') pada hari lain di luar bulan Ramadhan jika ada suatu uzur seperti melakukan perjalanan jauh mencapai jarak diperbolehkannya meringkas (qashar) shalat. Hal tersebut disebut dengan keringanan (rukhshah)..
Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, perlu kami jelaskan bahwa puasa Ramadan adalah ibadah wajib yang berkaitan erat dengan waktu.
Seandainya seseorang berpuasa bepergian ke tempat yang jauh dari tempat asalnya, maka ia menyesuaikan penduduk tempat tujuan dalam puasanya.
Dan jika orang yang masih dalam keadaan berpuasa berpergian ke suatu tempat yang jauh yang penduduknya telah merayakan Idul Fitri, maka ia juga ikut merayakannya dan meng-qadha puasanya jika puasa yang telah dilaksanakannya kurang dari 29 hari.
Hukum ini tidak hanya khusus untuk puasanya, tetapi berlaku juga pada yang lain, seperti waktu berbuka sampai waktu salat. Hingga seandainya ia salat Maghrib di suatu tempat, lalu bepergian ke suatu negeri dan didapatinya matahari belum tenggelam, maka shalatnya wajib diulang. (Kasyifatus Saja hal. 119, Haramain)
Dikutip dari Kompas.com, menurut DR H Abdul Mu'ti MEd, sesuai dengan Surat Al-Baqarah 184 dan 185, seseorang yang sedang bepergian dan musafir boleh tidak berpuasa dengan kewajiban men-qadha pada hari lain di luar bulan Ramadhan.
Musafir yang mendapatkan rukhsah (keringanan) adalah mereka yang bepergian untuk tujuan yang baik dan menimbulkan kesulitan dan membahayakan keselamatan (masyaqqah).
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan. Menurut Imam Hanafi seseorang yang bepergian 1 farsah (sekitar 1 mil) boleh tidak berpuasa. Menurut Imam Syafii, jarak minimal musafir boleh tidak berpuasa adalah 83 kilometer.
Akan tetapi, seiring dengan kemajuan teknologi transportasi yang memungkinkan manusia melakukan perjalanan dengan aman dan nyaman, jarak perjalanan menjadi relatif. Karena itu yang menjadi ukuran bukanlah jarak, tetapi tingkat kesulitan dan keselamatan perjalanan.Mengenai jarak, para ulama kebanyakan menghubungkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini :
- Imam Malik, As-Syafi’i, Ahmad dan yang lainnya berpendapat : perjalanan sejauh dua hari perjalanan atau lebih, dengan menggunakan onta atau dengan berjalan kaki, atau kurang lebih sejauh 16 farsakh sekitar 80 km, seperti jarak antara Mekkah dan ‘Usfan.
- Abu Hanifah berpendapat : batasannya adalah perjalanan selama tiga hari.
- Sekelompok ulama dari kalangan salaf dan kholaf berpendapat : tidak ada batasan tertentu. Mereka mengatakan : “Dibolehkannya berbuka dan mengqoshor sholat, selama perbuatannya tersebut masuk dalam istilahsafar (bepergian jauh), meskipun perjalanannya tersebut kurang dari dua hari.” Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, beliau berkata : “karena sesungguhnya telah tsabit bahwa Nabi saw sholat di ‘Arafah, Muzdalifah, dan di Mina bersama manusia (orang banyak), beliau mengqoshor sholat, dan di belakang beliau (sebagai makmum) orang-orang Mekkah, mereka sholat dengan sholatnya beliau. Beliau tidak memerintah seorang pun dari mereka untuk menyempurnakan (itmam) sholatnya.”
Siapa Buya Yahya?
Seperti dikutip dari wikipedia, Buya Yahya Zainul Ma'arif yang lebih akrab disapa Buya Yahya, lahir di Kabupaten Blitar, Jawa Timur pada tanggal 10 Agustus 1973.
Buya Yahya mendirikan Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren dengan nama Al-Bahjah yang pusatnya berada di wilayah Kabupaten Cirebon.
Al-Bahjah memiliki beberapa kampus, kampus utama yang beralamat di Jalan Pangeran Cakra Buana No. 179, Blok Gudang Air, Kelurahan Sendang, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, mulai dibangun pada Juni 2008.
Al-Bahjah memiliki banyak unit usaha; ada minimarket AB Mart, Al-Bahjah Tour & Travel, Sekolah Dasar Islam Qur’ani (SDIQu) Al-Bahjah, SMPIQU al Bahjah, SMAIQu al Bahjah,Al Bahjah TV, Radio QU, Penerbit Pustaka Al-Bahjah dan masih banyak lagi.
Berbagai unit usaha tersebut rata-rata digerakkan para santri, yang disebut Santri Khos, atau santri khusus.
Santri Khos tak cuma bergerak dalam bidang dakwah maupun sosial, ada juga yang bertugas di dapur umum.
Pesantren ini kental dengan nuansa Nahdiyyin. Meskipun begitu, pesantren ini bukan milik ormas Nahdlatul Ulama (NU).
Salah satu peraturan di Al-Bahjah, para santri diharuskan berbahasa Arab dalam keseharian. Bagi santri baru, diberi waktu tiga bulan untuk beradaptasi.
Lahir: 10 Agustus 1973
Pasangan: Fairuz Ar-Rahbini
Pendidikan: Universitas al-Ahgaff (2000–2005), Universitas al-Ahgaff (1996–2000)
Anak: Lulu Maulidiyah, Azzahra
Orang Tua: Jamzuri, Uti
(*)